Aliansi, Daya Saing, dan Masa Depan
Di dunia industri otomotif, Carlos Ghosn bukan lah nama yang asing lagi. Bahkan tak berlebihan kiranya jika ia dijuluki legenda hidup dunia otomotif, setelah berhasil menyelamatkan Renault dan Nissan, dua merek besar produsen mobil, dari jurang kebangkrutan dan mengembalikan mereka ke posisi bergensi di dunia saat ini. Kini, mata Ghosn tertuju pada Asia Tenggara dan Indonesia.
Akhir Maret lalu, Ghosn hadir di Indonesia dalam rangka ikut menyaksikan peresmian pabrik terbaru Mitsubishi Motors di kawasan GIIC, Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi, oleh Presiden Joko Widodo. Pabrik yang dibangun dengan investasi sekitar Rp 7,1 triliun itu berkapasitas produksi 160.000 unit mobil per tahun. Kehadiran Ghosn dalam kapasitas sebagai Presiden Dewan Komisaris Mitsubihi Motors Corporation (MMC).
Sebelumnya, Nissan yang ia pimpin membeli 34 persen saham MMC di Jepang pada Oktober 2016 setelah Mitsubishi mengalami masa-masa sulit pasca terungkapnya skandal manipulasi data konsumsi BBM mobil-mobil mereka pertengahan tahun lalu.
Dengan menguasai saham mayoritas di MMC ini, kini Ghosn resmi memimpin aliansi tiga produsen mobil, yakni Renault-Nissan-Mitsubishi, yang menjadikan aliansi ini kelompok produsen otomotif terbesar keempat di dunia setelah Toyota dari Jepang, Volkswagen AG dari Jerman, dan General Motors Co dari Amerika Serikat.
Apa alasan paling kuat berinvestasi di Indonesia?
"Alasan paling mendasar investasi di Indonesia adalah pasar Indonesia. Jika Anda ingin kompetitif di Indonesia, Anda harus memproduksi mobil sebanyak mungkin di Indonesia.
Selain itu, kami melihat pasar Indonesia sangat penting, dengan penjualan 1 juta mobil per tahun dan tumbuh 10 persen (per tahun) dalam 10 tahun terakhir. Ini akan terus tumbuh, karena level motorisasi (orang yang menggunakan mobil) masih sangat rendah di Indonesia.
Alasan kedua adalah, Indonesia tumbuh makin kompetitif. Ini adalah negara yang kompetitif. Kompetitif ini juga berarti, kami ingin memproduksi (mobil) di Indonesia untuk diekspor. Saya sangat gembira mendengar dari para penasihat Presiden (Joko Widodo) bahwa ada pelabuhan baru yang akan dibangun di Indonesia. Karena ini akan memfasilitasi ekspor, transaksi, dan transisi produk, yang membuat ekspor akan lebih mudah."
Jadi alasan-alasan utamanya adalah pasar Indonesia, dan tingkat daya saing Indonesia untuk ekspor yang difasilitasi infrastruktur.
Seberapa besar volume ekspor yang Anda rencanakan dari Indonesia?
"Tentu saja prioritasnya tetap untuk pasar dalam negeri (Indonesia). Jangan lupa, ini lah alasan utama kami membangun pabrik ini di sini. Nah, kalau kapasitasnya sudah tersedia, kami tidak akan menyia-nyiakan pabrik ini. Kami akan menggunakan kapasitas besar ini untuk ekspor.
Jadi kami tidak membangun pabrik di sini hanya untuk ekspor. Kami bangun untuk memenuhi kebutuhan pasar Indonesia. Tetapi karena Indonesia kompetitif, ada banyak permintaan (ekspor) dari Indonesia. Dan ini akan terjadi.
Untuk saat ini, prediksi ekspor kami adalah sekitar 20.000 unit kendaraan per tahun. Tetapi ini bisa berubah di masa depan. Saya yakin akan lebih besar lagi, karena negara ini terus meningkatkan daya saingnya. Jadi sangat mungkin kami akan mengekspor lebih banyak lagi, tetapi prioritasnya tetap pasar Indonesia."
Apa sebenarnya alasan utama Anda tertarik mengakuisisi Mitsubishi?
"Pertama-tama, kami sudah bekerja sama dengan Mitsubishi sejak lama. Khususnya kolaborasi (antara Nissan dan Mitsubishi) untuk memproduksi Kei car (sebutan untuk mobil-mobil mini di Jepang). Jadi kami sudah tahu Mitsubishi, kenal orang-orangnya. Saya sudah kenal Masuko-san (Osamu Masuko, Presiden dan CEO MMC saat ini) cukup lama.
