Membandingkan Jokowi, Duterte, dan Trump
Sekalipun sama-sama menyedot perhatian publik di negaranya masing-masing, penilaian terhadap kinerja kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Rodrigo Duterte, ataupun Donald Trump berbeda-beda. Tiga model kurva kepuasan publik yang cenderung saling bertolak itu merepresentasikan kiprah ketiga sosok presiden tersebut.
Menjadi orang nomor satu di setiap negaranya, bagi Presiden Joko Widodo, Rodrigo Duterte, ataupun Donald Trump, tidak dilalui dengan perjuangan politik yang ringan. Dalam meraih kedudukannya, ketiga presiden itu menyingkirkan lawan-lawan politiknya secara dramatis.
Presiden Joko Widodo, misalnya, menjadi pemenang Pemilu Presiden 2014 dengan mengalahkan rival politiknya, Prabowo Subianto, dengan selisih sekitar 6 persen suara. Kemenangan itu diraih tidak mudah yang membelah masyarakat Indonesia menjadi dua kelompok dukungan yang kontras. Hingga kini, tiga tahun jalannya pemerintahan Joko Widodo, keterbelahan itu masih terasakan.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte pun memiliki kisah politik yang tidak kurang dramatis. Dikenal sebelumnya sebagai Wali Kota Davao, yang menyerukan solusi pembunuhan pelaku kriminal di luar jalur hukum untuk menekan angka kriminalitas.
Namun, sosok kontroversial ”main hakim sendiri” tersebut justru mengantarkan dirinya sebagai presiden, meraih suara 39 persen. Ia mampu menyingkirkan lawan-lawan politiknya yang berasal dari kalangan dinasti politik Filipina, seperti Manuel Roxas II ataupun Mary Grace Natividad Poe.
Paling kontroversial, kemenangan Donal Trump dalam Pemilu AS. Semenjak pencalonan hingga hari pemilihan suara yang berbuah kemenangan mengejutkan itu, sosok Trump kerap menebar komentar dan tindakan yang memancing permusuhan lawan-lawan politiknya.
Satu yang menonjol, ia berencana membangun tembok di perbatasan Meksiko untuk mencegah imigran legal memasuki AS. Ia juga bertekat mengusir para imigran keluar AS atau memenjarakan imigran tersebut.
Hasil pemilu menunjukkan, bagian terbesar pemilih (popular vote) di AS lebih banyak memilih pesaingnya, Hillary Clinton. Namun, pengusaha konglomerat AS itu diuntungkan oleh sistem pemilu di negara tersebut yang mendasarkan kemenangan calon presiden pada hasil penguasaan minimal 270 electoral college pada seluruh negara bagian di AS. Ia mampu menguasai electoral college dan menyingkirkan Hillary Clinton.
Hingga kini, ketiganya tengah disibukkan oleh berbagai persoalan negaranya masing-masing. Presiden Joko Widodo telah melalui tahun ketiga usia pemerintahannya. Presiden Rodrigo Duterte, semenjak pelantikan 30 Juni 2016, sudah menjalani 16 bulan pemerintahan. Sementara Presiden Donal Trump semenjak dilantik 20 Januari 2017 belum genap satu tahun usia pemerintahan yang ia lalui.
Menariknya, dalam kurun waktu usia pemerintahannya, ketiga pemimpin tersebut punya catatan penilaian warga yang berbeda-beda. Kinerja ketiganya membentuk tiga model kurva penilaian kepuasan publik yang saling bertolak.
Pertama, penilaian publik yang tergolong dinamis terjadi pada Presiden Joko Widodo. Dikatakan dinamis karena sepanjang usia pemerintahan yang ia lalui berbagai kondisi dihadapi, baik penurunan maupun peningkatan kepuasan publik. Beberapa saat setelah ia dilantik, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahannya mendapat apresiasi tinggi.
Kinerja ketiganya membentuk tiga model kurva penilaian publik yang berbeda.
Pada Januari 2015, misalnya, hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, tidak kurang dari 65 persen publik menyatakan ”puas”, sementara 35 persen lainnya menyatakan ”tidak puas”. Dengan kondisi tersebut, selisih antara ekspresi puas dan tidak puas (net rating) pemerintahan Joko Widodo tampak positif, sebesar +30 persen.
