Negosiasi Freeport Harus Dilihat secara Jernih dan Holistik
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses negosiasi antara PT Freeport Indonesia dan pemerintah hingga kini belum ada titik temu. Proses negosiasi tersebut diharapkan dapat dilihat secara jernih dan holistik agar tetap menguntungkan bagi kedua belah pihak.
”Kita perlu berpikir jernih, memberikan masukan yang baik kepada pemerintah supaya pemerintah sukses dalam proses negosiasi dengan Freeport. Kontrak ini tidak bisa hanya dilihat sepotong-sepotong, tetapi harus secara holistik untuk kepentingan semua,” ujar Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo dalam acara diskusi ”Generasi Milenial Memandang Negosiasi Freeport”, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis malam (27/10).
Acara diskusi juga dihadiri beberapa tokoh muda lain, seperti Direktur Eksekutif Respublica Political Institute Benny Sabdo, analis hukum internasional Raymond Pardamean Sihombing, Sekretaris Dewan Perwakilan Wilayah DKI Jakarta Nasional Demokrat Wibi Andriano, dan Ketua Departemen Ekonomi RPI Johan Carmelo
Menurut Prastowo, sampai saat ini, setidaknya terdapat empat isu penting yang masih dibahas dalam negosiasi, yakni divestasi saham 51 persen, kewajiban membangun smelter, perpanjangan operasi, dan skema perpajakan.
Soal divestasi saham, Prastowo menuturkan, Freeport harus menuruti aturan yang ada dengan melepas sahamnya tidak boleh kurang dari 51 persen. Hal ini dikarenakan kepemilikan saham Pemerintah Indonesia hanya 9,36 persen hingga 50 tahun operasi Freeport di Indonesia.
”Apa pun, pemerintah harus dapat bagian yang lebih besar dan untuk rakyat. Freeport harus tunduk pada hukum Indonesia,” kata Prastowo.
Pada 2015, Freeport pernah menawarkan 10,64 persen saham kepada Pemerintah Indonesia senilai 1,7 miliar dollar AS (setara Rp 22,6 triliun dengan nilai tukar Rp 13.300 per dollar AS). Saat itu, Freeport memasukkan cadangan mineral dengan asumsi masa operasi diperpanjang hingga tahun 2041. Menurut pemerintah ketika itu, nilai saham 10,64 persen itu setara dengan 600 juta dollar AS (Kompas, 18 Oktober 2017).
Prastowo mengatakan, ada ketidakadilan apabila valuasi saham dinilai dengan memasukkan cadangan mineral sampai 2041 atau hasil perpanjangan kontrak. Padahal, dalam kontrak yang ditandatangani Freeport, operasi perusahaan tersebut di Papua hanya sampai 2021. Karena itu, menurut dia, perlu ada jalan tengah agar tetap menguntungkan bagi kedua belah pihak.
”Saya juga tidak setuju kalau semua cadangan (hingga 2041) dihitung karena tidak adil. Maka, diambil jalan tengah saja. Cadangan 20 tahun ke depan itu berapa yang bisa diambil, itu yang menjadi bagian dari value-nya. Kalau itu tinggi sebagai patokan dan 20 tahun stabil, kan, dividennya besar pemerintah. Apalagi sekarang kita punya kesempatan menaikkan tarif royalti sebelum kontrak. Naikkan saja jadi 4 hingga 5 persen, (pemerintah) sudah dapat tinggi itu,” papar Prastowo.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012, tarif royalti tembaga ditetapkan sebesar 4 persen, emas 3,75 persen, perak 3,25 persen. Adapun dalam kontrak karya, tarif royalti tembaga sebesar 3,75 persen, emas 1 persen, dan perak 1 persen.
Ketua Departemen Ekonomi Respublica Political Institute Johan Carmelo juga berpendapat, Freeport harus mengakhiri rezim kontrak karya yang sudah berumur 50 tahun dengan mengubah statusnya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Implikasinya, perusahaan tambang yang memiliki IUPK harus memiliki pabrik pengolahan dan pemurnian bijih tambang (smelter).
”Tujuannya agar ada nilai tambah untuk negara kita. Jadi, kita tidak semata-mata cuma dikeruk, diambil, lalu dibawa pergi,” ujar Carmelo. (DD18)