Lika-liku Pala Maluku Menembus Pasar Eropa
Wilayah Indonesia bagian timur, seperti Kepulauan Maluku, Sulawesi, dan Papua, sejak zaman sebelum penjajahan bangsa Eropa sudah dikenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah.
Komoditas rempah-rempah berupa cengkeh dan pala sudah diperdagangkan selama ratusan tahun, terutama sejak pedagang pelaut bangsa Eropa seperti Portugis dan Spanyol mendarat di Kepulauan Maluku untuk mencari rempah-rempah.
Kendati sejak berabad-abad lalu komoditas rempah Maluku telah masuk pasar Eropa dan kualitas rempah Indonesia diakui dunia. Namun, saat ini kondisinya telah berbeda. Popularitas masa lalu tidak menjadi jaminan rempah Maluku terutama pala bisa secara leluasa masuk ke pasar Eropa.
Eksportir pala harus melalui berbagai prosedur berliku, baik di dalam negeri maupun di negara tujuan, agar bisa masuk pasar ekspor, terutama Uni Eropa. Persoalan utama yang paling sering dihadapi eksportir pala untuk mengekspor pala ke pasaran luar adalah proses uji mutu.
Popularitas masa lalu tidak menjadi jaminan rempah Maluku, terutama pala, bisa secara leluasa masuk pasar Eropa.
Biji pala setidaknya harus melalui proses dua kali uji mutu di laboratorium sebelum bisa masuk pasar Uni Eropa.
Uji mutu yang tujuannya, antara lain, untuk mengukur kadar aflatoksin yang terkandung dalam buah pala harus dilakukan satu kali di dalam negeri dan sekali lagi di negara tujuan atau negara transit di Eropa sebelum pala didistribusikan ke negara-negara tujuan di wilayah Uni Eropa.
Proses dua kali uji mutu di laboratorium ini tak hanya memakan waktu, tetapi juga menambah beban biaya bagi eksportir buah pala. Biaya untuk uji laboratorium dan biaya tambahan yang harus dikeluarkan sebagai konsekuensi penambahan waktu uji lab, seperti biaya gudang karantina ataupun kemungkinanan menurunnya kualitas buah pala karena terlalu lama di gudang transit.
Mudah rusak
Berbeda dengan cengkeh yang apabila dalam kondisi kering bisa disimpan bertahun-tahun, buah pala sangat rentan rusak terkena hama kalau terlalu lama tersimpan di gudang. Tidak bisa disimpan dalam hitungan tahun seperti cengkeh, pala hanya bisa bertahan beberapa bulan di gudang.
Saat ini, uji mutu buah dan ekspor biji pala dari Kepulauan Maluku dilakukan di Surabaya.
”Ekspor pala selama ini dilakukan dari Surabaya. Selain karena eksportir Surabaya yang sudah bekerja sama dengan Uni Eropa, perusahaan yang ditunjuk oleh Uni Eropa untuk melakukan uji mutu pala juga berada di Surabaya,” ujar Diana Padang, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Maluku.
Saat ini satu-satunya perusahaan yang ditunjuk oleh Uni Eropa untuk uji mutu buah pala di Surabaya adalah PT Angler Biochemlab.
Penunjukan PT Angler Biochemlab oleh pihak pembeli pala dari Eropa sebagai satu-satunya perusahaan uji mutu membuat pala dari Maluku harus diekspor melalui Surabaya. ”Hal ini menjadi persoalan tersendiri buat Provinsi Maluku. Jika diekspor lewat Surabaya, PAD kita tidak ada,” ujar Diana.
Oleh karena itu, saat ini melalui PT Pelindo, Pemprov Maluku akan kembali menghadirkan PT Sucofindo sebagai perusahaan yang bisa melakukan uji mutu ke Provinsi Maluku. ”Dulu, sebelum kerusuhan, PT Sucofindo sudah ada di sini, tapi pergi setelah ada konflik horizontal di Maluku tahun 1999. Kalau Sucofindo bisa kembali hadir di sini, ekspor pala bisa langsung dari Maluku,” lanjut Diana.
Bagi pengusaha lokal yang akan mengekspor pala ke luar, persoalan sertifikasi buah pala menjadi persoalan yang sangat vital. Salah satu eksportir pala lokal di Ambon, yakni PT Ollop, yang biasanya per bulan mampu mengekspor pala sebesar 11 ton, beberapa waktu terakhir ini terpaksa tidak bisa mengekspor pala ke negeri Belanda.
Kabarnya, pala yang akan diekspor ditolak oleh pembeli di Belanda karena tidak lolos uji mutu. Akibatnya, PT Ollop yang berada di Desa Hila, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, sementara waktu terkena larangan ekspor pala ke negeri Belanda.
Bagi pengusaha lokal yang akan mengekspor pala, persoalan sertifikasi buah pala menjadi persoalan sangat vital.
Penyebab biji pala tidak lolos uji mutu biasanya karena ada kandungan aflatoksin. Disinyalir, biji pala dari Maluku mengandung aflatoksin akibat terlalu lama tersimpan di gudang. ”Biji pala yang diekspor dari Maluku bebas dari aflatoksin. Namun, kalaupun ada aflatoksin, kemungkinan akibat tersimpan terlalu lama di gudang Surabaya,” ujar Diana.