Pada bulan-bulan berikutnya, berbagai tekanan ekonomi, politik, ataupun kondisi penegakan hukum terhadap pemerintahan semakin menguat. Kenaikan harga BBM, polemik KPK-Polri, konflik sosial, seperti insiden kerusuhan dan pembakaran rumah ibadah di Tolikara, bentrokan di Singkil Aceh, menjadi persoalan yang membebani kinerja pemerintahan.
Upaya-upaya mereformasi ekonomi seperti memunculkan paket-paket kebijakan ekonomi hingga pergantian menteri kabinet yang dilakukan belum mampu mendongkrak kepuasan publik. Pada akhirnya hingga Oktober 2015, tingkat kepuasan publik merosot dan sebaliknya ekspresi ketidakpuasan meningkat.
Enam bulan kemudian (April 2016), kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo beranjak naik. Kali ini dua pertiga responden menyatakan rasa ”puas” mereka, jauh melampaui 33 persen yang merasa ”tidak puas”. Net rating pemerintahan melonjak sangat signifikan dari sebesar +8 persen menjadi +34 persen, melebihi kondisi di awal usia pemerintahan.
Pada periode-periode selanjutnya masih tergolong dinamis, terdapat fluktuasi penilaian. Setelah sempat agak menurun pada Oktober 2016 hingga April 2017, pada bulan-bulan berikutnya kembali terjadi peningkatan apresiasi. Penilaian terbaru pada Oktober 2017 menunjukkan, 71 persen responden menyatakan rasa ”puas” mereka terhadap kinerja pemerintah.
Sebaliknya, mereka yang merasa ”tidak puas” semakin mengecil, menjadi 29 persen, sekaligus merupakan proporsi terkecil sepanjang usia pemerintahan. Dengan kondisi tersebut, net rating melonjak menjadi +42, tertinggi semenjak kabinet pemerintahan terbentuk.
Rekam jejak kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Jokowi sepanjang tiga tahun terakhir membentuk kurva ”W”, yang menunjukkan fluktuasi penilaian. Kurva tersebut mencerminkan dinamika ekspektasi dan realisasi yang bersifat fluktuatif. Ekspektasi publik yang besar terhadap pemerintahan ini digambarkan saat awal mula terbentuk kabinet pemerintahan, sejalan dengan tingginya harapan publik bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo dapat menyelesaikan setiap problem bangsa ini.
Realisasinya, terkadang berjarak (gap) dan pada tahun-tahun awal pemerintahan menjadi semakin senjang. Namun, perjalanan waktu menunjukkan terdapat peningkatan kepuasan. Sekalipun bersifat fluktuatif, jika ditelusuri, garis tren peningkatan kepuasan terhadap kinerja pemerintahan cenderung bergerak positif hingga kini (Grafik).
Grafik ”Net Rating” Kepuasan Kinerja Presiden Joko Widodo, Rodrigo Duterte, dan Donald Trump
Kedua, penilaian publik yang paling tinggi terjadi pada Presiden Rodrigo Duterte. Sesaat setelah menjabat kursi kepresidenan, aksi kebijakan Duterte mampu memikat bagian terbesar masyarakat Filipina. Bahkan, jika dibandingkan dengan proporsi suara yang memilihnya, apresiasi publik diprediksi jauh lebih besar.
Sebagai gambaran, hasil survei berkala yang dilakukan Social Weather Station (SWS), lembaga survei opini publik tepercaya di Filipina, menunjukkan pada September 2016, tiga perempat bagian masyarakat menyatakan puas (satisfied) terhadap kinerja Duterte. Hanya 11 persen yang menyatakan dissatisfied. Dengan kondisi tersebut, net rating kepuasan Duterte sebesar +65 persen!
Semenjak menjadi Presiden, Duterte tidak mengendurkan aksi-aksi kontroversialnya. Ia tetap berperang terhadap narkoba dan menyatakan ”masih banyak yang akan dibunuh”. Ia justru mengecam keras pihak yang menentangnya dalam perang terhadap narkoba, mengecam dan menyebut ”orang gila” pada pihak asing, seperti anggota parlemen Eropa yang mengeluarkan resolusi kecaman pada tingginya jumlah pembunuhan di luar hukum di Filipina.
