Lebih Baik Membeli atau Menyewa Rumah?
MEMBELI atau menyewa rumah terkadang kini menjadi dilema bagi anak-anak muda. Ketika ditanya, anak muda saat ini cenderung menunda pembelian rumah. Ada yang mengatakan lebih senang menyewa rumah meski sebagian lainnya jujur mengakui tidak punya dana untuk membayar uang muka pembelian rumah.
Apabila dicermati, ada beberapa keuntungan dari menyewa rumah. Misalnya, tidak perlu mengeluarkan dana besar untuk dapat menempati rumah atau apartemen. Beberapa pekerjaan juga membuat anak-anak muda tidak tinggal lama di sebuah kota. Jadi, menyewa rumah untuk sementara waktu menjadi solusinya.
Penyewa rumah juga tidak perlu membayar biaya lain, seperti Pajak Bumi dan Bangunan. Biasanya, pajak ini ditanggung oleh pemilik rumah. Sebagai penyewa, kita juga tidak perlu pusing dengan risiko penurunan harga properti.
Jika tidak cocok dengan kondisi rumah atau lingkungan sekitar, sebagai penyewa kita tinggal angkat kaki. Beberapa rumah atau apartemen juga dilengkapi perabot. Jadi, penyewa tidak perlu lagi membeli perabotan ketika masuk ke rumah sewaan tersebut.
Jika tidak cocok dengan kondisi rumah atau lingkungan sekitar, sebagai penyewa kita tinggal angkat kaki.
Sebaliknya, ada beberapa kelemahan ketika kita memutuskan untuk menyewa daripada membeli rumah. Dalam jangka panjang, uang yang dibayarkan untuk membayar sewa dapat saja cukup untuk membayar uang muka pembelian rumah. Apalagi, biasanya, harga sewa properti naik dari tahun ke tahun.
Pada suatu titik, membayar sewa rumah akan menghabiskan sebagian besar penghasilan kita. Karena hanya dengan menyewa rumah atau apartemen, kita sama sekali tidak memiliki aset tersebut. Sementara bagi pemilik, uang sewa yang kita bayarkan justru dapat untuk membayar cicilan rumahnya.
Hanya menyewa rumah atau apartemen, kita sama sekali tidak memiliki aset tersebut.
Bagaimana dengan keuntungan membeli rumah? Dalam jangka pendek, biaya menyewa rumah memang terlihat lebih kecil daripada membeli rumah. Akan tetapi, dalam jangka panjang memiliki rumah memberikan beberapa keuntungan.
Keuntungan itu antara lain adalah, meski bekerja berpindah-pindah, secara psikologis, kita mempunyai makna pulang ke sebuah tempat. Ada tempat yang dituju setelah melanglang buana.
Kepemilikan atas sebuah rumah juga membuat kita lebih percaya diri. Rumah adalah kebutuhan primer keluarga. Memiliki rumah, meski tidak besar dan masih mencicil di bank, secara psikologis menghadirkan rasa aman. Rumah juga aset yang nilainya semakin lama semakin bertambah.
Sebaliknya, ada juga kendala ketika kita hendak membeli rumah. Uang muka merupakan salah satu kendala besar ketika anak-anak muda hendak membeli rumah. Kendala lain adalah fluktuasi suku bunga perbankan.
Seolah menjadi rahasia umum, ketika bank sentral menaikkan suku bunga, perbankan cepat merespons dengan menaikkan suku bunga kredit, termasuk kredit pemilikan rumah (KPR). Sebaliknya, ketika bank sentral menurunkan suku bunga acuan, suku bunga kredit bank lebih lama penurunannya.
Sebaliknya, ketika bank sentral menurunkan suku bunga acuan, suku bunga kredit bank lebih lama penurunannya.
Suku bunga menurun
Apabila dianalisis, dalam setahun terakhir, sebenarnya anak muda lebih banyak kesempatan untuk membeli rumah. Bank sentral, misalnya, telah menurunkan suku bunga acuan hingga 4,25 persen. Di masa depan, bahkan ada tren penurunan suku bunga. Dampaknya, suku bunga kredit pemilikan rumah juga kelak akan menurun.
Berdasarkan data Bank Indonesia yang dipublikasikan pada pertengahan minggu ini, rata-rata bunga kredit perbankan nasional pada September sebesar 11,6 persen, turun dari bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 11,68 persen. Sementara Otoritas Jasa Keuangan mencatat pada Agustus lalu rata-rata suku bunga KPR di bank umum sebesar 10,22 persen turun 77 basis poin dari bulan sebelumnya.
Berdasarkan penelusuran di beberapa laman perbankan, beberapa bank saat ini memberikan tingkat suku bunga KPR berkisar antara 7 persen hingga 11,5 persen untuk tahun pertama. Untuk tahun selanjutnya, besaran bunga akan tergantung pada beberapa parameter, seperti tingkat suku bunga.
Kabar gembira lain adalah kebijakan baru pinjaman dari BI (loan to value/LTV). Sejak Agustus 2016, para pembeli properti secara kredit hanya diminta menyiapkan uang muka sebesar 15 persen dari aturan sebelumnya 30 persen untuk rumah pertama.
Andai kata harga apartemen di pinggiran Jakarta Rp 400 juta, pembeli cukup menyiapkan uang muka sebesar Rp 60 juta. Sisanya dapat diangsur melalui KPR atau kredit pemilikan apartemen (KPA).
Anak-anak muda pun berkesempatan memilih tenor pembayaran KPR dalam jangka sangat panjang, hingga 20 tahun. Jadi, jika mengambil KPR pada usia 29 tahun, cicilan akan selesai pada usia 49 tahun. Bank tentu tidak akan memberikan tenor cicilan hingga 20 tahun ketika usia debitor sudah mencapai 45 tahun. Ini merupakan salah satu keuntungan dari anak muda yang mengambil KPR lebih dulu.