Uji mutu atau sertifikasi biji pala bisa dilakukan di Maluku, tidak perlu dibawa ke Surabaya. Dengan demikian, ekspor pala ke luar negeri bisa langsung dari Maluku. Selain bisa menghemat biaya ataupun waktu, Provinsi Maluku sebagai penghasil pala bisa menikmati PAD dari biji pala yang dihasilkan di wilayahnya.
Prosedur
Rumitnya prosedur dan proses yang harus dilalui eksportir pala membuat para pengusaha yang mencoba untuk mengekspor ke Eropa sangat berhati-hati, terutama dalam menjaga kualitas biji pala pascapanen.
Ini seperti yang dilakukan oleh nyong Ambon bernama Imanuel Petra Kastanya dan rekannya, Noel Hukom, warga Belanda keturunan Maluku, melalui PT Kamboti Pusaka Maluku (KPM) yang bulan Mei ini berencana melakukan ekspor perdana biji pala dan fuli (salut bijinya) ke negeri Belanda.
Untuk mendapatkan biji pala yang berkualitas ekspor, PT KPM berusaha mendapatkannya dari petani langsung. ”Kalau dari petani langsung, kami dapat kontrol kualitasnya. Kalau dapat dari pengepul atau pedagang di Kota Ambon, kami sulit untuk dapat pala dengan kualitas ekspor. Sudah banyak tercampur, kami tidak bisa telusuri asalnya dari mana, juga kita tidak tahu tanggal berapa panennya,” jelas Imanuel.
Untuk mendapatkan kualitas pala yang baik dan berkualitas ekspor, PT KPM ke depan berencana membeli pala dalam bentuk masih mentah atau belum dikeringkan langsung dari petani.
Keuntungan membeli biji pala dalam kondisi mentah adalah kualitasnya bisa dikontrol. ”Kita bisa jaga kualitas, kita bisa kontrol kondisi kelembaban gudang, karena kalau proses pascapanen salah, pasti hasilnya juga salah, kualitas rusak,” kata Petra.
Sebagai gambaran, dengan membeli pala dalam kondisi sudah kering dari petani, biji pala yang memiliki kualitas ekspor hanya 60 persen. Sisanya atau 40 persen tidak memenuhi kualitas ekspor, terpaksa harus dijual ke pasar lokal atau dalam negeri.
Persoalan-persoalan yang dihadapi pengusaha pala di Maluku seperti PT KPM yang baru memulai ekspor adalah proses dari Surabaya ke Rotterdam, Belanda. Petra berharap ekspor langsung dari Ambon tanpa melalui Surabaya lebih aman menjaga kualitas. ”Sebab, kalau lewat Surabaya, harus melalui tahap-tahap karantina, uji lab,” jelas Petra.
Proses karantina dan uji lab ini memerlukan waktu dan biaya. Perlu waktu dua minggu untuk proses karantina dan uji laboratorium di Surabaya. Persoalan lain, untuk rempah hanya satu referensi laboratorium uji mutu yang diakui Eropa karena sudah terakreditasi dan punya ISO, yakni PT Angler Biochemlab.
”Kenapa tidak ada alternatif lab. Ini yang menjadi kendala. Kalau ada alternatif, kan, bisa ada perbandingan lain. Saat ini ada ketergantungan yang tinggi pada PT Angler,” ucap Noel.
Kendala lain ada di Rotterdam, yakni produk rempah harus terkena pemeriksaan laboratorium kembali dengan standar Eropa. PT Angler sebenarnya sudah mempunyai standar Eropa. Akan tetapi, Eropa tetap mau dua kali dilakukan pemeriksaan laboratorium. Inilah salah satu titik lemah yang memperlama proses pengiriman rempah khususnya pala ke konsumen.
Persoalannya, apabila pala tidak lolos di lab Rotterdam, terpaksa akan disita buang atau harus dikirim kembali ke Indonesia. ”Hal ini yang memberatkan bagi pengusaha yang baru mau memulai ekspor seperti kami ini. Sebaiknya pengujian hanya dilakukan sekali, di Surabaya atau di Rotterdam saja,” papar Noel.
Pengujian lab ganda ini berkaitan langsung dengan penambahan biaya. ”Satu kali uji untuk satu item biayanya Rp 4 jutaan. Apabila kami kirim biji pala AB biaya Rp 4 juta, kirim pala SS kena Rp 4 juta, kirim fuli kena Rp 4 juta lagi. Jadi, sudah kena biaya Rp 12 juta. Sampai di Rotterdam, kena juga. Kira-kira samalah biayanya kalau dikurskan atau sekitar 240 euro,” tutur Noel.
Oleh karena itu, apabila uji mutu pala hanya dilakukan sekali akan sangat membantu para eksportir pala. Apalagi jika ada dukungan dari pemerintah melalui lembaga sertifikasi milik pemerintah semacam Sucofindo, yang bisa melakukan uji mutu dengan harga lebih murah, tentu hal ini sangat diharapkan para eksportir pala.
”Kami juga berharap pemerintah daerah bisa support dalam hal ini. Alangkah indahnya kalau Maluku mempunyai lab sendiri dengan standar ISO. Ekspor bisa langsung dari sini. Selain pemerintah daerah mendapat pemasukan, pelabuhan bisa memperoleh pendapatan dari ongkos bongkar muat. Pengusaha kecil dan baru seperti kami ini akan sangat diuntungkan juga,” ujar Noel. (ANUNG WENDYARTAKA/LITBAN KOMPAS)