Masyarakat Adat Dayak Tomun Lakukan Pemetaan Wilayah Adat
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·2 menit baca
NANGA BULIK, KOMPAS — Masyarakat adat Dayak Tomun di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, telah melakukan pemetaan wilayah adat. Hal itu dilakukan karena mereka menyadari pentingnya hutan adat dibandingkan investasi perkebunan.
Kepala Desa Kubung, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Edy Zacheus mengatakan, pihaknya sudah melakukan pemetaan partisipatif bersama pegiat lingkungan. Dari hasil pemetaan didapatkan sekitar 20.000 hektar wilayah yang dikelola masyarakat adat Dayak Tomun, termasuk 2.000 hektar lahan permukiman Desa Kubung.
”Kami mengklaim wilayah adat ini berdasarkan adat dan tradisi turun-temurun. Tetapi, saya belum tenang kalau belum diakui pemerintah daerah,” kata Edy.
Pemetaan partisipatif dilakukan oleh pemerintah desa dan beberapa lembaga yang fokus pada dunia lingkungan di Kalimantan Tengah (Kalteng). Lembaga tersebut adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Save Our Borneo, dan Justice, Peace, and Integrated Creation Kalteng.
Di Desa Kubung, kata Edy, mayoritas penduduk mengandalkan hasil hutan, seperti madu hutan, buah-buahan, rotan, dan karet sebagai mata pencarian. Selain karena aspek ekonomi, hutan adat bagi mereka adalah kehidupan leluhur yang harus dijaga.
”Sudah beberapa kali kami didatangi perusahaan, tetapi kami tolak karena kami merasa kalau hutan jadi kebun, hidup kami juga rusak dan terpinggir. Kami ini yang jaga hutan,” kata Edy.
Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Dimas Novian Hartono menjelaskan, dari 10 Desa dan satu kelurahan di Kecamatan Delang, terdapat dua desa yang sudah dilakukan pemetaan partisipatif, yakni Desa Kubung dan Desa Sukombulan. Ia menargetkan akan melakukan pemetaan lagi di tiga desa dalam beberapa waktu ke depan, yakni Desa Riam Panahan, Sepoyu, dan Penyombaan.
”Prinsipnya adalah masyarakat ada karena memiliki wilayah kekuasaannya. Cara paling baik adalah dengan mengakui status kawasan adat mereka,” ujar Dimas.
Menurut dia, melakukan pemetaan wilayah adat saja belum cukup. Harus ada upaya pengakuan dengan mengubah status kawasan agar bisa terjaga dari konversi hutan ke perkebunan.
Edy mengungkapkan, hasil dari pemetaan sudah diberikan dan diusulkan ke daerah untuk segera ditanggapi. Mereka menginginkan agar status wilayah hutan adat mereka diperjelas.
Upaya tersebut didasari sejumlah regulasi tingkat pusat untuk mengakomodasi pengembalian hutan tanah adat ke masyarakat adat. Salah satunya adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2002 yang menyebutkan hutan adat milik masyarakat yang sebelumnya dikategorikan sebagai hutan negara.