Dijon
Perancis tak melulu Paris. Di zaman ketika romantisisme Sungai Seine, Menara Eiffel, dan Museum Louvre sudah menjadi terlalu "mainstream", saatnya menengok sisi-sisi lain negeri ini. Dijon, satu kota yang belum banyak dikenal orang, satu pilihan asyik.
Pukul 12.17 - Lewat tengah hari, kereta cepat TGV Lyria yang membawa Kompas dan rombongan dari Zurich, Swiss, tiba di Stasiun Dijon, Rabu (28/6), setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam. Belum banyak orang yang mengenal kota kecil di bagian timur Perancis ini. Kesan pertama, kota ini terlihat sepi. Wajar saja, penduduknya ibu kota Region Burgundy-Franche-Comte ini hanya 255.000 orang, atau beda tipis dengan penduduk Kecamatan Kemayoran di Jakarta Pusat.
Rabu (28/6)
Pukul 12.29 - Kami check-in di Hotel Vertigo yang terletak di pusat kota Dijon, tepatnya di Rue Devosge yang berdekatan dengan alun-alun Place Darcy.
12.49 - Seusai menaruh koper dan mencuci muka sebentar, kami tak sabar segera makan siang. Restoran L\'Edito yang terletak di pinggir kawasan pedestrian Place Darcy menjadi pilihan siang itu. Restoran ini unik karena menyajikan konsep laiknya sebuah ruang redaksi surat kabar atau penerbitan zaman dulu. Lengkap dengan sebuah mesin cetak kuno dan deretan buku-buku tua yang disusun di dinding. Berhubung ini berada di pedalaman Perancis, hasrat mencicipi hidangan khas negeri ini langsung muncul. Dipilihlah dua menu khas, yakni escargot dan foie gras. Yang disebut pertama adalah masakan daging bekicot. Daging warna hitam ini digoreng dan disajikan dalam piring logam dengan cekungan-cekungan, seperti penggorengan kue cubit. Rasanya kenyal-kenyal gurih lezat!. Sementara foie gras adalah makanan yang berbahan dasar hati angsa yang dihaluskan. Bentuknya lempengan seperti daging steak. Rasanya begitu halus dan lembut bagaikan menyantap keju yang lumer di mulut.
Tidak heran menemukan santapan khas Perancis yang lezat di kota ini mengingat Dijon telah ditunjuk UNESCO sebagai salah satu kota dalam jaringan kota gastronomi di Perancis, bersama Lyon, Paris-Rungis, dan Tours. Kota ini dinilai memiliki kekayaan warisan dunia tak benda berupa khazanah kulinernya. Bicara kuliner, Dijon juga terkenal sebagai kota penghasil mustard. Anda penggemar saus berwarna kuning dan berasa asam ini jangan lupa mencicipinya selagi di sini!
14.12 - Saat kembali ke hotel, kami melewati Place Darcy, kawasan pedestrian luas yang dikelilingi bangunan-bangunan tua dengan arsitektur indah. Di tengah "alun-alun" itu berdiri tugu gerbang yang menyerupai versi kecil dari Arc de Triomphe yang termasyhur di Paris. Gerbang itu bernama Porte Guillaume. Tepat di seberang kawasan pedestrian itu, terdapat taman kota yang luas dan rindang bernama Jardin Darcy. Begitu memasuki gerbangnya, kita akan langsung bertemu patung beruang yang sangat populer di kota ini. Orang setempat menyebutnya Beruang Pompon karena terinspirasi dari patung beruang kutub L\'Ours Blanc karya seniman Francois Pompon. Nama taman ini diambil dari nama Henry Darcy, insinyur yang pertama kali membuat sistem air perpipaan di Dijon. Sayang, sore itu hujan cukup deras mengguyur Dijon sehingga mengurungkan niat menjelajah kota ini lebih lanjut.