Demikian pula, Duterte coba memberlakukan kembali hukuman mati di Filipina, suatu produk hukum yang sudah dihapuskan sejak 2006. Para penentang hukuman mati, seperti rohaniwan Katolik Filipina, tidak digubrisnya.
Pada sisi lain, Presiden Duterte juga mengecam hubungan erat yang selama ini terjalin antara negaranya dan AS. Pada saat Presiden Barack Obama masih menjabat, Duterte berani mengecam dan mengatakan ”pergilah ke neraka, Obama”. Ia menganggap kehadiran tentara AS itu turut mendorong bangkitnya pemberontakan islamis Filipina dan telah mengumumkan rencana untuk membeli peralatan militer dari China. Ia kini lebih memilih mendekat ke China, yang dinilainya memiliki keunggulan militer di kawasan ini.
Duterte berani mengecam dan mengatakan ”pergilah ke neraka, Obama”.
Masih banyak kebijakan kontroversial Duterte. Terhadap pertambangan di Filipina, misalnya, ia mengkaji untuk melarang sepenuhnya pertambangan. Alasannya, demi penyelamatan dan pelestarian lingkungan negaranya, ia merasa sepadan untuk menutup 41 pertambangan dan membatalkan 75 kontrak pertambangan yang belum dijalankan.
Penerimaan sekitar 70 miliar peso per tahun (sekitar Rp 18 triliun per tahun) dinilainya tidak signifikan dibandingkan dengan kerusakan alam yang ditimbulkan. Sisi kontroversial lain, upaya Duterte memperluas akses pengadaan kontrasepsi bagi perempuan di Filipina, sebagai bagian dari pembatasan jumlah kelahiran di negara yang mayoritas beragama Katolik. Tindakannya ini jelas memantik persoalan bagi eksistensi gereja yang menganggap menggunakan kontrasepsi merupakan bentuk aborsi dan bertentangan dengan ajaran agama.
Hingga Juni 2017, publik Filipina masih terpukau dengan cara dan tindakan Duterte. Hasil survei SWS menunjukkan, net rating Duterte terus bertahan di atas +60 persen, yang dalam sistem pemeringkatan SWS derajat net rating sebesar itu masuk kategori very good.
Dalam sejarah penyelenggaraan survei opini publik yang dilakukan SWS di Filipina, prestasi Duterte tersebut sebenarnya pernah juga dicapai oleh beberapa presiden pendahulunya, seperti Corry Aquino (Maret 1987), Fidel Ramos (April 1993), Estrada (Maret 1999), dan B Aquino (Agustus 2012). Namun, semua bersifat pendek dan tidak bertahan lama. Duterte mampu memperpanjang tingkat kepuasan publik hampir setahun penuh semenjak ia dilantik.
Hanya, sayangnya akhir-akhir ini kini pamor Duterte mulai mendapat tekanan. Hasil survei terbaru SWS pada September 2017 menunjukkan net rating Duterte melorot, menjadi +48 persen. Mereka yang menganggap kinerja Duterte excellent hanya terfokus di kawasan Mindanao, tempat ia berasal. Sementara kawasan dan provinsi lain di Filipina, seperti Visayas, Luzon, dan Metro Manila, pamornya melorot dari very good menjadi good.
Pencapaian Duterte di mata warga Filipina sejauh ini memang tergolong spektakuler. Namun, penurunan apresiasi beberapa bulan terakhir ini mengindikasikan ancaman tren penurunan yang juga terjadi pada presiden-presiden Filipina sebelumnya. Semua presiden pendahulunya semenjak berkuasa hingga mengakhiri jabatannya dihadapkan pada tren penilaian publik yang menurun (negatif). Apabila Duterte tidak mampu membalikkan situasi dan kondisi penurunan semacam ini terus berlanjut, kurva apresiasi terhadap Duterte tidak banyak berbeda dengan pendahulunya.
Ketiga, penilaian publik yang paling rendah dan terus-menerus menurun terjadi pada Presiden Donald Trump. Pada akhir Januari 2017, sesaat setelah pelantikan Presiden Trump, hasil survei Gallup, institusi survei opini publik tepercaya di AS yang secara khusus mencermati kinerja presiden AS (job approval rating), menunjukkan 45 persen publik menyambut positif dan menyatakan approve terhadap kinerja Trump.
