Peluang Industri IoT di Indonesia
Tanggal 6 Juli 2017, perusahaan teknologi asal Swedia, Ericsson, mengumumkan laporan bertajuk ”Ericsson Mobility Report” edisi Juni 2017 di Jakarta. Terdapat sejumlah informasi kunci dalam laporan itu yang mengerucut pada besarnya peluang bagi pemain industri Internet of Things (IoT) atau benda-benda yang terkoneksi ke dalam jejaring internet di Indonesia.
Peluang ini muncul menyusul perkembangan infrastruktur jaringan telekomunikasi. Hal itu misalnya terungkap dalam temuan tentang layanan LTE (long term evolution) di Indonesia yang diperkirakan tumbuh dengan cakupan mencapai 65 persen dari total pelanggan seluler pada 2022.
Jumlah tersebut relatif besar dikaitkan dengan tingkat peningkatannya. Ini karena hanya ada 10 persen pelanggan LTE di Indonesia pada 2016. Sementara sudah diketahui bahwa selama ini, teknologi LTE, yang dipasarkan dengan nama 4G LTE, telah dikomersialkan di Indonesia sejak 2015. Selain itu, layanan teknologi 4,5G juga telah mulai dipasarkan di Indonesia sejak semester II-2016.
Kapasitas data internet lebih besar dengan jeda waktu penghantaran paket data dari pengirim ke penerima (network latency) lebih kecil sudah dimungkinkan. Jasa internet untuk IoT pada tahapan ini juga sudah bisa ditawarkan penyedia layanan seluler.
Hal itu masih ditambah dengan penerapan awal teknologi jaringan 5G, dengan Korea Selatan, Jepang, dan China bakal menjadi pionir dengan memulai penerapannya pada 2018 dan 2020. Sebanyak 28 juta pelanggan 5G diperkirakan bakal terkoneksi pada 2022, yang memberikan peluang relatif besar bagi pemain industri IoT.
Aplikasi IoT tersebut bisa cukup beragam mengingat nyaris seluruh benda bisa dihubungkan dalam internet dengan sejumlah sensor. Misalnya saja pepohonan yang dipasangi sensor pengukur kadar emisi karbon dioksida atau pemberi pakan otomatis dengan sensor pengukur nafsu makan ikan dilanjutkan mesin yang berkomunikasi dengan mesin lain untuk menghasilkan data guna analisis lanjutan.
Dalam laporan tersebut juga disebutkan jumlah pelanggan seluler di Asia Pasifik akan terus berkembang. Mulai akhir tahun 2016 hingga 2022, tingkat pertumbuhan tahunan gabungan hampir 3 persen, dengan total 1,3 miliar pelanggan.
Dari jumlah tersebut, Indonesia bersama-sama dengan China, India, Myanmar, dan Banglades berada dalam posisi 10 negara teratas terkait penambahan jumlah pelanggar seluler.
Indonesia menempati peringkat ketiga pada kuartal pertama 2017 dengan tambahan bersih pelanggan seluler (net addition) melebihi 10 juta. Posisinya hanya berada di bawah India dan China yang masing-masing memiliki angka net addition melebihi 43 juta dan 24 juta pengguna.
Selain itu, pada akhir 2017, sekitar 50 persen pelanggan seluler di Asia Pasifik bakal terhubung dengan telepon pintar. Jumlah ini akan meningkat jadi 80 persen pada akhir 2022.
Dua area
IoT, oleh Ericsson, dikelompokkan ke dalam dua area. Pertama adalah segmen pendek (short-range segment). IoT di dalam area ini berupa benda-benda yang tidak terhubung langsung dengan frekuensi radio berlisensi dan jaringan tetap telekomunikasi berskala lokal. Misalnya, Wi-Fi, Bluetooth, dan ZigBee.
Area kedua adalah segmen lebar (wide-range segment). Di dalam area ini mencakup benda-benda yang menggunakan sambungan teknologi seluler, seperti GSM/GPRS.
Sekitar 0,4 miliar unit benda IoT di segmen lebar telah tercapai pada akhir tahun 2016. Vice President Head of Network Product Unit Ericsson Indonesia dan Timor-Leste Ronni Nurmal mengatakan, kondisi tersebut didukung oleh semakin banyaknya jumlah pelanggan telepon seluler yang mencapai 7,5 miliar orang.
Jumlah benda IoT segmen lebar diperkirakan meningkat rata-rata 30 persen per tahun. Pada tahun 2022, jumlah yang beredar sebanyak 2,1 miliar unit.
Sementara benda IoT segmen pendek berjumlah sekitar 5,2 miliar unit pada tahun 2016. Kenaikan per tahun berkisar 20 persen. Jumlahnya diperkirakan mencapai 15,5 miliar unit pada akhir tahun 2022.
”Untuk memasarkan benda IoT segmen lebar, faktor pendukung utama adalah kualitas perangkat jaringan seluler. Misalnya, keandalan, latensi, ketersediaan jaringan, aplikasi, dan volume arus data,” ujar Ronni.
