logo Kompas.id
Lain-lainInspirasi Keterbukaan dan...
Iklan

Inspirasi Keterbukaan dan Nasionalisme

Oleh
Ratih prahesti sudharsono
· 5 menit baca

Beberapa kali singgah duduk di kursi besi di teras rumah Friedrich Silaban di jantung Kota Bogor, Jawa Barat, ada kesamaan: keterbukaan dan keramahan. Satu waktu ada pedagang keliling berbaring ngadem di bagian muka rumah. Pada waktu lain, seorang juru parkir liar dengan bebas mengisi ulang telepon genggamnya, sambil berujar, "Numpang tulang."Rumah salah satu tokoh penting arsitek kenamaan itu berdiri kokoh sekitar 150 meter di sisi barat Istana Bogor. Di belakang Hotel Salak, yang dulu bernama Jalan Gedong Sawah. Sejak Juni 2017, jalan di salah satu perempatan kecil itu berganti nama menjadi Jalan Arsitek F Silaban. Kini, rumah dengan halaman luas berumput tanpa pagar itu ditinggali Haposan Silaban (62), putra keenam pasangan F Silaban-Letty Kievits. Selama hidup, kedua pasangan itu memiliki sebelas anak, dua di antaranya sudah meninggal. Yang lain tinggal di luar Kota Bogor. Satu di antaranya tinggal di Jerman.Siang di akhir Juni, jalan di muka rumah yang selesai dibangun tahun 1959 itu ramai. Seorang juru parkir menuju teras rumah menumpang mengisi ulang telepon genggamnya. "Numpang tulang," katanya. Tulang adalah sebutan khas suku Batak untuk menyebut paman."Biasa orang mampir istirahat di sini. Bapak sengaja buat dudukan rendah di muka rumah dan bisa diduduki. Juga tanpa pintu pagar," kata Haposan. Dulu, kata dia, pedagang keliling biasa istirahat sambil menunggu pembeli, juga duduk-duduk di pagar. Saat Letty memasang sumur pompa, pedagang atau siapa saja yang perlu air bersih kapan saja bisa menimba."Pernah juga rombongan karyawan gelar tikar di halaman, lalu makan bersama seperti piknik," ujar Haposan. Rumah itu dirancang khusus oleh F Silaban (1912-1984). Pembangunannya memakan waktu satu tahun, yang berdiri di atas dua petak lahan. Di rumah itu atau sebelumnya, sejumlah karya penting dirancang, termasuk Masjid Istiqlal dan Gedung Bank Indonesia, Jakarta. Di rumah itu pula, atas perintah Presiden Soekarno, Silaban merancang logo Kota Bogor, yang masih dipakai hingga kini. Kokoh dan terbukaRumah dua lantai itu luasnya 769 meter persegi, berdiri di atas lahan 1.397 meter persegi, tepatnya di Jalan Arsitek F Silaban Nomor 19. "Nomor rumah sudah berganti sebelum nama jalan berubah karena pendataan ulang nomor rumah," kata Haposan.Rumah di lingkungan permukiman di jantung kota itu tampak kokoh dengan aksen simetris. Pilar rumah yang menonjol dan tembok pagar pembatas dengan rumah tetangga ditutup potongan-potongan batu alam yang dibelah atau dipotong kotak persegi panjang, dalam berbagai ukuran. Warna batu alam yang tak seragam ditata sedemikian rupa, membentuk tampilan bidang dinding yang harmonis dan tidak bosan dipandang."Jelas, rumah tinggal Silaban sangat istimewa. Selain karya maestro arsitektur , bangunan ini secara arsitektural adalah desain matang dan padu," kata Dayan Duma Layuk Allo, pegiat Kota Pusaka Bogor, yang juga arsitek. Rumah itu juga disebut hunian modern Indonesia pada zamannya, yang memadukan konsep timur-barat dengan sempurna. Rumah Silaban itu, kata dia, mungkin merupakan rumah