Sang Spesialis Pemanggil Burung
Wahyudi Amin alias Wahyu (27) adalah satu dari sedikit orang yang memiliki kemampuan memanggil burung. Keahliannya itu menjadi atraksi wisata bagi wisatawan yang mengunjungi Taman Wisata Alam Kerandangan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Tiap hari mendengar suara burung karena tinggal di taman wisata alam (TWA) itu, selalu mendampingi peneliti, mahasiswa, dan fotografer, berikut pengetahuan lapangan telah mengantarkan Wahyu menekuni pekerjaan langka: pemandu wisata spesialis burung.
"Memanggil burung itu harus sabar, tahan duduk berjam-jam," kata Wahyu, beberapa waktu lalu, saat menanti kehadiran burung paok laus (Pitta elegans) di tempat burung itu biasa mencari makan. Untuk memikat burung itu, Wahyu meletakkan pakan pelet hongkong di seputar semak belukar. Ia beranjak 5 meter dari tempat semula ke tirai plastik yang dibentangkan di antara dua pohon.
Sambil sesekali bersiul menirukan suara paok laus, Wahyu membenahi kamera yang dipasang di atas tripod dengan lensa 200 mm yang diselipkan di lubang tirai plastik itu. "Saya menyebutnya \'Si Murak\' karena bulunya sering rontok (murak). Dia agak sensitif. Makanya, melihatnya jangan terlalu dekat biar tidak kabur," tuturnya seusai mengabadikan Si Murak.
Tubuh burung ini didominasi bulu berwarna oranye, sedangkan kepala dan tenggorokannya berwarna hitam, dengan bulu sayap berwarna hijau dan bercak biru langit di pangkal sayap. Lima bulan lamanya Wahyu menjinakkan burung ini. Caranya, main kucing-kucingan dengan bersembunyi di balik semak-semak, memantau jam makannya, dan mengamati kotorannya guna mengetahui makanan kesukaan yang akan digunakan sebagai umpan untuk memanggil burung itu. Dia bahkan menyetel suara burung itu di tempat singgahnya.
Kini, burung itu menjadi daya tarik para fotografer dalam dan luar negeri. "Ada fotografer dari Malaysia dan Singapura, begitu mendarat pagi hari di Bandara Internasional Lombok, langsung ke sini. Setelah mengabadikan Si Murak, keduanya terbang ke negaranya hari itu juga," katanya.
Wahyu hafal di luar kepala nama lokal, nama Latin, dan tempat beragam jenis burung biasa berkeliaran di TWA Kerandangan. "Itu burung kehicap ranting atau Hypothymis azurea," Wahyu menunjuk beberapa burung yang hinggap di ranting pepohonan dekat kantor TWA. Tubuh kehicap ranting berukuran 16 sentimeter, bulunya didominasi warna biru langit, agak keputihan di bagian bawah tubuh, dan bulu tengkuknya berwarna hitam.
"Di TWA Kerandangan ini ada burung caladi tilik (Dendrocopos moluccensis). Burung ini sukanya di pohon mati, mencari semut dan serangga sebagai makanannya. Paruhnya yang tajam dipakai mematuk kulit atau batang pohon yang mati," ujarnya. "Kalau mau jalan sedikit, naik ke bukit, kita bisa melihat burung cekakak kalung coklat atau Todiramphus australasia."
Keberadaan caladi titik di TWA Kerandangan mematahkan anggapan bahwa burung itu hidup di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut-sekitar kawasan hutan Gunung Rinjani-sedangkan tinggi maksimal perbukitan di TWA itu hanya 600 meter. "Inilah keunggulan TWA Kerandangan, selain memiliki burung endemik, juga sebagai tempat beberapa jenis burung bermigrasi.
Petugas menemukan seekor kicuit hutan(Dendronanthus indicus) tengah berjalan di halaman kantor TWA, akhir Agustus lalu. Persebaran burung itu ke Timur Jauh, China tenggara, Jepang selatan, dan India. Pada musim dingin, burung bermigrasi ke Asia Selatan. "Ini burung migran sebab belum tercatat jenis itu ada di sini," ucapnya.
