Kunang-kunang Besar pada Bulan Suci
Sepekan lalu, Bukit Putri Cempa di Desa Ngargosari, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, seolah-olah bertabur cahaya saat petang tiba. Gemerlap cahaya berasal dari 125 lentera. Bukan lentera biasa karena lentera itu ada di dalam kotak mirip kurungan berhias lukisan di empat sisinya. Ya, lentera itu dikenal dengan sebutan damar kurung.
Gambar di empat sisinya pun disebut lukisan damar kurung. Istimewanya, lukisan yang dipajang kali ini adalah goresan anak-anak SD yang sebelumnya mengikuti pesantren damar kurung pada Ramadhan tahun ini.
Karya mereka dipajang dan dipamerkan selama tiga hari dalam Festival Damar Kurung. Di bawah pancaran sinar lentera itu juga ada panggung ekspresi, mulai penampilan musik, pemutaran film animasi, hingga pertunjukan teater. Pergelaran itu dimulai setelah warga menunaikan tarawih.
Penggagas Festival Damar Kurung, Novan Effendy, menuturkan, kegiatan itu menjadi sarana untuk tetap melestarikan potensi seni rupa Gresik, damar kurung, agar tetap terjaga. Festival itu sudah berjalan enam kali di Gresik, dimulai dari 1.000 cahaya damar kurung di parkiran Makam Maulana Malik Ibrahim di Jalan Pahlawan pada 2012.
Selanjutnya digelar festival lampion Nusantara di parkiran Wahana Ekspresi Pusponegoro 2013 dan 2014. Mural damar kurung diadakan tahun 2015 di halaman Kantor Telkom, Jalan Raden Santri, Gresik. Tahun lalu ada Dongeng Damar Kurung di Kampung Kebomas. Damar Kurung Cahaya Kota Kenangan tahun ini digelar di Kafe Damar Kurung, Bukit Putri Cempa.
Selama Ramadhan juga digelar pesantren damar kurung yang pada tahun ini masuk tahun ketiga. ”Tahun ini kami fokus mengenalkan damar kurung kepada siswa SD, termasuk melibatkan mereka melukis. Karyanya dipamerkan kali ini,” ujar Novan.
Festival ke depan digelar dua tahun sekali. Tujuannya agar masyarakat mengetahui secara utuh tentang damar kurung yang kini juga menjelma menjadi lampu hias yang menerangi jalan protokol dan menghiasi taman kota di Gresik.
Tahun ini, pengunjung bisa menikmati cahaya kekuningan dari ”kunang-kunang besar” yang terpendar dari sinar lampu yang terbungkus damar kurung. Damar kurung adalah lampion berbentuk kotak dengan lukisan di empat sisinya. Pengunjung bisa berswafoto atau foto bersama berlatar gemerlap damar kurung.
Pada hari pertama seusai shalat tarawih, pengunjung dihibur seniman Gresik, Abdurrahman Qodri, yang dikenal dengan nama Cak Amang Genggong. Ia piawai memainkan harmonika sambil memainkan ketipung atau sambil memperagakan gerakan pencak silat hingga ada suara I, suara II, dan suara III sekaligus.
Hari kedua, pengunjung bisa menikmati film animasi terkait damar kurung karya Humam Jetra Mandala Forsa dari Institut Kesenian Jakarta dan film pendek, Lalunya, berlatar damar kurung dengan produser dan penulis skenario asal Gresik, Syafrina Andriati Pravitasi, yang juga dari IKJ.
Humam bangga bisa hadir dalam festival kali ini. Film animasi itu dibuat awalnya untuk tugas akhirnya. Namun, karya itu akan melengkapi khazanah pengetahuan terkait damar kurung. Dalam film berdurasi lebih kurang 5 menit itu, Humam jeli menuturkan asal muasal damar kurung yang mudah dipahami.
Mulai dari tradisi padusan (membersihkan makam) di Telogopojok, Gresik, lalu kebiasaan orang Tlogopojok menyalakan lentera di makam sambil mendoakan leluhur sebagai simbol agar doa itu bisa menerangi atau menjadi lentera bagi anggota keluarga yang telah meninggal. Damar kurung juga dipasang di teras rumah untuk menyambut Ramadhan dipasang sebulan penuh. ”Saya lihat damar kurung itu unik. Damar kurung sudah seperti animasi yang berjalan. Kalau dibuat film pasti bagus,” kata Humam.
Syafrina sendiri mengungkapkan ingin mengingatkan kembali tentang keberadaan damar kurung lewat sebuah film yang memadukan drama dan animasi. ”Kesulitannya dari sisi animasi karena dalam damar kurung kan wajahnya dibuat miring-miring,” katanya.
Hidupkan tradisi
Novan Evendy menegaskan, pihaknya hanya merangsang masyarakat Gresik agar membangkitkan tradisi damar kurung saat Ramadhan, yang mulai punah. Dahulu, pemasangan damar kurung di depan rumah warga menjadi penanda datangnya bulan puasa, bulan yang dimuliakan. Damar kurung menerangi sudut-sudut kampung, terutama saat listrik belum masuk.
Festival damar kurung bertujuan menggugah kesadaran warga Gresik terhadap ikon kotanya yang tak ada di daerah lain. Tahun ini festival ditutup penampilan teater Cager untuk mengenang tokoh teater Gresik, Cak Lenon Machali. ”Ini bukan sekadar menyalakan lentera pada bulan suci, melainkan juga menyalakan semangat berkesenian. Festival damar kurung menjadi panggung berekspresi,” katanya.
Dulu, menyalakan damar kurung menjadi pembeda tradisi membuka Ramadhan di Gresik dengan daerah lain. Bagi warga Desa Kroman, Kecamatan Gresik, ada tradisi menyalakan damar kurung menjelang Ramadhan. Dulunya, lampu minyak ditutupi hiasan mirip lampion yang berbentuk kotak dengan gambar di empat sisinya.
Gambar lukisan damar kurung itu di antaranya menceritakan soal shalat tarawih, tradisi kedundangan (musik patrol) dan saling tukar makanan, bisa bandeng atau pudhak (makanan khas Gresik). Sekilas bentuk lampion itu mirip kurungan. Gunanya untuk menjaga lampu minyak agar tidak mati terkena angin. Itulah alasannya disebut damar kurung. Kini lampunya bisa diganti bohlam yang ditutupi lampion damar kurung dan digantung.
Menurut budayawan Gresik, Oemar Zainuddin, tradisi memasang damar kurung masih dipegang teguh sejumlah warga di Kroman, Lumpur, dan Tlogopojok untuk menyambut datangnya Ramadhan. Di Karanganyar, ada kelompok masyarakat yang mengarak berbagai damar kurung dengan beberapa bentuk, di antaranya masjid, beduk, bulan bintang, dan miniatur pesawat untuk perayaan Maulid Nabi.
Ketua Masyarakat Pencinta Sejarah dan Budaya Gresik (Mata Seger) Kris Adji menambahkan, era kejayaan damar kurung diperkirakan pada 1945. Awalnya sebagai cendera mata sepulang dari padusan (berziarah) di makam Tlogopojok, lalu berkembang digantung di teras rumah, hingga dibuat arak-arakan. (ADI SUCIPTO KISSWARA)