Meretas Jalan untuk Menggapai Upah Minimal
Jemari Elsa Sabila (18) bergerak pelan mencocokkan gerakan mesin jarum satu pabrikan China mengikuti pola jahit membentuk kantong baju. Terdorong bekerja di pabrik garmen demi upah minimal, dia memberanikan diri belajar menjahit di sebuah lembaga kursus meski tak punya uang sepeser pun.
”Saya mau kerja di pabrik garmen, tapi saya tidak bisa menjahit. Tahu mesin jahit saja setelah di tempat pelatihan. Teman yang bekerja memberi saran agar saya ke sini supaya nanti bisa kerja,” ujar Elsa, Rabu (15/3) saat ditemui di Lembaga Kursus dan Pelatihan Eka Mulya, Gintungan, Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Sudah sembilan hari, remaja asal Desa Sumowono, daerah di sekitar lokasi wisata Bandungan, kaki Gunung Ungaran itu, mengikuti kursus menjahit. Hanya mengantongi ijazah sekolah menengah pertama (SMP), Elsa tahu kesempatannya kecil untuk mengubah nasib hidup. Untuk itu, dia berniat menambah pengetahuan jahit-menjahit. Dia pun datang ke LKP Eka Mulya, bertemu dengan Hartini, pengelola tempat kursus itu.
Hartini menuturkan, Elsa ditinggal orangtuanya bekerja di Sumatera. Saat ini, gadis itu hidup bersama neneknya di desa. Waktu datang mau ikut kursus, dia bilang tidak punya uang buat membayar.
”Buat saya, uang tidak soal. Dia saya terima dan saya suruh belajar semaunya. Silakan belajar sak pintere (sampai pintar), tanpa dibatasi waktu,” ujar Hartini.
Bukan hanya perempuan, banyak dari kaum adam juga belajar menjahit. Di tengah terbatasnya kesempatan, peluang kerja di pabrik garmen yang membutuhkan karyawan hingga ribuan orang menjadi pilihan paling realistis.
Itu pun diakui Deni Chandra (19), asal Dusun Sidorejo, Karangawen, Kabupaten Demak. Lulusan SMA itu mau belajar menjahit agar bisa kerja di pabrik. Deni sudah belajar menjahit selama 19 hari, artinya masih ada 12 hari lagi sebelum dinyatakan lulus dari tempat kursus.
”Tidak banyak anak muda ke pertanian, mereka memilih kerja di pabrik pembuat pakaian jadi. Saya juga mau ikut kerja,” ujar Deni. Dia sudah menguasai mesin jahit jarum satu, mesin obras, dan membuat pola busana.
Didorong terampil
Tiap peserta kursus diarahkan agar mahir menjahit, menjalankan mesin obras, serta membuat pola. Penguasaan mesin jahit, misalnya, bertahap, mulai dari mesin jahit jarum satu, mesin jahit jarum dua, dan seterusnya.
Apabila sudah mahir berlanjut penguasaan mesin jahit overdeck, lubang kancing, zig-zag, pasang kancing, dan kansai spesial. Beberapa anak bahkan meningkat mempelajari mekanika mesin jahit. Mereka tidak hanya menjadi operator, tetapi juga ahli dalam perawatan mesin jahit.
Ramainya kursus menjahit tak bisa lepas dari angan banyak anak desa bekerja di pabrik garmen atau tekstil, terutama mereka yang tumbuh di daerah industri sektor manufaktur. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Provinsi Jateng mencatat, investasi sektor manufaktur, terutama industri tekstil dan produk tekstil, pada 2015 mencapai 523 proyek dengan nilai investasi Rp 5,85 triliun.
Kusmanto, pengelola LKP Eka Mulya, menyatakan, lembaga itu memasok calon pekerja terampil pada 31 perusahaan garmen dan tekstil di wilayah Semarang, Boyolali, Solo, dan sekitarnya. Perusahaan itu telah menjalin kerja sama dalam penyediaan tenaga kerja terampil ataupun mendidik calon pekerja yang sudah diterima di pabrik.
