logo Kompas.id
Lain-lainAdu Kuasa Tiga Komoditas...
Iklan

Adu Kuasa Tiga Komoditas Bangka

Oleh
Mukhamad kurniawan & A Budi Kurniawan
· 5 menit baca

Karakteristik iklim bimodal membuat lada ("Piper nigrum") Bangka-Belitung istimewa. Beken dengan merek dagang "Muntok White Pepper" di pasar rempah dunia. Namun, perjalanan lada di Bangka Belitung terseok-seok, terimpit oleh kuasa timah dan sawit.Matahari di Desa Kundi, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung, Selasa (14/3), amat menyengat kulit. Suhu pada tengah hari tercatat lebih dari 30 derajat celsius. Beberapa peserta rapat di Balai Desa Kundi berkipas-kipas mengusir panas.Siang itu warga berkumpul. Ada kepala dusun, tokoh, dan wakil lembaga masyarakat, serta kepala desa. Mereka antara lain membahas rencana masuknya perkebunan sawit swasta pemegang izin pengelolaan hutan di kawasan Kundi. Petani khawatir lada dan karet mereka tergusur tanaman industri dan hilang sumber penghidupannya."Kami tak ingin jadi buruh di tanah sendiri. Kami ingin tetap bisa menanam dan mengelola lahan sendiri seperti kakek nenek kami yang turun-temurun menanam lada dan karet," kata Jemaun (48), petani lada, yang juga Kepala Dusun IV Desa Kundi.Di gerbang Desa Kundi, warga memasang spanduk bernada protes, bunyinya, "Kami, masyarakat Desa Kundi, menolak segala kegiatan hutan tanaman industri." Isi spanduk mewakili keresahan petani Kundi, desa di bagian barat Pulau Bangka, yang turun-temurun hidup dari kebun lada dan karet. Kundi hanya beberapa kilometer dari Muntok, pintu masuk lada di Pulau Bangka. Selain di kebun pribadi, sebagian warga juga menanam lada di hutan produksi milik negara. Menurut Kepala Desa Kundi Mus Mulyadi, mayoritas dari 729 keluarga di desanya menanam lada atau karet. Karet menjadi sumber pendapatan harian atau mingguan. Sementara lada merupakan tabungan tahunan sesuai karakteristik panen yang musiman. Luas kebun lada di Kundi mencapai sekitar 600 hektar, sedangkan sawit sekitar 15 hektar. Warga khawatir bakal kehilangan sumber penghasilan karena kebunnya tergusur oleh perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri (HTI). Mereka ingin hutan produksi milik negara bisa tetap digarap oleh warga desa, bukan oleh perusahaan swasta, atau bahkan swasta asing.Protes terhadap masuknya sawit di Kundi berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Warga bahkan telah menetapkan tanggal 15 Agustus sebagai hari perjuangan menentang sawit, sekaligus hari pelaksanaan pesta adat. Lewat peraturan desa, warga menjaga sekitar 4 hektar hutan adat dan memegang aturan terkait pemanfaatan hutan di sekitar desa.Problem terkait pemakaian lahan telah berlangsung lama di Bangka. Tahun 1900-an, tuntutan atas lahan meningkat seiring semakin intensifnya pertanian, khususnya untuk lada. Mary F Somers dalam buku Timah Bangka dan Lada Mentok menyebutkan, persoalan tanah muncul seiring meningkatnya penduduk, sebagian karena lada semakin populer. Banyak penambang Tionghoa meninggalkan tambang timah dan mencoba penghidupan di bidang pertanian.Bangka pada 1927 hanya mempunyai 34 persen hutan. Pelanggaran batas tanah hutan jadi masalah serius. Tindakan keras diambil Belanda untuk melindungi hutan. Pada tahun 1933, peraturan tentang hutan Bangka diperluas hingga larangan pengumpulan kulit kayu dan bilah tali di hutan cadangan milik negara.Bagi petani dan pelaku usaha lada, sawit adalah ancaman baru bagi lada Bangka Belitung setelah tambang. Kepala Sekretariat Badan Pengelolaan Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Bangka Belitung Zafrizal menyebutkan, setelah perkebunan sawit masuk tahun 1997 dan berkembang luas pada tahun 2000-an, tren ekspor