Membaca Realitas Literasi dari Atas Sepeda
Beberapa waktu sebelum Hari Aksara Internasional tiba, dua pegiat literasi berkumpul di Jakarta. Mereka adalah Rian Hamzah (43) dan Edi Dimyati (39). Mereka berencana melakukan perjalanan yang tidak biasa. Jika sebelumnya hanya membuka lapak buku di taman-taman dengan sepeda, kali ini akan menempuh rute lebih jauh. Mereka akan melakukan kegiatan secara kolektif, dengan kegiatan yang diberi nama ”Gowes Literasi”.
”Kami yang bergelut di dunia literasi dan membuka taman baca ingin memeriahkan Hari Aksara Internasional dengan cara yang berbeda. Kebetulan pada 6-8 September ada acara Hari Aksara Internasional di Kuningan,” kata Edi di Jakarta, Minggu (17/9).
Dua orang yang tidak punya pengalaman bersepeda jarak jauh, kecuali dalam kota, ini lalu menyusun rencana. Mereka juga mengajak Isur Suryadi, pegiat literasi lainnya yang juga guru mengaji. Tidak ketinggalan seorang rekannya yang mengerti seluk-beluk bersepeda jarak jauh, Ana Mulyana, yang juga guru gambar dan sketsa. Beberapa rekan lain juga menyatakan ingin ikut meski lalu terbentur kegiatan harian dan izin.
Rencana bersepeda ke Cirebon yang berjarak sekitar 220 Kilometer disusun. Mereka akan menyinggahi sejumlah tempat, taman atau sekolah, selama kurang lebih empat hari perjalanan melalui jalur pantai utara. Saat pulang, mereka akan melewati jalur selatan, melalui Puncak, Kabupaten Bogor.
Selain membawa perlengkapan pribadi, mereka juga membawa buku tentunya. Satu orang mengangkut sekitar 60 judul buku dengan berat 15 kilogram. Perjalanan dimulai dari Jakarta menuju Bekasi pada Minggu (3/9).
Konsepnya, di tiap perjalanan mereka menggelar lapak buku, mendongeng, main yoyo, dan melakukan sejumlah kegiatan. Di Bekasi, kami membuka lapak dan kelas di Sanggar Alam, lalu ke Karawang dan buka lapak di lapangan. Rian menambahkan, di Karawang itu mereka mendapat banyak hal.
Saat membuka lapak buku, bukan hanya anak-anak, melainkan ada kakek-kakek penggemar Soekarno yang sangat komunikatif. ”Melihat orang-orang yang bahagia itu capek jadi hilang. Padahal, paha sudah panas gowes seharian,” ujar Edi.
Setelah ”menginap” semalam di daerah Karawang mereka melanjutkan perjalanan ke Subang. Di sini mereka singgah di salah satu sekolah dasar. Meski awalnya disangka tim Saber Pungli yang menyamar, mereka bisa membagi sedikit pengetahuan kepada anak-anak dan guru.
”Saya tanya, anak-anak di SD itu baca buku apa tidak. Mereka teriak baca. Pas saya tanya, gurunya baca apa? Eh, dijawab baca SMS dengan mimik serius,” kata Rian juga dengan serius. ”Ironis karena minat yang kurang untuk membaca bukan hanya pada generasi muda, melainkan juga pada pengajar.”
Hal itu yang membuat mereka yakin bahwa geliat literasi harus terus digalakkan. Semangat mereka ”menggowes” juga semakin tinggi menuju Kuningan. Meski jalur pantura penuh dengan truk dan kendaraan besar, mereka akhirnya bisa tiba di Kuningan dan ikut meramaikan Hari Aksara Internasional.
Komunitas Sepeda Baca
Tingkat literasi di Indonesia belum membaik. Berdasarkan catatan UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa), indeks membaca bangsa Indonesia (2012) hanya 0,001. Artinya, di antara 1.000 orang, hanya satu orang yang membaca secara serius. Demikian pula catatan survei Most Literated Nation in The World (2015) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara (Kompas, 7/2).
Oleh karena itu, sejumlah pegiat literasi yang hadir merupakan oase bagi generasi. Kehadiran mereka yang aktif ”bergerilya” seperti musafir yang membawa banyak air minum lalu membaginya kepada orang-orang yang sedang kehausan.
”Komunitas Sepeda Baca itu hanya sebutan saja bagi kami yang bergerak di bidang literasi dengan memakai sepeda. Itu penamaan saja, masih tidak jauh dari Pustaka Bergerak,” kata Rian.
Edi memulai perpustakaan keliling sejak tahun 2008. Minat membacanya yang tinggi dan banyaknya buku di kediaman membuatnya perlu untuk mendekatkan bacaan ke orang lain. Berbekal sepeda, jadilah dia pustakawan keliling ke taman-taman dekat rumahnya di Cibubur setiap akhir pekan.
Sejak 2010 dia membuka Taman Baca Kampung Buku. Saat ini, mantan karyawan majalah yang baru berhenti dari pekerjaannya ini sedang giat-giatnya mencanangkan Kotak Ilmu. Sebuah kotak seperti sangkar burung yang diletakkan di dekat tempat bermain anak-anak di lingkungannya, yang pastinya berisi buku.
Pengalaman Rian tidak jauh berbeda. Dia memulai perpustakaan keliling di wilayah Jakarta Timur sejak 2008. Saat itu, dia merasa perlu memberi edukasi kepada anak-anak jalanan dan preman yang banyak berkeliaran di jalanan. Dia lalu berkeliling dan mendekatkan buku kepada anak jalanan.
”Enggak papa baca judulnya saja. Yang penting pegang buku dulu,” kata penggerak Gerakan Indonesia Membaca ini. Rian yang juga aktif di teater serta seorang pendongeng ini sekarang aktif di taman baca yang dikelolanya di wilayah Setu, Kabupaten Bekasi.
Kegiatan Gowes Literasi itu, menurut Rian, penting dilakukan di tengah kondisi literasi yang tidak kunjung membaik. Selain dilakukan secara kolektif, melihat langsung kondisi literasi di masyarakat memberi nilai yang berbeda. Menurut rencana, mereka mulai mendiskusikan untuk bersepeda bersama ke Yogyakarta tahun depan. (Saiful Rijal Yunus)