19.30 - Hujan yang mengguyur Dijon ternyata bertahan hingga hari gelap. Untunglah tempat makan malam kami tak jauh dari hotel, yakni di sebuah restoran di ruang bawah tanah yang unik di Grand Hotel La Cloche. Kami bertemu dengan rombongan delegasi undangan dari sejumlah negara lain.Malam itu saya berkenalan dengan Derek Bell (75), pebalap mobil veteran asal Inggris yang sudah berusia lanjut tetapi masih penuh semangat. Dia kini menjadi brand ambassador Bentley, pabrikan mobil mewah asal Inggris, dan besok akan menjadi salah satu instruktur kami.
Kamis (29/6)
08.30 - Kami sudah berkumpul di restoran hotel untuk sarapan. Dua potong croissant hangat, 2 butir telur setengah matang, 1 gelas jus jeruk segar, serta 1 cangkir teh hangat cukuplah untuk mengawali hari.
09.00 - Bus mulai bergerak meninggalkan Dijon, dan kami berkesempatan melihat lebih banyak sisi kota yang sudah ada sejak abad ke-11 ini. Sejumlah ruas jalan di kota itu terlihat sangat sempit, bahkan kadang sangat pas-pasan dilewati bus berukuran besar ini. Pantas sejak sebagian besar mobil yang bisa ditemui di kota itu adalah dari jenis hatchback atau city car yang mudah dikendalikan di jalan-jalan kota tersebut.
09.30 - Bus tiba di kompleks Lapangan Terbang Dijon Burgogne. Lapangan terbang yang sudah berumur lebih dari satu abad ini adalah bekas Pangkalan Angkatan Udara Perancis (Armee De L\'Air) yang penting dalam sejarah Perancis, dan telah berperan dalam dua kali Perang Dunia dan Perang Dingin. Pangkalan udara ini ditutup Juni 2016 sebagai bagian langkah penghematan anggaran (austerity) Pemerintah Perancis.Lapangan terbang yang dulu dikenal sebagai Pangkalan Udara Dijon-Longvic ini juga sangat akrab bagi kalangan pencinta dunia dirgantara, terutama yang di masa kecilnya akrab dengan komik Petualangan Tanguy dan Laverdure (judul asli Les Aventures de Tanguy et Laverdure). Pangkalan udara ini adalah markas Skuadron Bangau Putih (Cigognes Squadron), tempat dua tokoh utama komik itu, Michel Tanguy dan Ernest Laverdure, bermarkas bersama pesawat-pesawat tempur Mirage III mereka.
Hari ini, bekas pangkalan udara bersejarah itu menjadi markas tim aerobatik profesional Breitling Jet Team (BJT). Dan kami yang hadir atas undangan Breitling-pabrikan arloji premium dari Swiss, melalui peritel resminya di Indonesia, PT Time International-hari itu diberi kesempatan istimewa merasakan sendiri naik pesawat-pesawat tim aerobatik Breitling.Ada sedikitnya 7 jenis pesawat yang disediakan panitia untuk kami jajal hari itu. Kami pun mulai antre untuk mengisi formulir pendaftaran akan mengikuti atraksi yang mana saja.
09.40 - Namun, bagi saya pribadi, di samping rasa penasaran dan gairah untuk segera menjajal pesawat-pesawat itu, hal yang paling menyenangkan adalah bertemu pesawat Mirage III E yang kini sudah dipensiunkan dan dipajang di dalam hanggar utama yang menjadi tempat menerima tamu.Pesawat itu memiliki cat dan corak warna yang persis sama dengan pesawat-pesawat yang digunakan Tanguy dan Laverdure di komiknya.Pihak pengelola bangunan itu juga melestarikan kenangan popularitas komik karya Jean-Michel Charlier dan Albert Uderzo tersebut. Di dinding-dinding ruangan, dipajang penggalan halaman komik yang dipigura.