hunian modern Indonesia pertama yang adalah karya anak bangsa sendiri. F Silaban dengan berani memasang jendela-jendela kaca dengan bukaan lebar di muka rumah. Di atas jendela, dipasang lubang-lubang dengan kawat kasa yang memungkinkan angin menembus masuk. Tak perlu pendingin ruang hingga kini. Silaban juga memberi akses langsung bagi siapa saja, dari teras rumah, ruang tamu, ruang tengah (keluarga), hingga dapur serta halaman atau teras belakang dengan bukaan lapang. Penggunaan pintu kaca geser di ruang tamu membuat Rumah Silaban jadi rumah hunian pertama yang menggunakannya di kawasan Bogor. Model itu biasa ditemukan pada rumah tradisional Jepang. Bedanya, di Jepang, pintu terbuat dari kayu ringan dan dinding kertas. Di Rumah Silaban, bagian dari kuda-kuda atap, kusen pintu, jendela, hingga anak tangga menggunakan material kayu jati kelas satu dan tebal. Semua tampak solid dan presisi. Dulu, atap rumah terbuat dari sirap kayu ulin. Namun, pada awal tahun 1980-an, atap sirap diganti genteng beton.Satu hal yang juga tak berubah, tembok pagar beton rendah tanpa pintu. Semua itu membuat rumah menyatu dengan lingkungannya. "Diadopsi dari gaya rumah hunian kelas atas di Amerika Serikat," kata Dayan.Rumah menjadi adem, selain memakai material batu alam dan marmer untuk dinding dan lantai, kata dia, juga karena berkonsep hunian tropis. Atapnya menggunakan konsep pelana, berorientasi bentuk massa memanjang timur-barat sehingga cerdas memanfaatkan cahaya matahari tanpa disorot terik berlebihan. Sirkulasi udara di ruangan pun mengalir lancar. Langit-langit rumah tinggi karena plafon mengikuti bentuk atap pelana. "Rumah Silaban bisa jadi contoh penerapan bangunan hemat energi," kata Dayan. Itu terbukti. Setiap bulan, konsumsi listrik di rumah itu Rp 300.000, yang membuat pihak PLN pernah mengecek langsung ke rumah itu. "Petugas PLN didampingi polisi curiga, kok tagihannya hanya segitu," kata Haposan, tertawa. Tagihan itu untuk konsumsi listrik satu televisi, dua kulkas, setrika, dan lampu-lampu. Tidak ada AC. Poltak Silaban (67) dan Panogu Silaban (60), anak ke-3 dan ke-7 Silaban, menuturkan, mereka tak banyak mendapat kisah perjalanan atau sejarah dibangunnya rumah itu. "Yang kami ingat, bapak membangun rumah ini karena Bung Karno akan mampir. Saat itu bapak menolak dan mengatakan silakan berkunjung kalau sudah membuat rumah sendiri," tuturnya.Bung Karno ingin berkunjung ke rumah Silaban setelah arsitek terkenal Belanda yang melihat langsung rancangan dan pembangunan Masjid Istiqlal menyatakan keheranannya karena arsitek perancang Istiqlal tidak mendapat rumah berkelas. Jauh berbeda dengan di negeri Eropa.Tahun 1959, setelah rumah selesai dibangun, Bung Karno bersama Ny Hartini singgah. Sebuah foto hitam putih jadi buktinya.Tak ada informasi isi pembicaraan. Yang pasti, Bung Karno meminta Silaban merancang logo Kota Bogor yang mencerminkan keistimewaan Bogor dan nasionalisme. Di bawah tiga lampu sorot dan meja-meja gambar di ruang kerja itulah Silaban merancang logo dan bangunan penting. Budayawan Bogor, Ace Sumanta, mengatakan, Rumah Silaban selayaknya dijadikan bangunan cagar budaya. (GESIT ARIYANTO)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000