Mumpung Cuaca Cerah
CUACA hari-hari ini lumayan cerah. Begitu pula dengan ramalan untuk beberapa saat ke depan. Namun, beberapa titik awan hitam mulai terbentuk di cakrawala. Dalam kondisi ini, sikap paling bijaksana adalah memperbaiki rumah. Mumpung cuaca cerah.
Inilah lebih kurang ilustrasi dari pesan Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia 2017 di Washington DC, Amerika Serikat, 13-15 Oktober. Acara tersebut dihadiri menteri keuangan dan gubernur bank sentral dari 189 negara anggota serta para politisi dan pelaku usaha.
Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde yang menginisiasi ilustrasi tersebut untuk menggambarkan situasi perekonomian global terkini berikut proyeksi dan tantangan ke depan. Ilustrasi itu sekaligus mengingatkan para pengambil kebijakan untuk terus melakukan reformasi perekonomian di berbagai bidang.
Istilah ”memperbaiki atap” dikutip Lagarde dari pidato Presiden AS John F Kennedy di kongres, 11 Januari 1962. ”Saat untuk memperbaiki atap rumah adalah ketika matahari bersinar terang,” demikian kutipannya.
Memperbaiki atap yang dimaksud Kennedy adalah melanjutkan reformasi struktural. Hal ini disampaikan untuk mengingatkan para pengambil kebijakan agar tidak buru-buru berpuas diri atau lengah tatkala pemulihan ekonomi tengah berlangsung. Saat itu, perekonomian AS tengah mengalami pemulihan setelah tiga kali resesi dalam tujuh tahun sebelumnya.
”Saya harap, setiap negara anggota akan pulang ke rumah masing-masing untuk mencermati rumah mereka masing-masing. Saya harap setiap negara anggota memeriksa bagian atap mana yang perlu diperbaiki, apakah itu kebijakan fiskal, kebijakan moneter, atau reformasi struktural,” kata Lagarde.
Perbaikan tersebut, menurut Lagarde, akan lebih mudah dilakukan pada masa-masa baik sebab keluarannya lebih kuat dan beban yang dirasakan masyarakat lebih kecil. Hal ini terjadi dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang menguat dan lapangan kerja yang tercipta. Sebaliknya, perbaikan akan lebih berat dilakukan di masa-masa sulit.
Pertumbuhan ekonomi global pada 2013-2015 stagnan di 3,4 persen. Tahun 2016, lajunya melambat menjadi 3,2 persen atau yang terendah sejak krisis keuangan global pada 2007-2008. IMF dalam Proyeksi Ekonomi Dunia per Oktober 2017 memperkirakan, pertumbuhan global tahun ini dan tahun depan melonjak menjadi 3,6 persen dan 3,7 persen. Masing-masing naik 0,1 persen ketimbang proyeksi per April 2017.
Kondisi ini merupakan pemulihan paling merata selama sepuluh tahun terakhir dengan investasi, konsumsi, dan perdagangan sebagai penggeraknya. Sebanyak 75 persen dari perekonomian global mengalami penguatan pertumbuhan ekonomi. Ini tidak saja terjadi di negara-negara berkembang, tetapi juga di negara-negara maju.
Perbaikan akan lebih mudah dilakukan pada masa-masa baik sebab keluarannya lebih kuat dan beban yang dirasakan masyarakat lebih kecil.
Namun, pemulihan belum tuntas. Tahun lalu, sekitar 47 persen negara-negara di dunia mengalami pertumbuhan ekonomi per kapita negatif, termasuk negara kecil dan negara rentan. Konsekuensinya adalah meningkatnya tensi politik di sejumlah negara dan meningkatnya keraguan atas dampak positif globalisasi.
Dalam jangka pendek, risiko telah terkompensasi oleh pemulihan ekonomi. Namun, dalam jangka menengah, risiko menghantui. Risiko ini antara lain datang dari sektor keuangan.
Risiko jangka menengah
Dalam beberapa tahun belakangan, stabilitas keuangan global sejatinya terus membaik sejalan dengan penguatan sistem keuangan. Namun, di bawah permukaan, tumbuh risiko kerapuhan. Jika dibiarkan, risiko kerapuhan akan berkembang hingga muncul ke permukaan sehingga bisa membuyarkan momentum pertumbuhan global.
Kerapuhan yang dimaksud meliput beberapa hal. Misalnya, risiko pasar keuangan yang meningkat akibat pencarian terhadap imbal hasil sudah terlalu jauh. Sederhananya, terlalu banyak modal mencari investasi portofolio yang jumlahnya sedikit.
Faktor lain adalah tingkat utang kelompok G-20 yang meningkat. Pada saat yang sama, tingkat penggandaan modal oleh swasta melalui utang lebih tinggi ketimbang level sebelum krisis. Beban utang di sejumlah negara besar juga meningkat. Semua hal ini berpotensi membuat tingkat bunga meroket.