Saat ini tercatat 64 jenis burung di TWA Kerandangan. Selain yang sudah disebutkan, terdapat pula burung gosong kaki merah, srigunting wallacea, celepuk rinjani (Otus jolandae) yang merupakan satu-satunya jenis burung endemik di Lombok, dan cikukua tanduk (Philemon buceroides) yang merupakan satwa dilindungi. "Kalau mau lihat celepuk rinjani, nanti menjelang azan Maghrib, saat burung-burung itu pulang dari mencari makan," ujar Wahyu.
Tenaga kontrak
Persinggungan Wahyu dengan beragam jenis burung bermula sejak 2012 setelah menjadi tenaga kontrak di Balai Konservasi Sumber Daya Alam NTB. Tugasnya sebagai pramubakti di TWA Kerandangan. Namun, karena hobi dan minat besarnya terhadap burung, Wahyu kemudian ditugaskan menjadi pemandu khusus burung. Sebagai pemandu, dia harus belajar banyak mengenai jenis, spesies, dan perilaku burung beserta seluruh "isi perut" TWA Kerandangan.
Tugas itu tidak beda dengan pekerjaan di bagian hubungan masyarakat, yaitu memberikan informasi dan publikasi. Dengan pengetahuan lapangan, kegemarannya bertanya kepada para penggemar burung di Lombok, dan diperkuat dengan buku-buku bacaan tentang burung, Wahyu bisa memberikan informasi awal lebih lengkap kepada pengunjung: wisatawan lokal dan wisatawan asing.
Pengetahuannya semakin bertambah karena selalu mendampingi para peneliti yang melakukan penelitian soal burung di TWA. Kemampuan berbahasa Inggris-nya pun terasah dari wisatawan asing yang didampinginya menjelajah TWA. Namun, kemampuan memanggil burung didapat dari rekannya, seorang pemandu wisata minat khusus, yang sekaligus meminjaminya kamera DSLR. Dia juga belajar teknik dasar fotografi: menekan tombol rana (shutter), mengenal eksposur, komposisi, dan sudut pengambilan gambar, serta mengamati foto hasil jepretan fotografer.
Hasilnya, karya fotonya berupa burung gosong kaki merah dan kehicap ranting masuk dalam buku Birdwatching TWA Kerandangan. Bahkan, Wahyu juga menjadi wakil NTB dalam Bird Photography Competition di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur, 14-18 September. Dia meraih penghargaan dari kompetisi itu. Dalam Bali Birdwatching Race 2017 di Universitas Udayana, Bali, Wahyu bersama kelompoknya meraih juara pertama dan kedua.
Di sisi lain, Wahyu aktif mendidik dan memotivasi masyarakat dan generasi muda untuk menjaga aset sumber daya alam. Hal ini mengingat TWA Kerandangan berada di kawasan obyek wisata Senggigi, Lombok Barat, yang menjadi pilihan lain bagi wisatawan sekaligus akan memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar. "Dalam perkembangannya kini, anak-anak SD hingga SMA mau belajar soal burung dan bertanya soal konservasi lingkungan kepada saya," ujarnya.
Wahyu memang hanya lulusan sekolah menengah kejuruan, tetapi keterbatasan pendidikannya dijawab dengan ketekunan, semangat, dan kerja keras untuk menimba ilmu. Wajar agaknya jika kini dia tercatat sebagai satu dari dua pemandu spesialis burung di NTB.
Wahyudi Amin
u Lahir: Mataram 7 Oktober 1990u Istri: Nurul Hidayah (24) u Anak: M Denis Hafiziu Orangtua: Najamudin-Taslimahu Pendidikan:- SDN 34 Mataram (2003)- SMPN 4 Mataram (2006)- SMKN I Mataram (2009)