"Roller Coaster" Film Horor
Jika melongok film Indonesia dengan capaian fantastis jumlah penonton di atas 2 juta orang pada 2017, kita akan menjumpai deretan film horor mulai dari "Film Pengabdi Setan", "Danur: I Can See Ghosts", hingga "Jailangkung". Film-film ini sanggup memaku penontonnya di kursi bioskop bak "rollercoaster" yang membuat mereka berteriak sekaligus tertawa terbahak-bahak hingga akhirnya ketagihan dihantu-hantui.
Ketika orang lantas berbondong-bondong ke bioskop untuk melihat hantu, itu bukan fenomena aneh. Doktor di bidang psikologi sosial sekaligus pendiri dan Direktur Pusat Representasi Sosial Risa Permanadeli menyebut bahwa memperbincangkan hantu selalu mengasyikkan dan tak pernah membuat bosan. Kepercayaan terhadap hantu ini tak hanya di Indonesia, tetapi juga dijumpai di banyak kota di dunia.
Film menjadi salah satu media yang turut berkontribusi untuk mengingatkan bahwa ada jejak hantu di masyarakat. Sayangnya, menurut Risa, kebanyakan film horor menjual sensasi rasa takut dan membingkai hantu sebagai makhluk membahayakan. Padahal, jika dilihat dari budayanya, hantu di Indonesia sebagai bagian dari kepercayaan lokal tak selalu berupa sosok yang negatif, tetapi berwujud entitas sakral yang dihormati. "Hantu sekarang memperoleh kembali pengakuan tentang keberadaannya," kata Risa.
Apabila kita berkunjung ke bioskop dalam pekan ini saja, suguhan seperti Pengabdi Setan, Mereka yang Tak Terlihat, Hantu Sei Ladi, dan Ruqyah, dengan mudah bisa ditonton. Menyusul film horor lain sudah siap tayang, seperti Gasing Tengkorak, After School Horror 2, dan Mata Batin. Di antara begitu banyak kucuran film horor, film yang laris di pasaran adalah mereka yang diproduksi tidak asal-asalan.
Berbincang tentang film horor Indonesia saat ini tak akan lepas dari meledaknya Pengabdi Setan. Film ini sudah ditonton lebih dari 3,6 juta orang dan segera diputar di beberapa negara, seperti Jepang, Polandia, Amerika Latin, dan Malaysia. "Skenario sudah sepuluh tahun kubikin. Soalnya, sudah sepuluh tahun minta ke Rapi Films untuk remake film Pengabdi Setan," kata sang sutradara, Joko Anwar.
Setelah perjuangan 10 tahun, Joko tak main-main dalam membuat Pengabdi Setan. Ia betul-betul memperhatikan bagian art, sound, termasuk pemilihan pemain dengan menggelar workshop di setiap departemen, seperti riasan (make up), akting, seni (art), pencahayaan, dan kostum. Untuk menguatkan setiap karakter tokoh, Joko mengetes kamera per karakter. Begitu juga dengan pencahayaan harus sesuai dengan karakter tokoh tersebut.
Tiap-tiap workshop ini dilakukan dalam rentang lima bulan sejak skrip selesai ditulis Januari lalu. "Meeting sound sama musik saja dua bulan sebelum shooting. Begitu skrip selesai, meeting musik dan sound. Itu per adegan musiknya harus pas," kata Joko yang juga memberlakukan standar sama untuk film-filmnya yang lain, seperti A Copy of My Mind (2015) dan Modus Anomali (2012).
Kejutan manis
Produser film tersebut, Sunil G Samtani dari PT Rapi Films, merogoh kocek dalam-dalam untuk memproduksi Pengabdi Setan. "Sekitar tiga sampai empat kali lipat daripada biaya pembuatan film horor biasa. Sebelumnya, kami juga memproduksi sejumlah film bergenre horor. Tapi, tidak sampai sefenomenal ini," ujar Sunil.
Alokasi dana yang lebih besar, menurut Sunil, sudah menjadi konsekuensi logis dari upaya membuat film yang bagus. Setidaknya untuk mencari para pemain yang mampu bermain bagus dan total. Selain itu, dalam film Pengabdi Setan, biaya produksi yang cukup signifikan diperlukan untuk menciptakan set dan latar lokasi pengambilan gambar yang mendukung.
