Ledakan di Kampung Melayu, Jakarta, Rabu (24/5) malam, yang diduga sebagai bom bunuh diri, menyebabkan tiga polisi meninggal. Polisi mencium keterhubungan salah satu dari dua pelaku peledakan bom bunuh diri itu dengan kelompok Jamaah Ansharut Daulah yang berada di balik peledakan bom panci di Cicendo, Bandung, Jawa Barat, akhir Februari lalu. Jika demikian, serangan di Kampung Melayu itu bisa dilihat sebagai bentuk rasionalitas gerakan teror dalam berevolusi.
Jamaah Ansharut Daulah (JAD), yang pada Januari 2017 dimasukkan dalam daftar Foreign Terrorist Organization oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, juga berada di balik serangan di Jalan Thamrin, Jakarta, pada Januari 2016 dan serangan bom di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur, November 2016.
JAD yang berdiri tahun 2015 menghimpun anggota dari sempalan kelompok ekstrem lain. Mereka antara lain sempalan dari Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso yang telah meninggal, sempalan kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang dahulu didirikan terpidana terorisme Abu Bakar Ba’asyir, juga elemen kelompok Aman Abdurahman yang kini dipenjara.
Fenomena sempalan seperti ini terjadi sejak era Bom Bali 2002 ketika kelompok sempalan dari Jamaah Islamiyah (JI) melancarkan serangan teror. Hanya saja, proses menyempal dan berkonsolidasi atau membentuk elemen baru itu kini lebih dinamis.
Daya dorong
Peneliti terorisme Martha Crenshaw dalam bukunya, Explaining Terrorism (2011), menekankan, terorisme merupakan bentuk rasionalitas kolektif dari pihak yang kapabilitasnya terbatas—tetapi ingin meraih tujuan politis—dengan menyerang pihak yang berkapasitas lebih besar. Senada dengan itu, Colin S Gray dalam War, Peace, and International Relations: An Introduction to Strategic History (2007) menyatakan teror sebagai bentuk taktik yang dipilih secara rasional.
Dengan demikian, segala aksi teror berangkat dari perhitungan rasional, termasuk perilakunya dalam berevolusi. Evolusi perilaku itu tampak dari penentuan modus, mencari legitimasi, hingga menentukan sasaran atau korban. Lantas, apa yang mendorong suatu kelompok atau elemen teror berevolusi? Dalam analisis Crenshaw, daya dorong evolusi itu setidaknya bisa berasal dari tiga faktor, mulai dari kebijakan ataupun tindakan pemerintah dan aparatnya, perubahan sosial dan dukungan finansial, hingga perubahan teknologi.
Soal perubahan sosial secara global, kemunculan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) boleh jadi mendorong munculnya fenomena sempalan elemen teror. Semua anggota suatu kelompok teror lama belum tentu sepakat dengan sepak terjang NIIS. Namun, mereka yang tak sepaham belum tentu lantas tidak menyimpan potensi bahaya.
Sebagian dari bekas anggota JI, misalnya, tidak sepakat dengan NIIS, lalu memilih berpatron pada kelompok teror lainnya, Jabhat al-Nusrah. Konflik Suriah menjadi kesempatan bagi JI untuk mendapat pelatihan militer. Sejak 2013, JI mengirim setidaknya lima orang ke Suriah untuk mengikuti pelatihan militer. Dalam laporannya pada April 2017, Institute for Policy Analysis of Conflict mewanti-wanti bahwa JI yang dianggap telah hancur itu berpotensi muncul kembali sebagai ”neo-JI”.
Fenomena intoleransi
Evolusi juga didorong oleh perubahan sosial di masyarakat. Merebaknya fenomena intoleransi dan SARA, misalnya, bisa jadi landasan legitimasi publik bagi sebuah serangan teror. Munculnya anggapan, misalnya, bahwa aksi teror di Kampung Melayu sebagai bentuk rekayasa dan pengalihan isu merupakan gejala tumbuhnya legitimasi publik tersebut.
Oleh karena itu, merebaknya fenomena intoleransi di masyarakat menjadi isu yang sangat serius. Ia tidak hanya menyebabkan keterbelahan sosial di masyarakat, tetapi juga bisa mengarah pada bentuk ”merestui” aksi teror.