Jadi suatu hari saat mereka menghadapi masalah terkait efisiensi bahan bakar itu, kami berdiskusi bagaimana caranya membantu mereka keluar dari kesulitan ini? Saat itu lah muncul kesimpulan, mengapa kita tidak sekalian memasukkan Mitsubishi ke aliansi (Renault-Nissan).
Tentu saja ini akan berdampak pada turbulensi dan kesulitan pada jangka pendek, tetapi memberi manfaat dalam jangka panjang. Karena dengan menambah lebih banyak perusahaan dalam aliansi ini, kami akan makin kompetitif. Kami akan memiliki skala yang lebih besar, kami bisa berbagai investasi dalam teknologi, dan kami memiliki daya pembelian yang lebih besar. Banyak sekali manfaatnya.
Namun, berbagai manfaat ini hanya akan terwujud jika kita tahu bagaimana mengerjakannya. Bagaimana membuat mereka lebih produktif. Banyak produsen mobil yang membuat kontrak kerja sama dan kemitraan, tetapi tidak berjalan. Tetapi kami bisa. Kami bisa karena sudah punya pengalaman panjang dengan (aliansi) Renault-Nissan dalam bekerja bersama, saling bertukar, saling berbagi, dengan cara yang tidak memunculkan masalah bagi kedua perusahaan."
Sebelumnya dalam konferensi pers di Cikarang, Ghosn mengatakan akuisisi saham Mitsubishi ini tidak berarti akan terjadi konsolidasi operasi antara Mitsubishi dan Nissan.
Anda mengatakan tidak akan ada konsolidasi antara Mitsubishi dan Nissan, jadi ke depan akan ada mobil yang dikembangkan bersama antara Mitsubishi dan Nissan dengan memadukan teknologi dari dua perusahaan?
"Ya. Yang akan kami lakukan adalah menghindari duplikasi (produk). Bagaimana kita akan membuat sinergi? Daripada Anda membuat satu mobil dan saya membuat mobil yang sama, mengapa kita tidak bersama-sama membuat satu (platform) dan kemudian berbagi? Ini lah prinsip sinergi. Secara definisi, prinsip sinergi adalah menghindari duplikasi. Artinya, jika kami selama ini punya dua platform untuk produk di segmen yang sama, kami sekarang akan membuat satu platform saja.
Dan satu platform ini bukan berarti satu mobil. Satu platform berarti satu basis teknologi, satu mesin, satu transmisi, satu set komponen yang sama, tetapi desain yang berbeda. Mobilnya akan memiliki desain eksternal dan internal yang berbeda, spesifikasi yang berbeda, aksesori yang berbeda, dan menyasar target pasar yang beda.
Seperti Anda tahu, Renault dan Nissan sudah bekerja sama selama 17 tahun, tetapi tidak terjadi kanibalisasi antara keduanya. Meski kedua merek itu beroperasi di pasar yang sama, seperti di Eropa, Rusia, atau Brazil, misalnya, tidak terjadi kanibalisasi. Orang yang akan membeli Nissan, dia akan cari perbandingan dengan Toyota, Honda, atau Mitsubishi. Di tidak akan membandingkan dengan Renault. Begitu juga orang yang akan membeli Renault, dia akan membandingkan dengan VW, Peugeot, atau Ford. Target pembelinya berbeda.
Jadi menurut saya, tidak akan terjadi kanibalisasi antara merek-merek (di dalam aliansi ini). Karena kekuatan masing-masing merek juga berbeda. Contohnya, Mitsubishi punya posisi kuat di kawasan ASEAN. Sementara Nissan tidak. Nissan posisinya lebih kuat di bagian lain dari dunia. Jadi di sini, kami akan mendukung Mitsubishi terus tumbuh, dan pada saat bersamaan, Nissan akan belajar dari Mitsubishi untuk meningkatkan kinerjanya di kawasan ini."
Jadi apa wujud sinergi konkret Mitsubishi dan Nissan di Indonesia?
"Seperti yang telah disampaikan Masuko-san dalam konferensi pers, kami akan membuat mobil di pabrik ini untuk Nissan. Ini sinergi konkret. Tetapi tidak berarti mobil untuk Nissan itu akan sama persis dengan mobilnya Mitsubishi. Mobilnya akan berbeda. Akan menggunkan platform yang sama, tetapi akan berbeda dari sisi desain, pilihan material, dan positioning berbeda di pasar."
