Orang Bugis terkenal pelaut ulung. Kemampuannya berlayar mengarungi samudra dengan kapal tradisional ke daerah-daerah lain di Nusantara bahkan jauh ke negeri seberang sudah melegenda. Dalam buku Pasompe: Pengembaraan Orang Bugis (Pustaka Refleksi, 2004), Prof, Dr, H Abu Hamid mengungkapkan tentang budaya bahari masyarakat Bugis. Dia memperlihatkan kehebatan etnis Bugis dalam berlayar, pembuatan perahu pinisi, juga pengetahuan navigasi tradisional.
Pasompe adalah pengembara atau perantau yang penghidupannya dari berlayar dan berdagang menjelajahi pulau-pulau. Kehidupan pasompe ini telah ada di masyarakat Bugis sebelum kedatangan Islam. Sekitar tahun 1500, Kerajaan Gowa dan Bone tumbuh menjadi kerajaan raksasa maritim. Namun, ketika Kerajaan Gowa dikalahkan kolonial dan diubah menjadi kerajaan agraris, kegiatan pasompe menjadi berkurang.
Dalam pelayaran, pasompe tidak hanya mengandalkan keberanian, mereka punya kepandaian membaca alam. Sistem pengetahuan dan kearifan lokal mereka merupakan tuntunan dan hukum yang harus diikuti dalam berlayar. Selain soal kelautan, mereka harus memahami soal hari baik dan buruk dan juga tentang ilmu perbintangan.
Sejarah pelayaran pasompe dapat dikaji melalui I La Galigo dalam kisah Sawerigading. Kisah ini menuturkan tentang asal mula perahu pinisi, perahu andalan pasompe yang terbukti mampu mengarungi lautan, bahkan hingga ke Kanada. Asal mula nama perahu pinisi sendiri berasal dari kata venice, sebuah bandar di Italia. Dalam pembuatannya, perahu tradisional ini sarat dengan unsur magis dan religius.
Budaya Merantau Suku Bugis
Selain sebagai pelaut ulung, orang-orang Bugis dikenal sebagai etnis yang mempunyai jiwa perantau. Budaya merantau ini sudah berlangsung sejak abad ke-17. Ketika itu mereka sudah merantau hingga ke negeri jauh, hingga keluar dari Kepulauan Nusantara. Perang antara VOC dan kerajaan Makassar memicu migrasi besar-besaran. Selain faktor perang, penyebab lain terjadinya migrasi adalah karena faktor ekonomi, politik, dan juga menyangkut filsafat hidup.
Menelusuri sejarah migrasi suku Bugis tidak bisa melewatkan kisah tentang Ompu Daeng Rilakka yang legendaris. Daeng Rilakka, seorang bangsawan Bugis, yang pada abad XVII beserta lima anaknya bermigrasi ke tanah Melayu. Kelima putra Daeng, dibantu orang-orang Bugis perantau, berjasa dalam menegakkan kedaulatan Kerajaan Johor yang ketika itu selalu bergolak. Sebagai balas jasa, Sultan Johor menyerahkan Kepulauan Riau kepada orang-orang Bugis dan mengangkat salah satu putra Daeng Rilakka sebagai pejabat. Keturunan Daeng Rilakka dan orang-orang Bugis lalu menancapkan pengaruh dan memegang kekuasaan di kerajaan-kerajaan tanah Melayu, antara lain di Johor, Selangor, dan Kedah.
Kemampuan orang-orang Bugis berbaur dan beradaptasi dengan penduduk setempat menjadikan mereka mudah menyebarkan pengaruh. Hal ini tidak lepas dari filosofi migrasi suku Bugis, yaitu kegisi monro sore lopie, kositu tomallabu sengereng (di manalah perahu terdampar, di sanalah kehidupan ditegakkan). Cerita tentang budaya migrasi dan bagaimana orang Bugis menjadi penguasa Johor diuraikan dalam buku karya Andi Ima Kesuma berjudul Migrasi & Orang Bugis (Ombak, 2004). RPS/Litbang Kompas
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.