JAKARTA, KOMPAS — Perhatian negara masih minim dalam mengelola kedaulatan pangan Nusantara. Keragaman pangan lokal saat ini bahkan cenderung terabaikan dan membawanya pada ancaman kepunahan.
Koordinator lembaga pemberdayaan desa berdaulat pangan Indonesia Berseru, Tejo Wahyu Jatmiko, mengatakan, kedaulatan pangan belum mendapat perhatian cukup. Keragaman pangan lokal kini juga terancam akibat gempuran pangan impor. Ia mencontohkan, konsumsi karbohidrat penduduk Indonesia masih didominasi gandum dan beras. Gandum bahkan sepenuhnya produk impor. Indonesia juga masih mengimpor 1 juta ton beras pada tahun lalu.
”Indonesia mengalami paradoks soal pangan,” katanya, dalam pertemuan jurnalis sains ”Indonesian Science Journalists Mentoring Program 2017”, di Jakarta, yang berlangsung Jumat-Minggu (21-23/7). Acara ini digelar Society of Indonesian Science Journalist (SISJ),
Tejo melanjutkan, survei yang dilakukan lembaganya pada generasi milenial mengungkap bahwa pemahaman pangan sangat minim. "Informasi pangan banyak tetapi mereka tahu sedikit," ujarnya, pada para jurnalis peserta
Paradoks lain, kata Tejo, Indonesia memiliki sumber pangan beragam, tapi penggalian manfaatnya sedikit.
Tanaman enau, contohnya, yang bisa diolah menjadi sagu, tersebar luas di wilayah Sumatera tetapi tidak dimanfaatkan. Kemampuan mengolah sagu enau kini bahkan hampir tidak ditemukan lagi pada generasi muda.
Di sisi lain, Indonesia membiarkan pangan impor masuk. ”Sumber karbohidrat kedua kita sekarang roti dan mi. Banyak yang tidak tahu bahwa terigu itu 100 persen impor. Indonesia dijajah mulai dari lidah kita,” katanya.
Pemerintah, lanjutnya, lebih terfokus pada target mencapai ketahanan pangan, tetapi cenderung mengabaikan kedaulatan pangan yang semestinya dibangun sejak di tingkat komunitas dan desa. Akibatnya, ketergantungan pada pasokan pangan dari luar masih sangat besar.
Subbagian Data dan Informasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian, Dhani Gartina, mengatakan, Indonesia ditargetkan berswasembada jagung tahun ini dan kedelai pada 2020.
Produksi jagung ditargetkan mencapai 26 juta ton 2017, atau naik dari 23 juta ton tahun 2016. Produksi padi misalnya, ditarget 81,5 juta ton dari 79,4 juta ton pada 2016. Indonesia diharapkan sudah menjadi lumbung pangan dunia pada 2045.
”Butuh waktu cukup panjang untuk meningkatkan produksi pertanian, di tengah pertumbuhan penduduk yang pesat,” ujarnya.
Pemahaman publik
Dalam upaya meningkatkan pemahaman publik, SISJ didukung Sasakawa Peace Foundation dan British Council menggelar pelatihan jurnalisme sains yang fokus pada isu pangan. Informasi yang benar tentang pangan diharapkan menumbuhkan kesadaran untuk menciptakan kedaulatan pangan.
Mariko Hayashi dari Sasakawa Peace Foundation mengatakan, meski fokus pada isu pangan, pelatihan jurnalisme sains ini diharapkan berdampak luas.
”Lewat pangan, kita berharap bisa mendorong perhatian pada persoalan pembangunan, hak asasi manusia, dan kerja sama dunia,” katanya.
Theresa Birks dari British Council mengatakan, jurnalisme sains berperan penting dan menjadi salah satu perhatian lembaganya.
”Di tengah beragam hoaks, klaim, dan informasi yang tidak benar, termasuk dalam soal pangan, jurnalisme sains diharapkan bisa memberi pencerahan,” ungkapnya.
Pelatihan jurnalisme sains ini akan berlangsung selama 10 bulan dengan dua kali pertemuan tatap muka. Pelatihan ini merupakan tindak lanjut dari program SjCOOP Asia yang diprakarsai World Federation of Science Journalists (WFSJ) untuk memajukan jurnalisme sains di kawasan Asia Tenggara.