Enam bulan setelah reformasi, tepatnya 24 Desember 1998, konflik Poso pecah. Banyak yang berspekulasi bahwa konflik tersebut dilatarbelakangi perbedaan agama. Namun, salah satu temuan dalam buku bertajuk Dendam Konflik Poso(Periode 1998-2001):Konflik Poso dari Perspektif Komunikasi Politik (Gramedia Pustaka Utama, 2009) karya Hasrullah mengungkapkan bahwa konflik Poso bukanlah konflik antaragama, melainkan konflik politik.
Buku yang beranjak dari sebuah disertasi ini memotret pesan komunikasi politik kalangan elite dari dua agama yang memicu konflik. Dalam kontestasi pemilihan bupati dan pejabat-pejabat daerah, elite politik yang kalah mengaitkan kekalahan itu dengan masalah agama. Konflik pun semakin tak terkendali karena telah menyinggung tataran agama sebagai dasar keyakinan. Reynal Querol dalam analisisnya tentang etnisitas mengatakan, faktor perbedaan agama dapat memunculkan konflik yang dahsyat dibandingkan dengan konflik yang disebabkan oleh faktor perbedaan politik atau ekonomi.
Fakta politik di sejumlah daerah menunjukkan para elite politik dengan cerdas menggunakan agama sebagai kendaraan politik demi meraih kekuasaan. Bahkan, agama dijadikan sebagai tameng politik dengan mengeksploitasi pesan-pesan religius. Meski demikian, buku ini mengatakan hal tersebut bukanlah satu-satunya faktor pemicu konflik. Di Poso, ada pemicu lainnya, di antaranya ketimpangan struktural yang telah terjadi, juga media massa lokal yang abai terhadap perannya sebagai penjaga moral (surveillance), serta perubahan sistem politik setelah runtuhnya Orde Baru. (AEP/Litbang Kompas)
Memupus Benih-benih Konflik Poso
Sepucuk surat bernada dendam ditemukan di setiap potongan tubuh tiga pelajar putri yang menjadi korban mutilasi. Surat itu berbunyi, ”Nyawa dibalas dengan nyawa, darah dengan darah, dan kepala dengan kepala”. Peristiwa pembunuhan yang terjadi di Poso pada 29 Oktober 2005 itu seolah menegaskan bahwa konflik massal yang telah terjadi sejak 1998 belumlah usai. Berbagai upaya rekonsiliasi, salah satunya Deklarasi Malino yang disepakati pada 2001, belum mampu menyelesaikan konflik bernuansa SARA di Poso yang begitu kompleks.
Kendati demikian, upaya penyelesaian konflik Poso terus berlanjut. Dalam Indonesian Top Secret: Membongkar Konflik Poso (Gramedia Pustaka Utama, 2008) karya M Tito Karnavian (kini Kepala Polri) dijelaskan upaya Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) memupus benih-benih konflik Poso. Salah satu langkah konkretnya adalah dengan segera membentuk Satgas Investigasi Bareskrim Polri setelah kasus mutilasi tiga pelajar. Berbagai langkah taktis operasi Satgas dan analisis permasalahan Poso pun terangkum dalam buku yang disusun oleh tim penulis yang merupakan tim inti Satgas Investigasi Polri untuk Poso.
Dalam rentang 2005-2007, tim Satgas Polri telah mengungkap hampir semua kekerasan bernuansa teror, termasuk keberhasilan mengungkap kasus mutilasi tiga siswi. Dari kasus itu, terkuak jaringan kekerasan yang ternyata terorganisasi rapi dan beroperasi secara sistematis. Setelah itu, kondisi Poso jauh lebih baik. Namun, buku ini mengingatkan bahwa potensi kekerasan masih ada. Sinergi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dibutuhkan untuk menangkal tumbuhnya benih-benih konflik.
(AEP/Litbang Kompas)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.