Informasi yang diperoleh Kompas, mobil yang akan menjadi basis sinergi ini adalah Mitsubishi XM-Concept, sebuah mobil crossover MPV dan SUV yang dirancang Mitsubishi untuk pasar Indonesia. Mobil ini akan mulai diproduksi massal akhir tahun ini untuk Mitsubishi, sementara versi untuk Nissan akan mulai diproduksi tahun depan.
Jadi tiap perusahaan akan tetap bisa mempertahankan filosofi dan ciri khas masing-masing?
"Setiap perusahaan punya mereknya sendiri, manajemennya sendiri, positioningnya sendiri, target pasarnya sendiri, dan citra kekuatan masing-masing di pasar. Jadi saya kira tidak akan ada risiko. Selama kita menjaga tiap perusahaan terpisah, dan kita punya tim pemasaran, tim desain, tim manajer, dan tim penjualan yang berbeda."
Itu lah salah satu alasan Ghosn tetap mengizinkan Osamu Masuko menjadi Presiden dan CEO MMC. “Salah satu alasan saya ingin Masuko tetap menjadi CEO adalah karena saya ingin orang-orang di Mitsubishi tahu bahwa Mitsubishi akan tetap menjadi Mitsubishi. Mitsubishi tidak akan menjadi anak perusahaan Nissan. Ini pesan yang jelas bahwa bukan Nissan yang akan mentransformasi Mitsubishi, tetapi Mitsubishi lah yang harus mentransformsi Mitsubishi,” tandasnya seperti dikutip kantor berita Reuters, 20 Oktober 2016.
Menurut Anda, apakah aliansi semacam itu akan diikuti produsen mobil lainnya?
"Saya tidak tahu. Karena (aliansi) seperti ini susah dijalankan. Ini adalah strategi yang di atas kertas terlihat menarik. Tetapi kenapa produsen mobil lain tidak melakukannya? Karena susah dipraktikkan. Bagaimana Anda bisa membuat perusahaan-perusahaan yang berbeda untuk bekerja sama tanpa menimbulkan konflik? Ini tidak mudah.
Saya menghabiskan banyak waktu untuk mengelola konflik, membuat keputusan, membuat arbitrase antara perusahaan-perusahaan (dalam aliansi). Karena setiap produsen mobil punya kebanggaan, merek, kultur, dan sejarah masing-masing. Dan mereka memiliki sindrom pemikiran bahwa jika mereka membuat sesuatu, produknya akan lebih baik dari orang lain.
Saya bisa melakukan itu karena saya selalu mendorong pada sebuah kinerja objektif (objective performance). Saat Anda mendorong pada sebuah kinerja objektif, seperti pangsa pasar, profitabilitas, dan pertumbuhan perusahaan, semua akan menyadari kebutuhan untuk bekerja sama demi kinerja yang lebih baik.
Masalahnya, tendensi setiap orang itu tidak mau bekerja sama. Ada kecenderungan untuk berpikir, “Kalau saya mengerjakannya sendiri, hasilnya akan jauh lebih bagus, karena saya bisa mengendalikan semuanya”. Tetapi jika kita mengerjakan semuanya sendirian, kita tidak akan punya daya saing besar. Dan kinerjanya juga tidak akan terlalu bagus. Jadi di sini lah tantangannya untuk membawa semua orang pada rasionalitas untuk bekerja sama."
Bagaimana Anda menghadapi kompetitor di ASEAN dan Indonesia?
"Jelas ada kompetisi di kawasan Asia Tenggara ini. Tetapi jujur saja, kompetisi di wilayah ini tidak seberat di China, AS, atau Eropa. Karena di Asia Tenggara, sebagian besar kompetitor adalah (merek) Jepang. Tetapi jika Anda pergi ke China atau AS, Anda akan bersaing dengan mobil Jepang, Korea, China, Amerika, Jerman, Italia, dan mobil Perancis. Jadi kalau ada yang bilang persaingan pasar di sini sangat sengit, saya bilang tunggu dulu, pergilah ke China dan lihatlah kompetisi di sana.
Jadi pasar di sini memang kompetitif, tetapi dalam jangka pendek, jika Anda merek Jepang, Anda mendapat keuntungan tersendiri. Merek-merek Jepang memiliki reputasi bagus di sini. Masyarakat Indonesia senang dan mempercayai merek-merek Jepang. Jadi kalau Anda adalah merek asal Jepang, Anda harus benar-benar memberikan yang terbaik bagi para pelanggan di Indonesia. Karena mereka percaya pada Anda.
