MANNA,KOMPAS —Pemerintah terus menggenjot produksi jagung untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Dua negara tujuan ekspor sudah menandatangani hubungan kerja sama, yakni Filipina dan Malaysia, dengan target ekspor dimulai pada akhir tahun ini.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam kunjungan ke Desa Padang Lebar, Kecamatan Seginim, Kabupaten Bengkulu Selatan, Bengkulu, Selasa (19/9), menjelaskan, ekspor dilakukan setelah masa panen jagung November atau Desember 2017. Volume ekspor ditargetkan mencapai 250.000 ton.
Jagung tersebut diperoleh dari beberapa daerah, seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. ”Kedua negara tersebut berpotensi untuk menjadi tujuan ekspor karena jaraknya yang dekat dengan Indonesia,” ujar Andi.
Produksi jagung di Indonesia, lanjut Andi, saat ini mencapai 22 juta ton per tahun. Adapun kebutuhan jagung dalam negeri sebanyak 20 juta-21 juta ton per tahun. Kondisi ini jauh berbeda dengan kondisi satu tahun lalu, ketika Indonesia masih mengimpor jagung dari Argentina dan Amerika Serikat. ”Ini adalah kemajuan yang harus dipertahankan. Kami menargetkan pada 2018 nanti produksi jagung dapat meningkat jadi 23 juta ton,” ucapnya.
Menurut Andi, meningkatnya minat petani menanam jagung lantaran harganya yang terus membaik. Saat ini, harga jagung di tingkat petani Rp 3.000-Rp 4.000 per kilogram.
Kementerian Pertanian juga melakukan perluasan lahan jagung, seperti di Bengkulu Selatan seluas 20.000 hektar dan Kabupaten Kaur seluas 5.000 hektar. ”Kami menyiapkan sarana dan prasarana, tinggal petani dan pemerintah desa yang mengembangkannya,” ujar Andi.
Kesulitan pupuk dan bibit
Walau ditargetkan untuk mengembangkan jagung, petani di Bengkulu Selatan masih kesulitan mendapatkan pupuk dan bibit. Kesulitan ini akhirnya berdampak pada tidak optimalmya hasil tani.
Jurin (35), petani asal Kecamatan Segini, Kabupaten Bengkulu Selatan, menyebutkan, kesulitan pupuk selalu dialami saat memulai musim tanam. ”Saat musim tanam dimulai, permintaan pupuk meningkat. Terkadang, kami harus mengambil pupuk dari kecamatan lain yang jaraknya hingga 30 kilometer. Inilah yang menjadi penyebab proses pemupukan tidak teratur,” tuturnya.
Dalam penanaman jagung hingga panen, Jurin harus mengeluarkan uang sampai Rp 8 juta per hektar. Adapun hasil panen jagung yang diperoleh setiap lima bulan sekitar Rp 18 juta. Artinya, Jurin hanya memperoleh pendapatan bersih sekitar Rp 10 juta per sekali panen. Satu hektar lahan jagung hanya menghasilkan 5 ton jagung. Padahal, di daerah lain, hasil pertanian jagung mencapai 10 ton per hektar setiap kali panen.
Untuk itu, lanjut Jurin, pihaknya berharap ada bantuan dan pengawasan dari pemerintah agar distribusi pupuk dan bibit dapat lebih ketat sehingga semua petani mendapatkan pupuk tepat waktu.
Gunakan dana desa
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo menyatakan, pemerintah desa dapat memanfaatkan dana desa untuk mengembangkan potensi pertanian di desanya. ”Intinya, pemerintah desa harus fokus pada komoditas ekonomi yang diyakini dapat meningkatkan taraf hidup masyarakatnya,” ucap Eko.
Lebih lanjut pihaknya menyatakan terus berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian untuk bekerja sama membangun perekonomian melalui pertanian. Pemerintah desa, misalnya, dapat membangun sejumlah embung dengan menggunakan dana desa.
Pembangunan embung sangat penting sebagai penampungan air untuk mengairi kawasan pertanian. ”Untuk membuat embung, pemerintah desa bisa menanggarkan dana Rp 500 juta-Rp 600 juta. Fasilitas ini tentu akan jauh lebih berguna bagi masyarakat,” ujarnya.
Adapun untuk penyerapan jagung, lanjut Eko, pihaknya menginisiasi pembentukan Mitra BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) yang diharapkan mampu menyerap hasil komoditas milik petani. ”Dengan mekanisme ini, diharapkan petani lebih bersemangat menanam jagung,” lanjut Eko.