lada dari Bangka Belitung terus menurun. Reformasi tahun 1998 melahirkan otonomi dan inisiatif pemerintah daerah. Salah satunya adalah menarik investasi besar-besaran di sektor perkebunan sawit yang dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi.Data Dinas Pertanian Perkebunan dan Peternakan Bangka Belitung, luas perkebunan sawit bertambah rata-rata 10 persen per tahun, sedangkan perkebunan lada hanya bertambah 4 persen per tahun. Luas kebun lada bertambah dari 36.724 hektar tahun 2009 menjadi 49.822 hektar tahun 2016. Sementara kebun sawit bertambah dari 34.659 hektar menjadi 64.099 hektar. BimodalDatang dari pantai barat India, lada menemukan "rumah" yang tepat di Bangka Belitung. Karakteristik iklim, tanah, dan perlakuan manusia menghasilkan lada putih dengan aroma dan cita rasa yang khas. Lada dari daerah ini memiliki reputasi baik di pasar dunia dan diburu sejak sebelum Perang Dunia II.Matahari yang menyengat adalah berkah bagi Jemaun dn petani Kundi lain. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan cuaca cerah pada pertengahan Maret 2017 lalu untuk memastikan pembuahan ladanya berlangsung sempurna. Para petani meniti tegakan pohon rambatan, daun, batang, dan buah yang mulai muncul. Mereka menyiangi rumput, memangkas pohon yang menjadi tiang panjat, serta mengecek daun dan batang lada untuk memastikan tidak ada serangan hama atau penyakit. Petani lada Bangka Belitung tergolong diuntungkan letak geografis yang dekat dengan garis khatulistiwa. Kebutuhan penyinaran tanaman tercukupi. Karakter iklim juga membantu proses pembentukan bunga, pembuahan, hingga pematangan buah. Tipe iklim bimodal ideal bagi rempah yang berjuluk "king of spices" ini. Ada dua puncak musim kemarau, yakni kemarau pendek pada Januari yang mendorong pembentukan bunga, dan kemarau yang lebih panjang pada April-Juni yang menyempurnakan proses pembuahan lada. Pasril Wahid, pengurus Dewan Rempah Indonesia, mantan Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Kementerian Pertanian, mengatakan, faktor iklim berpengaruh besar bagi mutu lada. Salah satu pembeda lada Bangka dan lada dari daerah lain di Indonesia adalah kadar piperin yang menentukan tingkat kepedasannya. Piperin lada Bangka, sesuai hasil pengujian untuk penerbitan sertifikat indikasi geogragis (IG), tercatat 5,4 persen. Ini tertinggi dibandingkan lada dari daerah lain di Indonesia.Dominasi tanah podsolik di Pulau Bangka sebenarnya kurang baik bagi tanaman lada. Dari sisi kesuburan, tanah di Pulau Bangka ataupun Belitung kalah dibandingkan Lampung atau Banten. Namun, faktor iklim membentuk kekhasan lada Bangka. "Karakteristik iklim tidak bisa ditiru daerah lain," kata Pasril.Sayangnya, meski diuntungkan secara agroklimat, pengembangan lada Bangka tak optimal. Menurut Yudi Sapta Pranoto, peneliti sosial ekonomi Universitas Bangka Belitung, banyak kepentingan yang justru menghambat pengembangan lada Bangka Belitung. Keberpihakan pemerintah daerah juga kurang.Konflik perebutan lahan menuai protes dan keprihatinan petani. Pada 26 Mei 2015, sebanyak 1.400 petani lada di Bangka Barat berkumpul untuk menyatakan komitmen mengembalikan kejayaan lada. Tanggal itu yang kemudian ditetapkan sebagai hari lada di Bangka Belitung.Sejak penandatanganan komitmen, pemerintah daerah membuat payung hukum untuk melindungi petani lada dari berbagai gangguan melalui Peraturan Bupati Bangka Barat Nomor 47 Tahun 2015 tentang Sistem Budidaya Tanaman Lada. Tujuannya antara lain memacu hasil guna memenuhi kebutuhan, memperluas kesempatan kerja, sekaligus memperbesar ekspor lada. (RHAMA PURNA JATI/ADRIAN FAJRIANSYAH)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000