Dan saya pribadi berpendapat, baik Mitsubishi maupun Nissan harus berbuat lebih baik lagi dalam merebut pangsa pasar dan kontribusi pertumbuhan pasar di sini. Dan agar kinerja lebih baik itu bukan sekadar omong kosong belaka, harus dilandasi dengan tawaran produk, kualitas, harga, dan kepuasan pelanggan. Itu saja. Orang ingin membeli mobil yang berkualitas, dengan harga wajar, mendapat servis yang bagus, dan ada jaminan dari dealer bahwa mereka akan senang. Mereka akan makin percaya dengan Anda. Jadi, bersiap-siap lah melihat kami akan lebih kompetitif di Indonesia."
Masa depan
Masa depan industri otomotif adalah mobil listrik, dan Ghosn mengatakan, aliansi Renault-Nissan adalah pelopor dalam industri massal mobil listrik tersebut. Saat ini, Ghosn mengklaim aliansinya itu adalah produsen terbesar mobil listrik di dunia dan memiliki portofolio produk terbesar mobil listrik dibanding produsen lainnya. Beberapa mobil listrik produksi aliansi itu yang sudah dijual massal, antara lain Nissan Leaf, Renault Zoe, dan mobil penumpang Nissan eNV200.
Tetapi masih ada masalah terkait infrastruktur dan kebijakan di negara-negara berkembang, seperti Indonesia dan negara-negara ASEAN. Bagaimana Anda akan mendorong mobil listrik menjadi produk yang lebih massal di negara-negara ini?
"Kami tidak akan melakukan itu. Kami tidak akan memaksakan produk-produk (mobil listrik) ini ke kawasan ini. Yang akan terjadi adalah, saat pasar dan pemerintah setempat sudah menginginkan penurunan emisi (gas rumah kaca), maka dengan sendirinya mereka akan tertarik pada mobil listrik.
Lihat China contohnya. China punya kebijakan besar untuk mendukung mobil-mobil listrik. Tetapi itu harus datang dari pemerintah. Dan mereka (pemerintah) tidak melakukannya untuk menyenangkan industri, tetapi mereka melakukannya karena mereka pikir itu yang diinginkan warganya. Jadi mereka mendorong banyak kebijakan yang mendukung mobil listrik, karena mereka memang ingin menurunkan emisi gas rumah kaca.
Dengan begitu tugas kami adalah memastikan kami mampu menyediakan mobil listrik kepada pasar yang meminta dan membutuhkan mobil-mobil listrik yang berharga wajar dan menarik. Itu sebabnya saat ini prioritas kami adalah Jepang, China, sebagian pasar Eropa, dan AS. Minat terhadap mobil listrik kami masih sangat kecil di emerging markets. Rusia, Brazil, India, dan Indonesia belum tertarik dengan mobil-mobil listrik.
Tetapi suatu hari itu akan terjadi. Mengapa? Karena saat mereka (warga negara-negara kekuatan ekonomi baru) pergi ke China, atau Perancis, Jerman, Ingris, atau AS, mereka akan melihat mobil listrik lalu lalang di jalanan. Mobil yang memiliki emisi nol, kebisingan nol, segala-galanya nol. Saat itu lah orang-orang akan berpikir, mengapa kami tidak memiliki mobil-mobil seperti itu?
Selain itu, mobil-mobil listrik ini harganya mahal bukan karena teknologinya. Mobil ini masih mahal karena belum cukup banyak mobil listrik yang diminta pasar. Kita belum memiliki skala yang cukup. Tetapi saat kita sudah mengembangkan skala ini dan membangun pasar, maka kami akan bisa menerapkan harga yang kompetitif, dan membuat kami bisa masuk ke emerging markets untuk bersaing.
Kami saat ini punya proyek di China untuk membuat mobil listrik secara lokal dengan bekerja sama dengan mitra lokal kami. Mobil ini mudah-mudahan bisa diluncurkan di China pada 2019. Ini akan menjadi awal pengenalan mobil listrik kepada emerging markets."
Jadi untuk saat ini, semua hanya bisa menunggu?
"Bukan begitu. Yang saya maksud, jika besok pasar Indonesia menyatakan pada tahun 2019 akan membutuhkan 10 atau 20 atau 30 persen dari total mobil yang dijual di Indonesia adalah mobil listrik, kami akan siap.
Namun jika pemerintah tidak peduli, dan pelanggan tidak memintanya, buat apa kami fokus di (mobil listrik) ini? Kami lebih baik memenuhi kebutuhan pasar lain. Jadi ini harus menjadi kombinasi antara kemauan pemerintah untuk bertindak menurunkan emisi, dan kesiapan industri menyediakan mobil-mobil (listrik) dengan harga wajar."(DHF/FER)