Melirik Potensi Cukai Rokok dan Realokasi Subsidi
Besar pasak daripada tiang. Itulah gambaran implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat selama hampir genap empat tahun terakhir. Karena itu, isu keberlanjutan JKN-KIS terus saja menghantui. Peluang meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi peserta JKN-KIS melalui kenaikan cukai rokok tak juga dilakukan.
Terlepas dari segala kekurangannya, manfaat program ini sudah dirasakan begitu banyak orang. Masyarakat tak lagi harus jatuh miskin karena sakit. Untuk berobat karena kanker yang butuh biaya amat besar, misalnya, pasien tidak mengeluarkan biaya.
Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memperlihatkan, sampai 31 Desember 2016 tercatat 192,95 juta kunjungan ke fasilitas kesehatan melalui akses manfaat JKN-KIS. Kunjungan itu terdiri dari 134,9 juta kunjungan di fasilitas kesehatan tingkat pertama, termasuk rujukan ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan; 50,4 juta kasus rawat inap jalan; dan 7,65 juta kasus rawat inap. Program promotif, preventif, dan penapisan pun telah banyak diakses masyarakat peserta.
Akan tetapi, tak sedikit pula masyarakat yang mendapat layanan buruk saat mengakses JKN-KIS dan bahkan ada yang belum memanfaatkan program ini karena berbagai alasan. Tenaga dan penyedia fasilitas kesehatan juga masih kerap berteriak soal tidak memadainya tarif yang mereka terima.
Pakar ekonomi kesehatan sekaligus konsultan Dewan Jaminan Sosial Nasional, Prof Hasbullah Thabrany, Jumat (16/6), di Jakarta, menyatakan, dari perspektif akademik, besarnya biaya kesehatan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan belum sebanding dengan pendapatan dari iurannya.
Pemerintah selalu bilang tak memiliki kapasitas fiskal cukup untuk menetapkan besaran premi yang memadai.
Akibatnya, sejak diimplementasikan tahun 2014, iuran untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) tak pernah sesuai dengan perhitungan aktuaria yang direkomendasikan. Biaya kesehatan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan akhirnya selalu lebih besar daripada iuran yang dikumpulkan. Pemerintah lebih memilih menyuntikkan dana talangan di akhir tahun anggaran untuk menutupi kekurangan daripada menaikkan iuran PBI.
Bank Dunia dalam laporan Indonesia Health Financing System Assessment, Oktober 2016, menyatakan, Indonesia perlu mengalokasikan anggaran kesehatan lebih banyak. Anggaran lebih besar itu perlu digunakan dengan benar dan lebih baik untuk mencapai cakupan kepesertaan semesta (universal health coverage/UHC).
Untuk menutup kekurangan anggaran ini, ujar Hasbullah, pemerintah bisa memobilisasi dana yang terkumpul dari cukai rokok untuk memperkuat iuran JKN-KIS. Menaikkan cukai rokok dan memanfaatkannya sebagai tambahan iuran PBI JKN-KIS bisa menjadi jalan keluar yang menguntungkan.
Belum percaya
Sayangnya, lanjut Hasbullah, pemerintah belum mau percaya hal ini. Kebijakan pemerintah terkait cukai sering kali berbasis informasi yang keliru. Misalnya, kenaikan cukai akan memicu penyelundupan rokok, juga peredaran rokok ilegal.
Kenaikan cukai juga sering dituding menjadi dalang kesulitan petani, hilangnya lapangan kerja, dan kenaikan inflasi. Padahal, Hasbullah memandang, berbagai ketakutan itu hanyalah taktik industri rokok untuk memengaruhi pemerintah.
Ia mencontohkan, andai harga rokok naik Rp 100 per batang saja dengan produksi rokok 342 miliar batang, akan ada tambahan penerimaan lebih dari Rp 34 triliun. Tambahan penerimaan cukai itu bisa dipakai untuk menambah iuran peserta JKN-KIS, bahkan bisa untuk menambah peserta PBI.
Hasbullah memandang, berbagai ketakutan itu hanyalah taktik industri rokok untuk memengaruhi pemerintah.
Pengalaman Filipina, Thailand, dan Turki telah membuktikan bahwa kenaikan cukai rokok bisa menguntungkan banyak pihak, termasuk untuk menaikkan alokasi anggaran kesehatan dan membayar premi kesehatan warga miskin.