Selain itu, utang luar negeri negara berkembang dan negara berpendapatan rendah meningkat. Utang yang ditarik negara berkembang pada tahun ini mengarah ke 300 miliar dollar AS atau lebih dari dua kali lipat dari akumulasi dua tahun sebelumnya.
Pada satu sisi, peningkatan utang tersebut merupakan kabar baik karena mendukung pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, ketergantungan utang luar negeri yang terus meningkat bisa menjadi kerapuhan, terutama bagi negara berpendapatan rendah.
Dalam skenario negatif IMF, ketika tingkat pengembalian investasi meningkat, ekuitas dan harga perumahan jatuh. Selain itu, uang panas senilai 100 miliar dollar AS akan ditarik keluar dari negara berkembang. Dalam skenario ini, kehilangan terhadap output global bisa mencapai sekitar sepertiga dari kondisi krisis keuangan global.
Di luar sektor keuangan, risiko datang dari perubahan kebijakan yang berorientasi ke arah proteksionisme. Hal ini akan mengurangi perdagangan dan aliran investasi lintas negara sehingga akhirnya menggerus pertumbuhan ekonomi global.
Risiko di luar faktor ekonomi berasal dari peningkatan tensi geopolitik, kegaduhan politik dalam negeri, korupsi, dan lemahnya tata kelola, serta terorisme dan isu gangguan keamanan.
Kawasan Asia
Kawasan Asia masih menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Sumbangannya mencapai 63 persen dari total pertumbuhan ekonomi dunia. China dan India masing-masing menyumbang 34 persen dan 13 persen.
Tantangannya adalah seberapa lama lagi Asia mampu mempertahankan atau melanjutkan tingkat pertumbuhan ekonominya yang selama beberapa tahun belakangan relatif tinggi. Dalam jangka menengah, pertumbuhan ekonomi Asia diperkirakan mengalamai moderasi karena sejumlah risiko. Risiko tersebut di antaranya ketimpangan yang melebar, ketergantungan pada modal asing yang tinggi, dan rendahnya produktivitas.
Dalam jangka menengah, populasi Asia juga akan menua. Masalahnya, mengacu laporan IMF pada proyeksi ekonomi dunia per April 2017, Asia bisa menua sebelum penduduknya kaya. Artinya, rata-rata penduduk Asia hanya memiliki pendapatan rendah saat populasi sudah menua. Hal ini bisa menimbulkan beban fiskal yang berat.
Seberapa lama lagi Asia mampu mempertahankan atau melanjutkan tingkat pertumbuhan ekonominya yang selama beberapa tahun belakangan relatif tinggi.
Situasi global dan kawasan tersebut sangat berkaitan, linier, sekaligus relevan dengan perekonomian Indonesia. Sejak krisis keuangan global 2007-2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai titik nadir di 4,79 persen pada 2015.
Tahun 2016, pertumbuhan mulai menemukan titik balik, yakni 5,1 persen. Tahun ini, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2 persen dan tahun depan mencapai 5,3 persen. Artinya, perekonomian Indonesia mengalami tren pemulihan.
Namun, Indonesia butuh tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan makin inklusif untuk mempercepat pemberantasan kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Faktor terbesar yang menggembosi potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini berasal dari dalam negeri, yakni masalah struktural yang telah berlangsung puluhan tahun.
Persoalan struktural itu antara lain sistem politik yang kurang efisien untuk pembangunan, korupsi, aturan yang sangat banyak dan menyandera, birokrasi yang tak efisien, ketimpangan pendapatan dan ketimpangan penguasaan lahan, serta tabungan dalam negeri yang minim sehingga menyebabkan ketergantungan atas modal asing tinggi. Persoalan struktural domestik inilah yang paling berat.
Cuaca cerah di 2018 dan 2019. Inilah kesempatan baik untuk memperbaiki atap rumah Nusantara guna memperkuat pertumbuhan sekaligus memperkokoh daya tahan terhadap risiko. Inilah saatnya para pengambil kebijakan melanjutkan dan memperluas agenda reformasi.
Tantangannya, kesempatan baik ini bertepatan dengan tahun politik. Di tahun politik, selalu, popularitaslah yang menjadi orientasi, baik dari sisi penguasa maupun oposisi. Sementara agenda reformasi acap kali bersifat kurang populer. Belum lagi jika pemilihan kepala daerah, pemilihan umum legislatif, dan pemilihan umum presiden-wakil presiden menimbulkan kegaduhan yang mengganggu iklim ekonomi. Maka, kuncinya terletak pada apa yang akan dikerjakan oleh pengambil kebijakan selama tahun politik, selama cuaca cerah. Mumpung cuaca cerah.