Penyedia Layanan OTT Diminta Buat SOP dan Lakukan Swasensor
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah meminta perusahaan penyedia layanan perangkat lunak atau aplikasi melalui internet (over the top application/OTT) membuat prosedur standar operasi (SOP) dalam menangani konten-konten radikalisme dan terorisme. Selain itu, penyedia layanan OTT diharapkan juga melakukan swasensor terkait konten-konten tersebut.
Hal tersebut disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara akhir pekan lalu pasca-pemutusan akses terhadap 11 domain name system (DNS) milik Telegram. ”Yang kami minta kepada Telegram adalah membuat SOP untuk melakukan self filtering terhadap konten-konten radikalisme dan terorisme. Jangan korbankan masyarakat untuk memasukkan konten-konten radikalisme dan terorisme,” ujarnya di sela-sela acara Silaturahim Dewan Pers dan Penyerahan Kartu Wartawan Utama di Jakarta, Jumat (14/7) malam.
Menurut Rudiantara, selama ini Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama institusi lain, seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Badan Narkotika Nasional, telah lama memantau konten-konten yang bersangkutan dengan radikalisme dan terorisme di dunia maya. Karena di platform Telegram banyak ditemukan konten-konten yang dikhawatirkan dapat memengaruhi masyarakat, pemerintah kemudian meminta internet service provider (ISP) untuk memutus akses 11 domain Telegram.
”Kami senantiasa berupaya berkomunikasi dengan penyedia layanan OTT. Youtube yang berada di bawah Google memiliki kantor di Indonesia, Line dan Twitter juga punya kantor di Indonesia, Whatsapp dan Facebook di Singapura, semuanya bisa dihubungi. Namun, saat berkomunikasi dan meminta Telegram untuk menghapus beberapa konten yang membahayakan, ternyata Telegram tidak pernah bereaksi dan merespons permintaan kami. Demi kepentingan bersama, akhirnya kami meminta untuk memblokirnya,” ujarnya.
Hari Minggu, CEO Telegram Pavel Durov telah mengirimkan surel kepada Rudiantara yang berisi permintaan maaf atas keterlambatan reaksi dan respons atas permintaan Pemerintah Indonesia tersebut. Durov juga menawarkan tiga solusi terkait konten radikalisme dan terorisme ini agar Kemkominfo tak perlu memblokir total layanan Telegram di Indonesia.
Swasensor
Selain penyedia layanan OTT, kewajiban melakukan swasensor juga mesti dilakukan oleh semua media. ”Pers harus bisa mengatur diri sendiri,” kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo.
Saat ini, jumlah media pers di Indonesia terus bertumbuh. Berdasarkan data Dewan Pers, jumlah total media Indonesia mencapai 47.000 di mana 43.400 di antaranya media online, televisi, dan radio.
Rudiantara mengatakan, sampai sekarang pemerintah berupaya untuk tetap tidak melakukan intervensi terhadap pers. Satu-satunya undang-undang di Indonesia yang tidak dilengkapi dengan peraturan pemerintah dan peraturan menteri adalah UU Pers sebagai antisipasi agar tidak ada intervensi pemerintah di dalamnya. (ABK)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.