logo Kompas.id
Lain-lainPertobatan Politik
Iklan

Pertobatan Politik

Oleh
m subhan sd
· 4 menit baca

Hari-hari ini teringat Xi Jinping. Sejak menjadi pemimpin China pada akhir 2012, Xi mengumumkan perang terhadap korupsi. Tidak pandang bulu. "Macan" atau "lalat", kalau terlibat korupsi, langsung "dikandangi". Tidak ada cerita orang kuat lolos. Zhou Yongkang, mantan komandan keamanan negara dan anggota Politbiro, tidak terkecuali. Padahal, Zhou adalah satu dari sembilan penentu kebijakan China. Jenderal Xu Caihou juga diusut, 2014. Padahal, Xu pernah menjadi wakil kepala komisi militer dan anggota Politbiro.Juli 2015, giliran Jenderal Guo Boxiong diseret ke pengadilan. Ia dilucuti dari posisi wakil kepala komisi militer dan anggota Partai Komunis China. Ia mendekam di penjara dan hak politiknya dicabut. Saat itu, ada 14 jenderal yang diadili. Contoh lain kasus Bo Xilai, politikus yang Ketua Partai Komunis Chongqing. Bo diadili pada 2013. Pengadilan pun menghukum: penjara seumur hidup dalam kasus penyuapan, 15 tahun untuk perkara penggelapan, dan 7 tahun dalam perkara penyalahgunaan kekuasaan. "Kita harus menjunjung pertempuran macan dan lalat saat bersamaan... sungguh-sungguh menyelesaikan kasus korupsi," kata Xi Jinping.Sebetulnya ada hal yang sangat menarik, yaitu efek ketakutan yang menghantui para koruptor sejak perang terhadap korupsi dilancarkan pemerintahan Xi Jinping yang menjadi presiden sejak Maret 2013. Saking takutnya, para koruptor ramai-ramai memilih bunuh diri begitu mereka mulai diusut kasus korupsi. Inilah bedanya negara kita yang mengaku berideologi Pancasila dibandingkan dengan China yang sering kita lecehkan berideologi komunis. Di negeri ini, bukannya mendukung untuk pemberantasan korupsi atau menimbulkan efek jera, sebaliknya justru ramai-ramai melakukan "perlawanan balik". Bayangkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diapresiasi publik karena sepak terjangnya selama 15 tahun ini dalam memberantas korupsi justru dipertanyakan oleh sejumlah politikus. Ada politikus di DPR bilang kira-kira begini, "Korupsi masih marak, kok, KPK dianggap berhasil." Ada politikus DPR lainnya ngoceh, "Selama 15 tahun KPK, OTT makin banyak? Bukankah ini pengakuan korupsi tambah banyak? Lalu sukses KPK di mana?" Pikiran jernih serasa berhenti mencerna apa yang ada di benak para politikus itu. Apa dikiranya KPK yang bertanggung jawab menghilangkan korupsi yang dilakukan para politikus kolega mereka? KPK dibentuk karena lembaga-lembaga pemerintah dan negara yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien. Pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab semua elemen yang hidup di negara ini. DPR seharusnya menjadi ujung tombak mengikis perilaku korup dan kemaruk para politikus. Banyak politikus DPR yang korupsi, kok, KPK yang dipersalahkan? DPR justru gagal total karena tak mampu memperbaiki watak dan perilaku para anggotanya. Sebaliknya, KPK sukses besar karena terus-menerus menangkapi para politikus busuk. Kita tidak boleh kalah menghadapi kesesatan berpikir sejumlah politikus. Semakin paham bahwa di balik wajah para politikus yang selama ini penuh pesona sesungguhnya tersembunyi wajah-wajah palsu, topeng simulakra, berlapis bedak atau kosmetik. Barangkali karena suhu semakin panas, kosmetiknya mulai meleleh luntur sehingga tampak wajah aslinya. "Wajah asli" itulah betapa permainan mengatur proyek dan meminta komisi (fee) belum hilang juga.Selama ini, kasus-kasus korupsi besar rata-rata terkait DPR. Terbaru adalah megakorupsi KTP elektronik (KTP-el) yang diduga menyeret "nama-nama besar". Anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 diduga menerima fee dari proyek KTP-el. KPK sudah memeriksa 23 anggota atau mantan anggota DPR; juga mantan Mendagri Gamawan Fauzi, Gubernur Jawa Tengah, dan Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey. Nama Ketua DPR Setya Novanto juga disebut di persidangan. Memang keterlaluan! KTP-el yang membuat warga antre berjam-jam sekadar membuat foto dikorupsi triliunan rupiah. Pantas saja kualitas KTP-el sangat buruk karena anggaran dicuri dan dibagi-bagi sesama pejabat korup.Pasca-megakorupsi KTP-el, sekarang DPR menggebrak KPK dengan Panitia Angket DPR terhadap KPK walaupun dikritik banyak kalangan. DPR bergeming meskipun 357 cerdik cendekia guru besar dari berbagai perguruan tinggi menolak hak angket itu. Oh, politikus! Apa yang bisa dipegang dari mulutmu, juga dari komitmenmu. Saya jadi teringat sebait puisi KH Mustofa Bisri (Gus Mus) berjudul Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana (1987): Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah ku pilih kau bertindak sendiri semaumu/Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu/Kau ini bagaimana. Mumpung menjelang Idul Fitri 1438, inilah momentum amat baik untuk melakukan pertobatan politik: mengikis arogansi kekuasaan. Sebab, "Korupsi adalah bentuk lain tirani," ujar Joe Biden, Wakil Presiden Amerika Serikat (2009-2017). Jika tidak, sama saja DPR memancing kekuatan rakyat (people power) bangkit. Dan, tampaknya sejarah selalu berulang (l\'histoire se repete).

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000