10.00 - Saatnya petualangan dimulai! Pesawat pertama yang dipilih Kompas adalah Bucker Bu-131. Mengingat usianya, ini adalah pesawat yang paling langka dan akan jarang ditemukan, apalagi dinaiki, di tempat lain. Pesawat itu memiliki sayap ganda atas bawah dan tak ada penutup kokpit. Jadi kita bagaikan terbang dalam sebuah mobil beratap terbuka, merasakan langsung embusan angin kencang saat menikmati pemandangan kota Dijon dan sekitarnya dari atas.Dari ketinggian ini baru terlihat Dijon terletak di sebuah dataran rendah yang terbentang luas. Akhir Juni lalu, menjelang puncak musim panas, sebagian besar dataran itu ditutupi ladang pertanian yang berwarna kuning keemasan.
Turun dari Bucker, saya bertemu Irwan Danny Musry, CEO PT Time International yang baru saja turun dari pesawat T-6. "Kamu harus merasakannya. Luar biasa!" tutur Irwan .Tak buang waktu lama, saya langsung mendaftar menaiki pesawat yang juga disebut dengan nama AT-16 atau Harvard di luar AS itu. Kali ini penerbangan lebih nyaman karena kokpitnya dilengkapi kanopi yang bisa ditutup.
Pada satu kesempatan, kami terbang berputar di atas sebuah kastil di tengah hamparan kebun anggur. Belakangan saya tahu kastil itu bernama Chateau du Clos de Vougeot yang dibangun di abad ke-16.Dan ternyata, banyak kastil kuno serupa bertebaran di kawasan Burgundy di sekitar Dijon.
16.00 - Pesta di lapangan terbang ini usai, dan kami kembali ke hotel. Namun, tak ada waktu lama untuk bersantai karena pada pukul 18.30, bus sudah menunggu kami lagi guna menuju ke lokasi makan malam.
19.26 - Setelah perjalanan selama sekitar satu jam, bus yang kami tumpangi tiba di kawasan perkebunan anggur di Desa Pommard, sekitar 47 kilometer (km) sebelah selatan Dijon. Kami pun memulai tur perkebunan anggur sebagai penutup hari itu. Kawasan Burgundy memang salah satu daerah penghasil anggur terkenal di Perancis di samping Bordeaux. Titik pertama yang kami kunjungi adalah kastil Chateau de Pommard, salah satu kastil penghasil anggur terkenal di kawasan Burgundy.
Kastil itu berdiri sejak tahun 1726. Menurut Loic Lamy, wine advisor yang memandu kami sore itu, daerah Pommard dikenal sebagai tempat kelahiran anggur jenis Pinot Noir. Sensasi sejarah makin terasa saat Lamy mengatakan, dulu Napoleon Bonaparte adalah teman dekat pemilik kastil itu dan sering menghabiskan waktu di sana.
20.10 - Dari Chateau de Pommard, kami ke sebuah kastil produsen anggur lain, yakni Chateau de Meursault. Matahari musim panas baru beranjak terbenam saat kami tiba di kastil megah itu sekitar pukul 20.35. Angin dingin mulai bertiup di suhu udara sekitar 14 derajat celsius.Namun, kehangatan segera menyeruak saat kami memasuki lobi kastil itu, dan disambut dengan nyanyian tradisional Burgundy oleh staf kastil yang sepuh-sepuh dan sangat ramah.
Kemudian kembali kami diajak menyusuri cellar bawah tanah yang berliku-liku dan penuh gentong-gentong raksasa terbuat dari kayu sebelum akhirnya tiba di sebuah ruang bawah tanah yang luas dengan penerangan temaram. Di bagian tengah tertata meja-meja makan dan sebuah panggung berada di dekat dinding. Di situlah kami mengakhiri kunjungan singkat ke Dijon dalam jamuan makan malam khas Perancis sambil diiringi nyanyian tradisional Burgundy. Pertemuan pertama yang sangat singkat memang, tetapi Dijon adalah kota yang layak ditengok kembali saat berada di Perancis!