”Pabrik itu maunya pekerja yang terampil. Kalau mereka menerima pekerja baru, kemudian ada 5-10 pekerja belum kenal mesin jahit atau tidak bisa menjahit, maka dikirim ke tempat saya. Saya latih 20-30 hari, setelah terampil, lalu balik ke pabrik itu,” ujar Kusmanto.
Menurut dia, saat ini lebih dari 50 anak-anak muda kursus di tempat tersebut. Mereka menjalani pelatihan tiap Sabtu dan Minggu. Kalau yang sedang kursus di luar hari itu, biasanya mereka yang belum diterima di pabrik.
Dalam impian Musramji (18), peserta kursus menjahit asal Ambarawa, Semarang, bekerja di pabrik adalah jalan pintas mendapatkan upah layak. Setelah lulus dan diterima di pabrik, mereka akan mendapatkan setidaknya setara upah minimal kabupaten sebesar Rp 1,7 juta per bulan.
Musramji, Elsa, dan Deni sangat mungkin mewakili impian kecil kaum muda dari perdesaan yang lebih berorientasi bekerja di pabrik, tidak lagi tertarik di sektor pertanian. Menggarap sawah, menanam padi dengan upah Rp 100.000 per hari, tidak mampu memancing minat mereka turun ke sawah.
Hartini menjelaskan, sejak lembaga kursus itu didirikan pada 2010, banyak anak muda telah disalurkan ke pabrik setelah lulus dari pelatihan. Bahkan, kalau dapat program dari pemerintah, pihaknya bisa menerima peserta kursus antara 2.000 orang hingga 5.000 orang selama setahun.
”Kalau dapat program melatih lebih enak, pihak lembaga memperoleh dana untuk biaya bagi peserta pelatihan. Besarnya bervariasi, setidaknya Rp 200.000 per anak. Mereka menjalani pelatihan menjahit hingga 20-30 hari,” ujar Hartini. Namun, program itu tidak rutin, kadang dalam setahun, pihaknya tidak memperoleh jatah pelatihan calon pekerja dari program pemerintah.
Kurang mampu
Hartini mengakui, sebagian peserta kursus berasal dari keluarga kurang mampu sehingga dibebaskan dari biaya. Idealnya, tiap anak harus membayar biaya kursus Rp 500.000 per paket. Ada pula yang membayar biaya kursus diangsur setelah diterima bekerja di pabrik. Biaya kursus itu untuk membayar listrik, biaya makan selama kursus, membeli bahan dan benang, serta honor mendatangkan instruktur.
Keberadaan lembaga kursus sangat membantu penyediaan tenaga kerja terampil untuk industri manufaktur, seperti garmen dan tekstil. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jateng Frans Kongi menuturkan, ketersediaan tenaga kerja tidak mencukupi kebutuhan industri-industri baru yang tumbuh di daerah tersebut. Serapan pekerja yang rata-rata sekitar 2.000 orang per tahun mulai 2017 meningkat 50 persen menjadi 3.000 pekerja.
”Banyak pabrik baru. Mereka butuh banyak tenaga terampil. Saat ini, banyak yang memenuhinya dengan merekrut tenaga kerja dari luar Jateng,” katanya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jateng Wika Bintang mengakui, pihaknya kesulitan mendata kebutuhan riil pekerja untuk mencukupi industri baru. Selain lembaga kursus swasta, pihaknya juga membantu memenuhi tenaga kerja dari balai latihan kerja (BLK) milik pemerintah.
Bekerja sebagai buruh pabrik, mesti diakui, menjadi harapan realistis banyak remaja desa berpendidikan rendah di sekitar kawasan industri seperti halnya Elsa. Melalui lembaga kursus, angan kecilnya mengangkat derajat hidup setapak lagi terwujud.