Warga Kauman, yang ada di belakang Masjid Jami’ di barat Alun-alun Kota Gresik, Jawa Timur, masih memegang teguh tradisi luhur. Mereka menyempurnakan puasa Ramadhan yang mereka jalani sebulan penuh dengan puasa Syawal selama enam hari berturut-turut sehari setelah menjalankan shalat Idul Fitri. Mereka baru merayakan Lebaran pada Minggu (2/7) bertepatan dengan tanggal 8 Syawal. Mereka bersilaturahim seusai shalat Maghrib.
Pada petang hari, di sekitar Alun-alun Gresik, terlihat ramai, terutama di Kampung Pekauman yang biasa disebut Kauman. Keramaian itu terjadi karena warga baru merayakan Lebaran yang hanya berlangsung semalam.
Lebaran di Kauman dirayakan bersamaan dengan riyaya kupatan (hari raya ketupat). Tradisi itu menjadi puncak silaturahim bagi warga. Di kala di daerah lain sudah sepi dan warganya sebagian sudah kembali ke tempat kerja, kampung tersebut justru ramai.
Di kala di daerah lain sudah sepi dan warganya sebagian sudah kembali ke tempat kerja, kampung tersebut justru ramai.
Mereka bersilaturahim dengan tetangga. Sanak saudara dari jauh pun menyempatkan diri unjung-unjung (saling mengunjungi) sambil membawa makanan. Tradisi Lebaran itu berlangsung turun-temurun. Warga merasa belum lengkap dan tidak sempurna apabila Ramadhan tidak diteruskan puasa sunah dan ditutup kupatan.
Banyak juga warga luar kampung yang datang. Mereka dijamu dengan menu ketupat yang dipadu opor ayam, gulai kambing, atau masakan berbahan bandeng. Kue Lebaran dan minuman tentunya juga tak ketinggalan menjadi suguhan.
Umumnya, pada 1 Syawal, warga Kauman melaksanakan shalat Idul Fitri. Setelah itu, suasana kampung menjadi lengang. Keesokan harinya mereka berpuasa lagi selama enam hari. Setelah itu, mereka bersukacita merayakan Lebaran. Selepas shalat Maghrib pada 8 Syawal, warga saling berkunjung, sambil menikmati hidangan Lebaran.
Tradisi itu awalnya berkembang di Kampung Kaliboto, Pekauman, dan Bekakaan, Kelurahan Kauman. Perkampungan seluas sekitar 4,5 hektar dengan penduduk sekitar 2.000 jiwa itu benar-benar semarak saat kupatan. Warga tak segan-segan mempercantik rumahnya, termasuk mengecat ulang. Momentum setahun sekali itu dirasakan sangat istimewa.
Turun-temurun
Menurut Ketua Masyarakat Pencinta Sejarah dan Budaya Gresik (Mataseger) Kris Adji, kebiasaan puasa Syawal itu diperkenalkan oleh ulama bernama Kiai Baka yang masih keturunan Syekh Ainul Yaqin (Sunan Giri). Ia meminta santrinya agar mengikuti sunah Rasul dengan berpuasa Syawal selama enam hari. Nama Kiai Baka pun diabadikan sebagai nama kampung, Kebakaan. Namun, karena pengaruh pelafalan Jawa, akhirnya lambat laun menjadi Bekakaan.
Zamzami, Sekretaris Dewan Kemakmuran Masjid Jami’ Gresik, menambahkan, tradisi yang dirintis Kiai Baka itu juga diteruskan oleh santrinya, KH Muhammad Zubair, kemudian diikuti warga Kauman hingga saat ini. Warga Kauman rela menunda perayaan Lebaran, yang penting tradisi terpelihara dengan baik.
Warga yang tinggal di Kauman dikenal sebagai pribadi yang religius. Salah satu wujudnya adalah melestarikan tradisi dan budaya pendahulu. Kebudayaan yang diwariskan terkait erat dengan proses penyebaran ajaran Islam. Apalagi, proses para wali dan ulama menyebarkan Islam kental dengan proses akulturasi.
Warga mudah menerima tradisi itu karena apa yang dijalankan merupakan salah satu bentuk kecintaan kepada Rasulullah. Berpuasa Syawal mulai sehari setelah shalat Id, bagian dari sunah yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Kebiasaan berpuasa Syawal itu juga dijalankan keturunan warga Kauman yang tinggal di daerah lain. Tradisi itu juga berlaku bagi orang luar kampung yang menikah dengan warga Kauman.
Warga Kauman rela menunda perayaan Lebaran, yang penting tradisi terpelihara dengan baik
Syaichu Busyiri, anggota DPRD Gresik, kini tinggal di Kompleks Perumahan Gresik Kota Baru. Ia tidak lagi tinggal di Kauman, tetapi tetap menjalankan tradisi leluhurnya menyempurnakan puasa Ramadhan dengan puasa Syawal, karena itu memang tuntunan dari Rasulullah. ”Kami menghormati tradisi yang baik,” katanya.
Karena perayaan Lebaran di Kauman hanya berlangsung semalam, semua warga berjubel di kampung. Mereka saling bersilaturahim dan memaafkan dengan berseri-seri. Momentum Lebaran itu kadang diselingi perkenalan sanak saudara dan menyambung silaturahim yang putus, terutama yang lama tidak bertemu. Tak jarang ada yang bertemu jodoh.
Kris Aji menuturkan, saat kupatan itu, warga saling berkunjung dan bersalaman untuk bermaafan. Dulu, antarwarga atau tetangga saling ngaturi (menghaturkan) kupat lepet. Makna yang tersirat dari kupat adalah ngaku lepat, mengakui kesalahan.
Selanjutnya, mereka bisa melanjutkan pergaulan sehari-hari dengan perasaan lepas tanpa dibebani rasa bersalah.
Ketupat merupakan simbol kaffah yang dalam bahasa Arab berarti sempurna, sementara lepet berasal dari bahasa Jawa yang artinya kesalahan. Ngaturi kupat lepet juga bermakna kebersihan hati setelah puasa semakin sempurna dengan mengakui kesalahan dan saling bermaafan. Selanjutnya, mereka bisa melanjutkan pergaulan sehari-hari dengan perasaan lepas tanpa dibebani rasa bersalah.
Dahulu, momentum kupatan juga merupakan hari istimewa sehingga harus dirayakan spesial. Ketupat pun dipadu opor ayam, soto, kare ayam, atau gulai kambing karena demi merayakan hari raya serta menghormati tetamu dan saudara.
Kupat juga biasa disantap dengan gulai ubus, kerupuk yang panjangnya sekitar 30 sentimeter dan lebar 20 cm. Ubus dibuat dari tepung terigu, garam, dan air yang diolah seperti membuat adonan kulit martabak. Adonan itu ditaruh di atas daun pisang, lalu dipanggang di atas arang.
Cara makan ubus adalah dengan dicocolkan atau dimasukkan ke gulai kambing. ”Dahulu makanan itu terasa benar-benar istimewa. Kalau sekarang, mungkin orang makan gulai kambing dan opor ayam bisa kapan saja,” ujar Kris.