KUNINGAN, KOMPAS — Masyarakat adat Sunda Wiwitan merayakan puncak upacara adat Seren Taun 1950 Saka Sunda di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Kamis (14/9). Melalui Seren Taun, masyarakat dengan beragam latar belakang etnis dan agama berkumpul bersama. Nilai keberagaman tersebut patut disyukuri di tengah berbagai persoalan bangsa.
Puncak acara adat sekali setahun tersebut berlangsung semarak sejak Kamis pagi. Ribuan pengunjung dari dalam dan luar Kabupaten Kuningan memadati Cagar Budaya Nasional Paseban Tri Panca Tunggal di Cigugur.
Masyarakat penghayat Sunda Wiwitan dan warga penganut agama lain, seperti Islam dan Kristen, ikut memeriahkan Seren Taun. Mereka bergotong royong memikul hasil bumi, seperti padi, pisang, dan ubi, untuk dibawa ke Paseban sebelum dibagikan kepada warga. Sebanyak 2.200 kilogram padi ditumbuk bersama sebagai bentuk kemandirian dan gotong royong.
Seni tradisi seperti Tari Puragabaya Gebang, Angklung Kenekes, dan Festival Memeron dari empat blok juga menghiasi acara puncak Seren Taun. Pada Rabu (13/9) malam, perwakilan umat sejumlah agama dan masyarakat adat berdoa bersama untuk keutuhan bangsa Indonesia.
”Semoga Seren Taun ini tidak hanya jadi tontonan, tetapi juga tuntunan. Kami ingin mengingatkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila itu yang utama. Dengan begitu, kita bisa hidup rukun meski berbeda,” kata pemimpin masyarakat adat Sunda Wiwitan Pangeran Djatikusumah (85).
Turut hadir dalam perhelatan itu, anggota DPR Komisi X, Puti Guntur Soekarno, GKR Hemas dari Dewan Perwakilan Daerah, dan Bupati Kuningan Acep Purnama. Henry Thomas dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) dan sejumlah perwakilan masyarakat adat Nusantara juga ikut serta dalam acara tersebut.
Menurut Ketua Panitia Seren Taun Dewi Kanti, Seren Taun merupakan wujud syukur masyarakat agraris setelah menerima berkah setahun terakhir. Dalam pelaksanaannya, tradisi yang telah berlangsung sekitar seratus tahun ini juga mengandung nilai kebersamaan dan gotong royong meskipun berbeda latar belakang.
”Inilah yang membentuk karakter bangsa. Apalagi, kebersamaan saat ini sudah redup. Ada persoalan kebangsaan, seperti intoleransi,” ujar Dewi, yang juga merupakan anak dari Pangeran Djatikusumah.
Dewi, peraih Anugerah Perempuan Pegiat Perdamaian dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengatakan, masyarakat adat Sunda Wiwitan akan terus melestarikan tradisi leluhurnya meskipun masih mendapatkan diskriminasi. Salah satu bentuk diskriminasi yang dirasakan warga Sunda Wiwitan adalah dikosongkannya kolom agama di akta kelahiran dan kartu tanda penduduk mereka.
Masyarakat adat Sunda Wiwitan akan terus melestarikan tradisi leluhurnya meskipun masih mendapatkan diskriminasi.
Puti Guntur mengingatkan, kondisi bangsa saat ini mengalami degradasi. Nilai-nilai Pancasila, menurut dia, belum diimplementasikan sepenuhnya. ”Mari kembali kepada jiwa bangsa. Dan, ini ada pada tradisi seperti Seren Taun,” ujarnya. Ini sesuai tema Seren Taun yang berlangsung sejak Sabtu (9/9), yakni ”Memperkokoh Adat untuk Memperkuat Karakter Bangsa”.
GKR Hemas dalam pidato yang dibacakan Nia Sjafruddin dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika mengatakan, jati diri bangsa Indonesia ialah keberagaman. Hal inilah yang diupayakan untuk dipertahankan oleh masyarakat adat. Untuk itu, masyarakat adat perlu dirawat dan dilindungi.
Bupati Kuningan Acep Purnama mengatakan, Seren Taun mencerminkan kebinekaan di Kuningan. Pihaknya berkomitmen mendukung kegiatan seni budaya masyarakat adat Kuningan, terutama untuk kemajuan pariwisata.
Hendriks (36), warga Cigugur, mengatakan, ajaran leluhur di Seren Taun juga mengajak masyarakat untuk kembali dekat dengan lingkungan. Ini terwujud dalam upaya warga adat mempertahankan sejumlah benih padi lokal dan menggelar ritual pembuangan hama.