Puisi
Indrian Koto
Kota Ini, Seperti Cintaku yang Lalu
kota ini, seperti cintaku yang lalu
nyaris tak bisa diselamatkan
ia tumbuh ganjil tak sepadan
tambun di suatu badan, lisut di lain bagian.
setiap kali kusebut masa lalu
ia muncul seperti hantu
kami pernah saling menjauh
tak bersapa tak bersentuh
aku masuk ke dalam sunyi
ia tumbuh tak terkendali
makin asing di mataku
makin aku dijerat rindu.
kota ini seperti pikiran
liar dan mesti diruntuhkan
biar kosong, habis, rata
lalu dicipta seperti hari pertama.
kota ini, cintaku yang lalu
bagaimana tumbuh sejauh itu?
kusesal ia bagai masa lalu
setapak menjauh aku tak mampu.
kemarahanku pecah
kesedihanku tumpah
setiap kali namanya disebut
begitulah mungkin mencintainya kini:
membencinya penuh haru
menangisinya diam-diam
mengunjunginya sekali waktu.
2017
Aku Pulang
Aku pulang serupa anak dagang
Yang asing dengan kota sendiri
Semua menjelma kenalan
Yang tak berani kusebut kawan
Kota tak pernah benar-benar tumbuh
Dalam keteduhan
Segalanya dibangun,
Segalanya diruntuhkan.
Aku di sini
Mengenang semuanya dengan perih.
Pergi yang ganjil
Pulang yang tak bisa genap lagi.
2017
Sebelum Kota Ini Dibangun
Sebelum kota ini dibangun
Segalanya air dan udara
Sebelum ia disebut kota
Segalanya burung dan angkasa
Sebelum tumbuh bencana
Segalanya penuh rahasia
Sebelum semuanya mustahil
Segalanya dalam rencana
Sebelum tertutup cahaya
Segalanya cakrawala
2017
Berkenaan dengan Kota Ini
kota ini kecil saja
dikungkung jalan melingkar
di dalamnya tersembunyi keriuhan
yang nyaris tumpah ke batas pagar
di dalamnya tinggal orang-orang muda
yang sibuk belajar, mempertebal iman
belajar orasi, tidur di warung kopi,
serta mereka yang sibuk menjual diri
dan sejawatnya.
kota ini tanahnya gembur
gedung berebut tumbuh di tempat-tempat
yang tak pernah kau duga sebelumnya
di tempat-tempat semestinya
di tempat-tempat yang tak semestinya.
turis-turis bahagia, biro-biro wisata
menawarkan apa saja
warung dan toko tak memiliki pintu
membuka diri sepenuhnya hingga kiamat datang
atau sebelum pemilik menyerobot kembali lahan.
kota ini kecil saja
tak lebih besar dari kesedihan
kau tak akan mampu lepas
dari perangkap sederhananya.
2017
Di Kuburan
angin diam, daun-daun diam
matahari menyusupkan sedikit cahaya
serupa lampu sorot sebelum panggung ditutup
menimpa sebelah pipi basahmu.
seekor kaki seribu mencuat
dari timbunan tanah.
tak ada daun jatuh
hanya kelopak bunga layu,
sebongkah batu, botol air
juga sesal terlambat pulang.
tak ada rumput yang mesti dicabut
semuanya kosong seperti kenangan.
menguap di antara pohonan
petang itu di perkuburan.
A Muttaqin
Nasi Goreng untuk Abban
Minyak dan telur adalah saudara seiman. Mereka saling memandang
dengan cinta yang cepat matang, tak gampang iri pada teri dan kentang.
Sosis dan udang adalah saudara seperjuangan. Sosis meminjam gurih
dari udang sementara si udang meminjam kulit sosis agar kau tenang.
Nasi dan piring adalah saudara sejalan. Nasi melipur piring agar tidak
terbang. Piring menampung kerumunan nasi agar tentram terpahamkan.