Pakar kebijakan fiskal dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Jeremias Paul, menuturkan, Filipina bisa menjadi contoh yang baik bagaimana kenaikan cukai bisa membiayai lebih banyak lagi peserta jaminan kesehatan. Pemerintah Filipina menyederhanakan sistem klasifikasi cukai menjadi hanya satu klasifikasi, menaikkan tarif cukai, dan mengalokasikan penerimaan dari cukai untuk jaminan kesehatan.
Sejak 2012, Filipina menaikkan tarif cukai rata-rata dari 6 peso menjadi 14,46 peso pada tahun 2013, tahun 2014 jadi 19,29 peso, dan 23,4 peso pada tahun 2015. Anggaran kesehatan yang didapat dari cukai pun meningkat dari 42,2 juta peso menjadi sekitar 100 juta peso dalam lima tahun terakhir. Jumlah warga yang ditanggung dalam jaminan kesehatan pun bertambah hingga tiga kali lipat.
Peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, mengatakan, pemerintah tidak perlu pelit dalam membantu rakyatnya yang miskin untuk mendapat akses pelayanan kesehatan yang berkualitas melalui JKN-KIS. Jika dibandingkan dengan subsidi yang lain, besaran subsidi pemerintah untuk iuran peserta PBI JKN-KIS lebih kecil.
Saat ini, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 44,9 triliun untuk subsidi listrik, Rp 32,3 triliun untuk subsidi bahan bakar minyak dan elpiji, Rp 31 triliun untuk subsidi pupuk, Rp 31,1 triliun untuk subsidi pangan, dan subsidi bunga kredit Rp 15,9 triliun.
Sementara subsidi premi iuran bagi 92,4 juta peserta PBI JKN-KIS yang notabene adalah kelompok ekonomi terendah di negara ini sekitar Rp 25 triliun. Padahal, subsidi premi ini dapat menyelamatkan nyawa banyak orang.
Menurut Abdillah, jika mengubah tarif cukai yang kini dibatasi maksimal 57 persen oleh undang-undang memerlukan proses yang lama, sebenarnya ada langkah yang relatif tidak memerlukan proses lama, yakni realokasi berbagai subsidi tersebut untuk memperkuat JKN-KIS dan menyederhanakan klasifikasi cukai rokok dari 12 menjadi satu klasifikasi tarif.
Sulit dikelola
Tarif cukai dengan klasifikasi yang berlapis selain sulit untuk dikelola, juga berpotensi dimanfaatkan oleh industri rokok untuk menghindari penerapan cukai yang tinggi. Argumen yang menjadi dasar penyederhanaan klasifikasi cukai ialah baik rokok murah maupun mahal memiliki dampak yang sama berbahaya terhadap kesehatan.
Saat ini, tarif cukai paling tinggi ialah Rp 555 per batang dan yang terendah Rp 80 per batang. Dengan menerapkan sistem satu klasifikasi tarif, misalnya Rp 555 per batang, maka dengan produksi rokok 342 miliar batang pemerintah akan mendapatkan pendapatan Rp 189 triliun, lebih besar daripada target pendapatan cukai saat ini yang Rp 151 triliun.
Tambahan pendapatan dari cukai itu selain bisa menambah iuran PBI, bukan tidak mungkin juga bisa untuk menambah jumlah peserta PBI yang dicakup.
Di samping cukai rokok, potensi pembiayaan peserta JKN-KIS juga bisa didapat dari pajak rokok yang selama ini pemanfaatannya oleh pemerintah daerah belum optimal. Pajak rokok yang diambil 10 persen dari cukai rokok dan dibagikan kepada semua daerah, 50 persennya diperuntukkan untuk pelayanan kesehatan.
Dana tersebut berpotensi digunakan untuk menanggung lebih banyak lagi peserta JKN-KIS. Terlebih saat ini ada sekitar 10,3 juta peserta mandiri JKN-KIS yang menunggak iuran. Dengan pajak rokok, pemerintah daerah bisa memasukkan mereka ke dalam daftar peserta PBI yang dibiayai APBD.
Abdillah menegaskan, pemerintah seharusnya menempatkan kenaikan cukai sebagai bagian dari upaya promotif dan preventif kesehatan dari sekadar upaya untuk menambah pendapatan negara. Dengan demikian, upaya mobilisasi anggaran kesehatan dari berbagai sumber pun tidak akan ragu dilakukan.