JAKARTA, KOMPAS — Semua agama menggarisbawahi nilai-nilai luhur dalam ajaran-ajarannya. Akan tetapi, ketika orientasi para penganutnya hanya pada ajaran, doktrin, dan hukum semata yang normatif, orientasi nilai-nilai agama justru akan kabur.
Guru Besar Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan Bandung Prof Bambang Sugiharto mengatakan, aspek doktrinal yang mengonotasikan kemutlakan pada ajaran, doktrin, dan hukum membuat agama-agama besar menjadi eksklusif sehingga akar tradisional lokal tidak terasa lagi.
Cara beragama yang terlampau eksklusif berlawanan dengan akar-akar kultur lokal Nusantara yang mengakomodasi keterbukaan pada yang lain. Kearifan-kearifan lokal yang ada di masyarakat Indonesia, menurut Bambang, adalah intuisi purba yang otentik dan asli.
”Idealisme purifikasi (pemurnian) agama seakan-akan semakin membuat orang merasa menemukan kemurnian, dan dengan demikian dia yakin pasti akan masuk kerja. Ini sangat naif kalau dunia agama-agama berorientasi lebih ke doktrin dan hukum, bukan pada apa yang dipercaya, tetapi apa yang dilakukan. Akhirnya, menjadi koruptor pun tidak masalah ketika kewajibannya menjalankan ajaran agama sudah selesai,” ujarnya, Selasa (23/5), saat dihubungi dari Jakarta.
Tak dimungkiri pula, agama-agama kini bahkan telah dipolitisasi. Fenomena ini berlawanan dengan akar-akar kultur lokal Indonesia yang terbuka dan mengakomodasi perbedaan. Tragisnya, disposisi mental seperti itu justru menjadi rusak atas nama kemutlakan agama-agama yang eksklusif. (ABK)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.