Meski demikian, bank juga mempersyaratkan minimal penghasilan untuk mendapatkan kredit. Beberapa bank menetapkan syarat minimal penghasilan Rp 5 juta per bulan. Di sisi lain, harga sewa properti saat ini sekitar 8 persen per tahun dari harga properti. Ketika kita mengasumsikan suku bunga 8 persen, biaya sewa dengan biaya cicilan tidak berbeda jauh.
Mari kita hitung:
Asumsi harga properti: Rp 400 juta
Uang muka pembelian: 15 persen x Rp 400 juta = Rp 60
Utang bank: Rp 400 juta-Rp 60 juta = Rp 340 juta
Perkiraan cicilan per bulan dengan bunga 8,5 persen per tahun = Rp 2.429.905 per bulan.
Sementara itu, dengan asumsi sewa apartemen senilai Rp 400 juta dengan harga sewa 8 persen dari harga properti, biaya sewa sebulan sebesar Rp 2.666.666 atau Rp 32 juta per tahun. Dalam dua tahun, tanpa memperhitungkan kenaikan harga sewa, uang Rp 60 juta habis begitu saja untuk membayar sewa.
Uang Rp 60 juta habis begitu saja untuk membayar sewa.
Dengan demikian, berdasarkan asumsi-asumsi di atas, biaya cicilan KPR dengan biaya sewa tidak terpaut jauh. Perbedaan mendasar adalah, ketika menyewa, rumah atau apartemen tersebut tidak menjadi milik kita. Sementara dengan membayar cicilan KPR, lambat laun rumah tersebut menjadi milik kita.
Harga rumah ataupun harga sewa umumnya juga meningkat setiap tahun. Semakin lama menunda pembelian rumah, harga sudah semakin tinggi. Harga rumah di kota besar yang berkembang bahkan naik lebih dari 10 persen setiap tahun.
Apabila hari ini harga rumah rata-rata Rp 300 juta, lima tahun mendatang naik menjadi Rp 483 juta. Uang muka yang dibutuhkan lima tahun mendatang, jika aturan LTV masih 15 persen, sebesar Rp 144 juta.
Mengumpulkan uang muka
Kendala yang sering ditemui ketika hendak membeli rumah adalah jumlah uang muka. Ketika gaji awal, misalnya, Rp 7 juta, harus disiplin menyisihkan sekitar 25 persen gaji menjadi tabungan uang muka rumah. Ketika per bulan terkumpul Rp 1,75 juta, setahun terkumpul Rp 21 juta. Dengan demikian, sisa pendapatan untuk biaya hidup Rp 5.250.000.
Harus disiplin menyisihkan sekitar 25 persen gaji menjadi tabungan uang muka rumah.
Dana itu dapat juga ditempatkan pada deposito dengan tingkat suku bunga sebesar 4 persen per tahun atau reksa dana pasar uang dengan imbal hasil hingga 5 persen per tahun. Pada akhir bulan ke-12, terkumpul dana Rp 27.854.971 dengan asumsi bunga 5 persen per tahun.
Tahun selanjutnya, asumsikan gaji naik sebesar 7 persen menjadi Rp 7.490.000. Dengan menjaga biaya hidup tetap sebesar Rp 5.250.000, berarti porsi tabungan dapat ditingkatkan menjadi Rp 2.240.000 atau sekitar 30 persen dari gaji yang diterima.
Ditambah uang Rp 21 juta dari hasil pengumpulan tahun pertama, tempatkan dana itu pada deposito atau reksa dana pasar uang. Pada akhir tahun kedua, dana yang terkumpul akan menjadi Rp 49.579.036 dengan asumsi bunga 5 persen per tahun.
Tahun ketiga, diasumsikan ada kenaikan gaji sebesar 7 persen dari Rp 7.490.000 menjadi Rp 8.014.300. Jadi, porsi 30 persen dari Rp 3.434.700 sebesar Rp 2.400.000 per bulan merupakan alokasi untuk membeli rumah.
Dengan demikian, persiapan uang muka rumah terdiri atas hasil hingga akhir tahun kedua sebesar Rp 49.579.036 ditambah simpanan setiap bulan sebesar Rp 2.400.000. Maka, pada akhir tahun ketiga, dapat terkumpul dana Rp 81.584.846 dengan asumsi suku bunga sebesar 5 persen per tahun.
Pada tahun keempat, dengan asumsi serupa, yakni kenaikan gaji sebesar 7 persen, akan didapatkan gaji sebesar Rp 8.575.301. Alokasi dana sebesar 30 persen dari gaji untuk mencicil dana uang muka rumah sebesar Rp 2.572.590 per bulan. Seperti tahun sebelumnya, tempatkan dana pada deposito atau reksa dana pasar uang. Dari hasil tahun tiga sebesar Rp 81.584.846, ditambah simpanan bulanan sebesar Rp 2.572.590 membuat dana bertambah menjadi Rp 117.347.342.
Selanjutnya pada tahun kelima, upaya sama dilakukan. Jadi, kira-kira, didapatkan dana sebesar Rp 157.150.704.
Dengan demikian, apabila kita menyisihkan gaji sebesar 30 persen selama lima tahun secara disiplin, terkumpul uang muka rumah sebesar Rp 157.150.704. Dana sebesar itu kiranya juga cukup memadai untuk menjadi uang muka pembelian sebuah rumah.
Setelah kita berhitung, Anda pilih menyewa atau membeli rumah? Atau justru malah tertarik membeli mobil?