Lapar dan lahap adalah saudara sekamar. Lapar meminta lahap agar
makan pelan-pelan. Lahap meminta lapar agar sabar menunda kenyang.
(2017)
Tasawuf Buta Huruf
mengintip kitab Raja Ali Haji
Ha, hamba berlindung dari duri yang membuat si mawar dimungkiri
Na, nasihat adalah ulat yang membuat daun cacat dan burung terjerat
Ca, camar dan mawar bertukar lapar di kiri candi, o duri, jadilah saksi
Ra, rawat ranting ini, supaya si kaki pandai mencari sulur sumber diri
Ka, kalaulah kau tak percaya dengan jalan tafsir-gathuk-matuk begini
Da, datangi orang alim untuk belajar kumur atau sekadar tali tawasul
Ta, tawasul adalah taat yang memberkati dua utusan dalam carakan ini
Sa, sahih tidak sahih tentu bukan tujuan inti bagi si pencari jalan sejati
Wa, walau La kuteruskan dengan tafsir dan tadabur dari kitab-kitab suwur
Pa, Dha, Ja, Ya, Nya, Ma, Ga, Ba, Tha, Nga-ku tak bisa melipur semua jumhur.
(2017)
Moto Seorang Santri saat Bertandang ke Warung Kopi
Kopi adalah kopiah yang debunya menyala menyigi malam dan mimpi.
Rokok adalah ruh yang ditambal harap supaya sepi murup dan meragi.
(2017)
Perjuangan Mencintai Pagi Hari
05:30. Anakku berjuang membuka mata. Aku berjibaku melepas mimpi.
Istriku menggoreng kantuk hingga kriuk. Mertuaku merenungi gelap kopi.
06:30. Anakku sedang berperang di kamar mandi. Istriku mengaduk sepi.
Aku memeluk kantuk. Mertuaku membungkuk, membujuk kicau manuk.
07:00. Handuk mengelap kantukku. Salam teruluk dari manuk mertuaku.
Kulempar dadar agar si manuk diam. Anakku geram digenggam seragam.
07:30. Istriku dikejar kerja. Mertuaku siap istighasah. Kugandeng anakku ke
madrasah: “Aku mau jadi sapi perah!” katanya, sambil nyesap susu kotaknya.
(2017)
Drama Satu Babak
Panggung dibuka. Seorang lelaki menunggang kuda kayu. Seorang
perempuan gendut menunggang sapu. Keduanya berputar tiga kali.
“Apa yang kaucari Sinuhun, ke latu permaisurimu telah terjun?”
“Aku mencari panas pada api. Aku mencari alun pada unggun!”
Perempuan itu menghentikan sapunya, membuka kembennya, lalu melepas
jariknya. Lelaki itu melonjak-lonjak seolah kuda kayunya memberontak.
“Mendekatlah, wahai Sinuhun. Panas telah kuringkas ke puncak pahaku.
Unggun telah kutuntun ke dadaku. Mendekatlah, Sinuhunku yang pikun”
Lelaki itu membuang kuda kayunya, membuang pakaiannya. Kedua
tangannya ia rentangkan lalu berputar dan menari ia seperti sufi pemula.
“Sesaplah unggunku, Sinuhun, supaya kau tangkas melibas sisa sunyi.
Jilati panasku, Sinuhun, supaya kau lepas dari letih dan kelatahan ini.”
Lelaki itu mendekat. Panggung murup redup. Seorang perempuan pemirsa
membekap mata anaknya. Dua muda-mudi berkecap-kecup. Layar ditutup.
(2017)
A Muttaqin lahir di Gresik Jawa Timur, 11 Maret 1983. Buku puisinya adalah Pembuangan Phoenix (2010), Tetralogi Kerucut (2014), dan Tarekat Lembu (2016). Ia tinggal di Surabaya.
Indrian Koto lahir 19 Februari 1983 di Kenagarian Taratak, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Pleidoi Malin Kundang (2017) adalah buku puisi pertamanya.