Pengguna Kartu Uang Elektronik Keberatan terhadap Pengenaan Biaya
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengguna jasa transportasi massal di Jakarta dimudahkan oleh transaksi nontunai. Namun, para pengguna kartu uang elektronik keberatan jika ada biaya biaya isi ulang uang elektronik..
Pekerja swasta asal Poris, Tangerang, Stefanny Tjan (23), mengatakan, dirinya memilih menggunakan kartu multitrip (KMT) yang diterbitkan oleh PT KAI Commuter Jabodetabek. Setiap Senin-Jumat dia berpergian ke kantor yang berada di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat.
Pekerja swasta lain asal Pamulang, Anastasia Arvirianty (25), juga mengatakan, penggunaan uang elektronik memudahkan dirinya saat ingin menaiki transportasi publik, seperti kereta komuter atau transjakarta. Ia mengatakan sudah sekitar tiga tahun menggunakan uang elektronik keluaran Bank Mandiri, E-money.
”Sekarang sudah mulai banyak transaksi pakai E-money, dari bayar tol sampai naik kereta komuter dan transjakarta. Daripada harus keluarin-keluarin duit lagi mending sekali isi (ulang) kartu terus bisa buat semuanya itu,” ujar Arvi.
Namun, Arvi kadang merasa kesulitan untuk isi ulang kartu karena tidak semua stasiun menyediakan mesin pembaca data elektronik (EDC). Jika saldo kartu E-money kurang, ia terpaksa harus membeli tiket harian berjaminan (THB).
”Nyeseknya itu, kalau lagi buru-buru, saldo di kartu kurang. Jadi, mau tidak mau saya beli THB. Karena tidak semua stasiun, kan, ada alat EDC-nya,” kata Arvi.
VP Corporate Communication PT KCJ Eva Chairunisa mengatakan, adanya mesin EDC di beberapa stasiun merupakan kerja sama antara PT KCJ dan beberapa bank yang kartunya bisa digunakan untuk perjalanan kereta komuter. Pihaknya juga sangat mendukung pengadaan mesin EDC di tiap-tiap stasiun.
”Kalau dari kami, jika bisa dipenuhi di seluruh stasiun tentu sangat baik. EDC itu semakin menunjang aktivitas isi ulang saldo bagi pengguna kartu bank,” ujarnya.
Teddy Parengkuan (63), warga Ciputat, Tangerang Selatan, setiap hari menggunakan uang elektronik sebagai akses tiket perjalanan kereta komuter. Pada awal pembelian kartu, ia sudah dikenai biaya Rp 25.000. Sementara untuk biaya isi ulang juga dibatasi minimal senilai Rp 20.000. ”Biaya itu cukup besar untuk kalangan menengah bawah. Kadang kalau hanya punya tunai Rp 30.000 jadi berat untuk isi ulang,” kata Teddy yang ditemui di Stasiun Palmerah, Jakarta.
Rosa Ayu (33), pegawai swasta yang sering menggunakan jasa tol, tidak setuju jika harus dikenai biaya tambahan saat melakukan isi ulang uang elektronik. ”Biasanya seminggu isi Rp 100.000. Kalau ada biaya tambahan Rp 2.000-Rp 5.000 tiap isi ulang, kan, jadi lumayan. Mungkin kalau benar berlaku, ya, setiap isi ulang langsung dalam jumlah besar,” ujarnya.
Bagi pengguna uang elektronik, cara isi ulang yang berlaku tidak menyulitkan. Selama ini, pengguna bisa melakukannya dengan langsung bertransaksi di mesin anjungan tunai mandiri (ATM) atau ke swalayan yang melayani isi ulang uang elektronik. Selain itu, pengguna yang memiliki gawai juga bisa melakukan isi ulang dengan mengaktifkan sistem near field communication (NFC).
Desi Permatasari (24), warga Bogor, selama ini mengisi saldo uang elektroniknya melalui gawai. Meski cara isi ulang tidak menyulitkan, beberapa pengguna mengeluhkan terbatasnya layanan uang elektronik. Belum semua tempat bisa melayani semua jenis uang elektronik. Hal tersebut membuat beberapa pengguna terpaksa memiliki beberapa uang elektronik untuk memudahkan transaksi. (DD04/DD12/DD18)