Ronni mengemukakan, bentuk benda IoT yang banyak dipakai di Indonesia berupa mesin ke mesin (M2M), aplikasi parkir cerdas, dan IoT rumah tangga. Penyebabnya beragam, mulai dari jaringan, pencarian model bisnis yang pas, hingga kondisi industri telekomunikasi.
”Operator telekomunikasi sekarang tengah bertransformasi ke perusahaan digital. Ini memengaruhi produksi inovasi IoT. Swasta kini memang masih dominan untuk mengembangkan IoT, seperti kami yang baru saja menyelenggarakan kompetisi atau hackaton bertemakan IoT,” katanya.
Implikasi IoT terhadap industri telekomunikasi bakal mengubah strategi bisnis. Ronni menyebutkan beberapa strategi yang mungkin diambil operator telekomunikasi.
Pertama, IoT service creator, yakni operator memiliki bisnis vertikal kursus IoT. Kedua, IoT service enabler atau operator membuka pelantar milik mereka kepada pengembang IoT. Terakhir, IoT connectivity, berarti operator hanya menyediakan jaringan telekomunikasi untuk kebutuhan inovasi.
Lembaga konsultan manajemen multinasional McKinsey seperti dikutip dari laman mckinsey.com pada Senin (17/7) menyebutkan enam tipe aplikasi IoT. Keenam tipe tersebut terbagi dalam dua kategori umum, yakni ”informasi dan analisis” serta ”otomatisasi dan kontrol”.
Peta jalan
Di salah satu bagian laporan ”Ericsson Mobility Report” edisi Juni 2017 itu tercantum pula data mengenai 100 aplikasi teratas di Indonesia yang masih didominasi penyedia layanan dari luar negeri. Hanya 12 persen merupakan aplikasi lokal.
Temuan ini membuat pengembangan teknologi infrastruktur jaringan telekomunikasi berikut penggunaannya oleh masyarakat di Indonesia belum menemukan titik keseimbangan. Pemain lokal lanskap perekonomian digital tampak masih terengah-engah mengejar kemajuan dan pertumbuhan yang meniscaya ini.
Terkait dengan hal itu, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan pada Senin (17/7) menyebutkan, para pengembang lokal mesti fokus pada aplikasi unik sesuai keunikan Indonesia. Ini diperlukan untuk mengatasi ketertinggalan melakukan penetrasi pasar dibandingkan dengan pemain dari luar negeri.
”Contohnya Go-Jek, ini unik dan kemudian booming. Kreativitas unik yang dibutuhkan agar sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan kita di Indonesia,” kata Semuel. Selain itu, ujarnya, upaya untuk melakukan branding juga perlu dilakukan secara kuat agar pasar terpenetrasi dengan baik.
Ia menambahkan, hal itu perlu dilakukan selain sejumlah upaya yang telah dilakukan selama ini. Beberapa di antaranya Gerakan Nasional 1.000 Startup Digital dan sejumlah pelatihan terkait untuk mendorong perkembangan industri digital lokal.
Adapun terkait pertumbuhan industri IoT seiring perkembangan teknologi infrastruktur jaringan, Semuel mengatakan saat ini diperlukan pengembangan ekosistem terkait. Ia menjelaskan, berdasarkan pertemuan dengan sejumlah pengembang dan pegiat IoT lokal pada pekan lalu, ekosistem yang relatif belum ideal itu terjadi tatkala sebuah purwarupa IoT hendak diwujudkan.
”Umpamanya kalau sudah (bikin) desain, buatnya harus di luar (negeri). Pabrik-pabrik kita tidak bisa bikin prototipe,” sebut Semuel.
Hal itu terkait dengan isu kelayakan atau feasibilitas, menyusul skala produksi dalam jumlah relatif besar. Di sisi lain, jumlah permintaan untuk produksi relatif belum terlalu besar sehingga ekosistem belum terbentuk secara ideal.
Semuel menjelaskan, jika ekosistem industri IoT lokal sudah terbangun, pembuatan purwarupa hingga produksi massal bakal terus bisa dikembangkan. ”Ini kita (sudah) ketemu (dengan pegiat IoT) dan sepakat untuk bikin roadmap (peta jalan) dan kendala-kendala apa saja yang dihadapi pemain-pemain IoT,” ujar Semuel.
Sehubungan dengan hal itu, Semuel menegaskan pentingnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Ini menyusul keberadaan seluruh data karena beragam benda yang terhubung pada jaringan internet (IoT) dalam jejaring big data.
Semuel mengatakan, sebelum bisa diakses pihak lain untuk kepentingan analisis ataupun pengambilan keputusan, masukan data tersebut mesti dibersihkan dari data pribadi. Ia mencontohkan, hal tersebut seperti pada pemanfaatan data terkumpul dari penggunaan telepon selama ini oleh masyarakat.
Model bisnis baru tidak bisa dijalankan atas dasar perubahan cara perolehan informasi dan data, tetapi mengorbankan privasi orang lain. ”(Saat ini Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi) belum masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional). DPR (semestinya) harus tuntaskan segera,” ujar Semuel.
(Mediana/Ingki Rinaldi)