JAKARTA, KOMPAS — Tingginya biaya politik ditengarai menjadi salah satu sebab banyaknya kepala daerah melakukan korupsi atau meminta suap sebagai kompensasi atas pelayanan yang diberikan. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu membenahi sistem pendanaan politik.
Pembenahan dapat dilakukan dengan mengalokasikan anggaran lebih besar untuk bantuan operasional partai politik. Namun, solusi tersebut masih sulit direalisasikan karena terkendala buruknya kinerja parpol. Banyak masyarakat yang menolak peningkatan anggaran dana bantuan politik lantaran kinerja parpol belum memuaskan.
Kepala Staf Presiden Teten Masduki di Bina Graha, Jakarta, Senin (25/9) petang, mengatakan, perlu ada terobosan pendanaan politik sebagai solusi untuk menekan tingginnya ongkos politik. ”Memang harus ada keberanian untuk mencari solusi pendanaan politik. Kalau di negara-negara maju, dana politik ditanggung APBN,” katanya.
Pemerintah, lanjut Teten, dapat memahami peningkatan alokasi bantuan parpol merupakan salah satu jalan keluar untuk menghapus biaya politik tinggi yang menjadi penyebab maraknya korupsi kepala daerah. Rendahnya alokasi bantuan parpol dari APBN membuat parpol atau politisi harus menyiapkan ongkos politik sendiri.
Namun, pemerintah kesulitan merealisasi gagasan tersebut karena selalu mendapat penolakan dari masyarakat.
Penolakan tersebut sebenarnya tidak lepas dari kinerja parpol yang masih dianggap kurang memuaskan. Oleh karena itu, penting bagi parpol untuk memperbaiki kinerja dan mengembalikan kepercayaan rakyat.
Selain itu, menurut Teten, korupsi kepala daerah terjadi karena faktor pemintaan dan penawaran. ”Persoalan korupsi itu bukan dari sisi pemerintah saja, melainkan karena ada supply dan demand. Jadi ada demand yang cukup kuat dari masyarakat,” katanya.
Tidak sedikit masyarakat meminta suap dari para calon kepala daerah yang mengikuti pilkada. Selama permintaan politik uang dari masyarakat tinggi, korupsi kepala daerah akan tetap terjadi sehingga, menurut Teten, penting pula memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar tidak memilih pembeli suara, melainkan calon kepala daerah yang kredibel dan berintegritas.
Secara terpisah, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Sidarto Danusubroto, mengatakan, sistem pemilihan dalam pilkada perlu diubah. Untuk menekan politik biaya tinggi yang menjadi penyebab korupsi, Sidarto mengusulkan hanya bupati dan wali kota yang dipilih langsung oleh rakyat.
Adapun gubernur akan lebih baik jika tidak dipilih langsung karena merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat. ”Mekanismenya seperti apa, apakah ditunjuk atau dipilih DPRD bisa dikaji terlebih dahulu,” katanya.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.