"Saya enggak menyangka sebelumnya. Apalagi kalau membandingkan di masa lalu film-film horor yang kami produksi paling- paling ditonton dalam kisaran 200.000 sampai 300.000 penonton. Kami juga senang film Danur sama-sama masuk box office. Tadinya saya tidak bisa membaca berapa besar sebetulnya jumlah penggemar film horor Indonesia. Saya sangat berterima kasih karena film kami bisa sampai dapat 13 nominasi di FFI," ujar Sunil.
Sama seperti Joko Anwar dan Sunil yang tak pernah membayangkan bahwa filmnya akan meledak di pasaran, sutradara Danur, Awi Suryadi, pun takjub hingga melompat-lompat ketika filmnya meledak di pasaran dengan jumlah penonton lebih dari 2,7 juta orang. Jumlah itu belum ditambah penonton di Malaysia dan Brunei. "Enggak kebayang booming. Belum pernah ada film horor yang semeledak ini sebelumnya. Sambutan luar biasa. Di atas ekspektasi kami semua. Enggak nyangka," kata Awi.
Jika Pengabdi Setan menyuguhkan cukup banyak hantu, seperti pocong, hadirnya kembali arwah orang mati, iblis yang bangkit dalam rupa seorang perempuan, dan mayat hidup alias zombie, film Danur menyajikan hantu perempuan mirip kuntilanak dan hantu anak-anak Belanda. Hantu perempuan bernama Mbak Asih ini sengaja tidak dikategorikan sebagai kuntilanak dan lebih dikenal lewat namanya. "Kami berusaha memanusiakan hantu. Ini konsep baru," ujarnya.
Di antara hantu-hantu seram yang sanggup membunuh orang di film Pengabdi Setan dan hantu yang sanggup menculik anak perempuan di film Danur, dua film ini juga sama-sama menampilkan adanya sosok hantu yang baik hati. Di film Pengabdi Setan, hantu baik hati itu adalah arwah si nenek, sedangkan hantu baik hati di Danur diwujudkan dalam rupa anak-anak lucu Belanda yang dikisahkan sebagai sahabat tokoh utama yang kisahnya bersumber dari kisah nyata yang dialami Risa Saraswati.
Menurut Risa Saraswati, MD Pictures adalah rumah produksi keempat yang menawari untuk mengangkat kisahnya ke layar lebar. Setelah sebelumnya beberapa kali menolak, akhirnya Risa menerima tawaran itu dengan beberapa persyaratan. Syarat tersebut, antara lain, anak-anak hantu Belanda tidak mau jika kisah kematian mereka diangkat ke layar lebar. "Saya tanya sama anak-anak, mereka pengin jadi apa kalau ditampilkan di layar ajaib. Kami ingin terlihat seperti pahlawan," ujar Risa.
Bikin ketagihan
Saat ini, Awi pun sedang mempersiapkan untuk membuat Danur jilid dua dengan judul "Maddah" yang juga bersumber dari novel kisah hidup Risa. "Saya pikir untuk kesiapan penonton kita, maunya film horor yang fun saja. Bisa ketakutan, tutup mata, dan kalau ada momen lucu bisa ketawa. Momen ngagetin enggak hanya takut, tapi bisa tertawa. Efek euforia kayak masuk rumah hantu atau bahkan naik roller coaster. Jadi, begitu mereka keluar bioskop terasa seru dan pengin share di media sosial," ucap Awi.
Tak hanya bagi penonton, memproduksi film horor ternyata juga membuat sang sutradara ketagihan. Secara sinematografi, film horor membutuhkan teknik penggarapan yang berbeda. Setelah menggarap film horor Badoet (2015), Awi jatuh cinta pada genre horor. "Proses membuat film horor jauh lebih fun. Banyak trik teknis yang perlu dipraktikkan di lapangan. Seru karena banyak yang perlu dipikirkan di lapangan dan di post production. Cukup nagih," ujarnya.
