logo Kompas.id
Lain-lainSejarahJalan Berliku Kerajaan ...
Iklan

SejarahJalan Berliku Kerajaan Tua Membangkitkan Eksistensi

Oleh
· 4 menit baca

Menilik sejarah masa lalunya, Jailolo sebagai sebuah kerajaan relatif dinamis dan cenderung berubah-ubah. Pernah menjadi bagian dari konfederasi Maluku Kie Raha (empat gunung) atau Fala Raha (empat rumah), Jailolo sebagai kerajaan perlahan menghilang seiring menguatnya pengaruh Ternate dan Tidore.Penobatan Haji Abdullah Syah pada 24 September 2003 menandai lahirnya kembali Kesultanan Jailolo di masa modern ini. Hal itu dilakukan seusai Abdullah Syah "ditemukan" setelah dilakukan pencarian selama sekitar 35 tahun. Proses setelah penobatan hingga masuk ke dalam wilayah keraton bagi sultan yang aslinya berasal dari Solo itu juga relatif panjang.Sepuluh tahun setelah penobatan atau hingga 2013, Abdullah Syah masih tinggal di kawasan pantai dalam wilayah Desa Lako Akediri. Mulai 2013, barulah sultan baru itu memasuki wilayah keraton. Namun, jangan bayangkan keraton seperti bentuk keraton yang biasa ditemui di Pulau Jawa. Keraton di Jailolo berupa bangunan serupa rumah tinggal dengan kamar-kamar besar yang dalam sejumlah sudutnya mirip gudang.Saat tim Kompas tiba, bagian dapur sedang direnovasi. Sejumlah lembaran seng membatasi sebagian wilayah keraton itu dengan jalan berkontur curam sebagai aksesnya yang relatif tanpa penunjuk dari pusat kota. Namun, warga tampaknya mengetahui lokasi keraton itu, terbukti saat seorang remaja berinisiatif jadi penunjuk jalan bagi tim Kompas.Hairudin menyebutkan, lokasi itu ialah bekas lahan milik warga. Setelah ditebus dengan sejumlah biaya, bangunan keraton itu mulai dibangun. "Dulu tanah di sini berlumpur, dalam sekali," ujarnya, Selasa (25/7), sembari menyebut sebagian batas tubuh orang dewasa sebagai ukurannya. Hairudin adalah jugugu atau Kepala Urusan Pemerintahan Kesultanan Jailolo. RZ Leirissa, dalam disertasinya, pada 1990 menyebutkan, hilangnya Kerajaan Jailolo pada permulaan abad ke-17 telah menghapus kenyataan bahwa di Maluku Utara pernah terdapat empat kerajaan (Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan). Akan tetapi, jauh sesudah itu pun, mitos empat kerajaan itu tetap hidup, terutama di kalangan bangsawan, sebagai kriteria interaksi dan sistem politik di antara kerajaan di Maluku sejak abad ke-17.Hal ini membuat Sultan Nuku dari Tidore, dalam istilah Leirissa, disebut "menciptakan" Raja Jailolo di sekitar tahun 1797 atau 1790. Ketidakjelasan asal-usul Raja Jailolo yang diadakan Nuku itu membuat keberadaan raja itu tidak sepenuhnya diterima di Maluku Utara, khususnya oleh kaum bangsawan.Ada versi menyebutkan Raja Jailolo yang diangkat Nuku itu merupakan salah seorang juru tulisnya. Namun, ada pula kemungkinan Raja Jailolo adalah seorang joququ atau kedudukan politik yang diberikan bagi keluarga tertentu dalam golongan bangsawan di Tidore.Leirissa juga menyebutkan, istilah Raja Jailolo yang kerap muncul dalam berkas pejabat Belanda antara 1797 dan 1832 tidak mengacu pada satu orang saja. Dalam periode itu, terdapat tiga orang yang menyandang gelar sebagai Raja Jailolo dan semuanya berasal dari satu keluarga.Raja Jailolo I yang diangkat Nuku pada 1797 adalah Mohammad Arif Bila. Ia memiliki beberapa anak. Kemudian, dua anaknya menyandang gelar raja setelah Mohammad Arif Bila meninggal pada 1807, yakni Kimelaha Sugi dan Hajuddin, dari pernikahan dengan seseorang yang tidak disebutkan namanya sebelum pindah ke Tidore pada 1783.Mohammad Arif Bila diketahui menikah lagi dua kali setelah berada di Tidore. Dalam sejumlah dokumen Belanda tercatat hanya Kimelaha Sugi dan Hajuddin yang meneruskan takhta ayah mereka. Kejadian itu menyusul pembuangan Kimelaha Sugi (Jou Kimelaha atau Mohammad Asgar sebagai Raja Jailolo II) dan Hajuddin beserta keluarga dan pengikut mereka ke Cianjur, Jawa Barat, pada 1832.Hajuddin, disebutkan Leirissa, pernah menjadi Raja Jailolo III mulai 1818 atau 1819 hingga 1825. Ia mengklaim dirinya sebagai "sultan seluruh Jailolo" dengan sebutan Syaifuddin Jehad Mohammad Hajuddin Syah.Tahun 1818 merupakan masa dibuangnya Raja Jailolo II ke Jepara oleh Laksamana Muda Byuskes di Ambon dalam rangka menanggulangi perlawanan Pattimura. Pada 1825, Raja Jailolo II pernah dikembalikan ke Maluku guna menjabat sebagai Sultan Seram sebelum dibuang ke Cianjur pada 1832 dan meninggal pada 1839 di Cianjur. Setelah Kerajaan Jailolo menghilang hingga republik ini berdiri, semangat sebagai Maluku Kie Raha kembali muncul. Kemunculan ini tak berbentuk monarki baru, tetapi sebagai penguatan kultur dan penemuan identitas diri sebagai satu kesatuan semangat masa lalu mempersatukan empat kerajaan.Namun, hingga kini masih ada pihak yang menolak upaya menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo ini. Hal serupa pernah dialami saat Sultan Nuku membangkitkan Kesultanan Jailolo.(Ichwan Susanto/Fransiskus Pati Herin/Ingki Rinaldi)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000