AMBON, KOMPAS — Jalinan persaudaraan antarwarga di Maluku yang dikenal dengan sebutan pela dan gandong diyakini dapat mencegah paham radikal yang berpotensi menggerogoti warga. Pela dan gandong harus terus diperkenalkan mulai dari lingkungan keluarga dan sekolah serta diwujudkan melalui kegiatan sosial kemasyarakatan.
Pesan itu mengemuka pada acara Karnaval Bhinneka Tunggal Ika yang dihadiri lebih dari 1.000 anak muda lintas agama dan suku di Desa Passo, Kecamatan Baguala, Kota Ambon, Maluku, Sabtu (12/8) pagi. Semua peserta mendeklarasaikan cinta akan keberagaman di Indonesia dengan menandatangani sehelai kain putih yang bertuliskan “Beta (Saya) Indonesia, Ale (Anda) Indonesia, Katong Samua (Kita Semua) Indonesia”.
Sekretaris Daerah Kota Ambon Anthony Gustaf Latuheru mengatakan, efek dari pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu sangat terasa di Maluku, termasuk Kota Ambon. Banyak individu pada komunitas tertentu saling serang melalui jejaring media sosial hingga ada yang diproses hukum dengan tuduhan menghina agama tertentu. Isu yang diperdebatkan adalah perbedaan keyakinan. Hal tersebut menandakan, potensi radikalisme ada di semua komunitas.
Menurutnya, potensi radikalisme itu ada karena Ambon pernah dilanda konflik sosial bernuansa agama yang pecah pada 19 Januari 1999 di Kota Ambon dan menyebar dengan cepat ke semua daerah di Maluku (termasuk Provinsi Maluku Utara, kini). Dari sejumlah sumber yang dihimpun Kompas, setidaknya 10.000 orang meninggal akibat konflik yang berlangsung hingga 2003 itu. Di Ambon, konflik kembali terulang beberapa kali hingga 11 September 2011. Kini masih banyak oknum individu yang belum meninggalkan paham radikal atas nama agama yang tumbuh subur kala konflik.
“Oleh karena itu, pela dan gandong harus terus dirawat dan diperkuat. Orangtua dan guru harus ajarkan itu kepada anak-anak. Di lingkungan masyarakat juga terus diperkenalkan lewat tindakan nyata. Jadi kesannya tidak hanya sebatas seremonial saja,” katanya.
Pela dan gandong merupakan hubungan antarwarga yang berasal dua desa atau lebih. Hubungan pela adalah hubungan saling angkat saudara. Hubungan itu terbentuk dari suatu peristiwa semisal saling membantu saat peperangan di masa lalu. Sementara hubungan gandong terjalin lantaran pemimpin mereka berasal dari satu rahim. Gandong artinya kandung.
Wujud pela-gandong
Wujud nyata jalinan pela dan gandong terus menguat. Januari lalu, warga Desa Hitulama, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah turut hadir membongkar bangunan Gereja Kristen Protestan Imanuel Galala-Hatiwe Kecil di Kota Ambon untuk dibangun baru. Gereja berusia lebih dari setengah abad itu ketika pembangunannya juga melibat warga Hitulama yang terjalin hubungan pela dengan Galala.
Kala itu, warga Hitulama menyumbang 12 batang kayu besi untuk tiang utama gereja itu. Jalinan hubungan pela berawal saat Pemerintah Desa Galala memesan sebuah sampan dari Pemerintah Desa Hitulama untuk dipakai dalam lomba dayung sampan di Ambon sekitar awal 1959. Setelah sampan rampung, Raja (Kepala Desa) Galala hendak membayar biaya pembuatan sampan namun ditolak Raja Hitulama. Agar kebaikan itu terus dikenang sepajang massa, kedua desa sepakat menjalin hubungan pela.
Pada Juli lalu, peresmian Gereja Kristen Protestan Eben-haezer di Desa Kariu, Kecamatan Pulau Haruku, diwarnai tangis haru. Sebelum diresmikan, seorang tokoh Muslim dari Desa Hualoy, Kabupaten Seram Bagian Barat, berpesan kepada semua orang tak terkecuali warga Muslim di sekitar Desa Kariu agar menjaga gereja yang pernah terbakar kala konflik itu.
Dalam pembangunan kembali gereja itu, waga Hualoy mengerjakan anak tangga dari gerbang menuju pintu utama gereja. Hubungan gandong terjalin lantaran turunan dari pemimpin Hualoy dan Kariu berasal dari ayah dan ibu yang sama. Mereka tumbuh dari Kerajaan Nunusaku di Pulau Seram. Hualoy merupakan sulung sedangkan Kariu yang bungsu.
Tokoh konflik menyatu
Ketua Mejelis Jemaat Gereja Kristen Protestan Maluku Desa Passo Pendeta Janes Toisuta mengatakan, gereja sangat mendukung jalinan pela dan gandong. Biasanya setiap kali upacara adat selalu diawali dengan doa. Menurutnya, perilaku individu yang radikal tidak hanya di komunitas tertentu tetapi berpeluang ada di semua komunitas agama. “Kami selalu mengingatkan para jemaat agar mengedepankan cinta kasih. Jangan ada kekerasan karena kekerasan bertentangan dengan cinta kasih,” katanya.
Sementara itu, Imam Masjid Nurul Islah Passo, Muhammad Wamir mengatakan, ia juga mengamati gerak-gerik umatnya. Jika ada yang mencurigakan akan dipanggil dan diarahkan sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. “Tidak ada agama yang mengajarkan tentang kekerasan. Kita semua bersaudara dan kita mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila harga mati,” katanya.
Dari catatan Kompas, sejumlah tokoh yang terlibat konflik mulai menyatu untuk membangun Maluku. Mantan Panglima Laskar Front Pembela Islam Maluku Jumu Tuani dan mantan Sekretaris Front Kedaulatan Maluku Republik Maluku Selatan Mozes Tuwanakotta dalam beberapa kesempatan selalu bersama menyampaikan pesan tentang perdamaian.
“Kami menyadari bahwa saat konflik itu kita semua di Maluku ini dibohongi. Kita ini korban. Jadi jangan lagi ada yang radikal atas nama agama. Mari kita jaga dan rawat pela-gandong,” kata Jumu dan diamini Mozes dalam suatu kesempatan kepada Kompas.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.