Selain cerewet mengenai detail saat pembuatan film, Joko pun sibuk mempromosikan Pengabdi Setan. Dia menstimulasi penonton untuk membuat poster, aplikasi hantu, hingga meme di berbagai media sosial tentang Pengabdi Setan. Sejauh ini setidaknya ada sekitar 2.600 meme terkait Pengabdi Setan yang, antara lain, dalam ragam tagar #PegabdiApa dan #IbuSudahBisa. "Soal tagar biasanya gue yang lempar untuk merayakan film ini. Juga untuk mempromosikan film karena film ini milik penonton," kata Joko.
Lebih lanjut Sunil menambahkan, memproduksi film, terutama bergenre horor, saat ini harus dilakukan secara hati-hati. Hal itu terutama lantaran tingkat ekspektasi penonton Indonesia yang sudah sedemikian tinggi. Mereka banyak terpapar informasi dan pilihan film horor luar negeri, terutama lewat internet dan media sosial. Masyarakat pencinta film horor di Indonesia jauh lebih menyukai film yang memang murni horor ketimbang ada tambahan unsur lain, macam komedi atau kehadiran pemeran perempuan cantik dan seksi, seperti pernah booming pada 1990-an.
Dimiskinkan
Berbicara tentang tontonan hantu di layar lebar, menurut Risa Permanadeli, sejauh ini masih berkisar tentang dunia imajiner yang dimiskinkan. Dilihat dari fenomena pasar, lanjutnya, produser lebih memandang hantu sebagai komoditas yang layak dijual tanpa melihat rumusan berdasarkan kenyataan. Demi kebutuhan jualan ini pula akhirnya kekayaan imajinatif dari kekayaan budaya Nusantara yang direpresentasi melalui personifikasi hantu seperti hilang.
"Yang mengecewakan, seluruh hantu kalau enggak pocong, ya, kuntilanak. Dimiskinkan. Perlu ada yang bikin catatan ingatan representasi alam semesta di mana kita hidup dan representasi itu lewat hantu," kata Risa Permanadeli yang selama beberapa tahun ini melakukan penelitian tentang hantu bersama seorang peneliti asal Perancis. Penelitian ini terutama pada sistem kepercayaan apa yang membuat seseorang percaya pada hantu dan dampaknya.
Padahal, jika ingin melongok ke budaya lokal, banyak sekali jenis hantu yang diceritakan turun-temurun dan biasanya sangat lokal. "Hantu waktu saya kecil memenuhi ruang imajinasi saya sebagai anak-anak. Generasi baru akhirnya hanya kenal hantu dari film, bukan lagi bagian dari ingatan kolektif kita sebagai orang Sunda, Jawa, atau Bali... di setiap tempat ada cerita hantu sebagai representasi dari pemikiran kultural masyarakat sekitar tentang alam semesta. Bukan sekadar makhluk menakutkan, melainkan ada sintesis masyarakat tentang approach mereka terhadap alam semesta," ujarnya.
Ketidakjelasan
Jika dilihat dari fenomena sosiologis, Risa Permanadeli menyebut ketidakjelasan dalam memandang hantu-termasuk yang dihadirkan dalam film horor- merepresentasikan ketidakjelasan dalam sistem bermasyarakat. Di Indonesia, film terkait hantu selalu dikaitkan dengan kenyataan bahwa masyarakat Indonesia adalah makhluk beragama dan hantu biasanya dijinakkan oleh kekuatan agama. Hantu dianggap selalu menggoda umat beragama untuk melakukan kesalahan.
"Di kita, evolusinya, kita enggak punya platform untuk meletakkan: Apa yang sebetulnya mau dipersoalkan dari kehantuan itu? Menurut saya, kita makhluk beragama iya, tapi klenik juga iya. Semuanya iya. Seluruh masalah hantu, selalu dikaitkan agama. Di lain sisi, kita beragama, tapi korupsi tinggi. Ketika bicara hantu, simbol agama dipakai lagi," kata Risa Permanadeli.
Lepas dari kritik tentang hantu dalam dunia film horor kita, masyarakat menemukan kesenangan baru dari ditakut-takuti di bioskop. Tingginya minat ini menjadi secercah harapan bagi bangkitnya genre film horor yang bermutu di Tanah Air.