Namun, dalam proporsi yang sama (45 persen) justru menyatakan disapprove. Artinya, net rating Presiden Trump saat mengawali pemerintahannya 0 persen. Kondisi demikian menunjukkan dukungan dan pertentangan publik AS yang sama besar terhadap dirinya.
Dalam menjalankan pemerintahan, Presiden Trump tetap konsisten dengan komentar dan kebijakan-kebijakannya yang bersifat ofensif. Ia tetap bersikukuh untuk melarang masuknya warga negara dari tujuh negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, yaitu Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Yaman, dan Suriah.
Kebijakannya itu menimbulkan aksi protes dan membuat kegaduhan di beberapa bandara di AS karena adanya penumpang yang tertahan dan terancam dideportasi. Kebijakan proteksionis yang diterapkannya juga tecermin dalam upaya mewujudkan janjinya saat kampanye lalu dengan membangun dinding perbatasan dengan Meksiko sepanjang 2.092 kilometer.
Pada kesempatan lain, dengan tujuan membela kepentingan ekonomi AS, Presiden Trump memutuskan AS keluar dari Kesepakatan Paris yang bertujuan mengurangi efek rumah kaca. Ia bahkan menyatakan keluar saat itu juga dari kesepakatan internasional tersebut. Padahal, lazimnya, keputusan keluar tersebut berlaku empat tahun setelahnya. Keputusan tersebut mendapat kecaman internasional, termasuk Paus Fransiskus yang beranggapan akan berpengaruh besar pada kehidupan manusia.
Dalam gaya berkomunikasi, Presiden Trump pun mendapat banyak kecaman. Ia kerap memalingkan wajah tanda ketidaksukaan terhadap lawan bicara ataupun lawan politiknya. Terhadap Kanselir Jerman Angela Merkel, misalnya, di Gedung Putih Presiden Trump membuang muka dan menolak ajakan berjabat tangan. Komentar-komentarnya melalui Twitter berkali-kali memancing perdebatan publik, termasuk akhir-akhir ini dalam merespons aksi-aksi provokasi Korea Utara.
Presiden Trump pun mendapat banyak kecaman. Ia kerap memalingkan wajah tanda ketidaksukaan terhadap lawan bicara.
Tidak mengherankan jika semakin banyak pandangan minor publik AS terhadap performa Presiden Trump. Semenjak dilantik hingga bulan kesepuluh usia pemerintahannya, tren peningkatan ketidakpuasan semakin membesar. Hasil pencermatan Gallup menunjukkan penilaian paruh ketiga tahun ini rating persetujuan publik terhadap kepemimpinan Presiden Trump kembali melorot.
Kini hanya 37 persen yang menyatakan persetujuannya dan bagian terbesar, 57 persen, menyatakan ketidaksetujuan terhadap kepemimpinan Trump. Dengan kondisi tersebut, net rating Trump menjadi -20 persen. Menurut laporan Gallup, hasil kuartal ketiga penilaian Presiden Trump tersebut tidak hanya terendah di antara presiden AS sebelum, tetapi juga menjadi yang terendah sepanjang sejarah Gallup menyelenggarakan survei penilaian kinerja pemerintahan AS!
Ketiga kurva tersebut merupakan rekam jejak dari kinerja ketiga presiden yang sekaligus juga merepresentasikan sosok ketiganya. Terdapat kemiripan gaya kepemimpinan Presiden Duterte dan Trump yang cenderung ofensif dan temperamental, nyeleneh dalam diplomasi, berkomentar ceplas-ceplos, cenderung kasar, menebar ancaman, dan berani bertindak proteksionis dengan alasan demi kejayaan negerinya.
Singkatnya, dibandingkan dengan sosok-sosok presiden sebelumnya, mereka cenderung berada pada barisan outlier. Namun, sejauh ini, di mata warga negaranya, kedua sosok presiden tersebut memiliki nasib yang berbeda. Jika Duterte secara ekstrem banyak disukai, Trump berada pada ekstrem sebaliknya.
Di antara keduanya, Presiden Joko Widodo meretas jalan pemerintahan dengan gaya kepemimpinan yang berbeda. Kinerjanya pun dipandang berbeda. Apabila Duterte dan terlebih Trump tengah menurun, tiga tahun Presiden Joko Widodo melangkah, apresiasi publik jutru semakin merambat. (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas)