SURABAYA, KOMPAS — Jaringan Kampung Nusantara (Japung Nusantara), yang diinisiasi aktivis Redy Eko Prasetyo (38), sudah menghimpun hingga sekitar 50 kampung di seluruh Indonesia. Jaringan kampung sudah dimulai sejak 2009, ketika Redy mengadakan kegiatan Festival Kampung Cempluk di Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
”Jaringan kampung konsep yang tidak pernah ada sebelumnya. Tapi ini juga bukan gagasan yang rumit. Ini hanya gabungan dari bangkitnya kampung-kampung atau lingkungan kecil sosial di sekeliling individu, lalu bersama-sama membangkitkan sesuatu sebagai ikatan bersama, untuk menciptakan agenda apa saja yang diingink,” tutur Redy di Surabaya, Sabtu (18/11).
”Tidak harus dan tidak selalu tentang pariwisata atau ekonomi atau panggung kesenian, melainkan kampung sebagai komunitas pemberdayaan. Jika kampung berdaya, manusianya juga akan ikut berdaya. Berdaya dalam hal apa saja terserah warganya,” lanjutnya.
Ia mencontohkan Kampung Cempluk di Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, yang merupakan jejaring kampung rintisannya yang pertama. Pada awalnya, kampung ini termarjinalisasi akibat pesatnya pertumbuhan real estat di wilayah barat Kabupaten Malang ke arah Batu. Cempluk, yang dikenal sebagai daerah yang seolah terlupakan oleh zaman, pada waktu itu salah satu yang paling akhir mendapat sambungan listrik.
Masyarakat Cempluk terstigma sebagai masyarakat tanpa aliran listrik ada tahun 1990-an sehingga jadi bahan olokan. Selagi seluruh Malang sudah jadi kota, terang benderang, masa itu, 1993, Cempluk memakai lampu minyak tanah yang disebut cempluk oleh bahasa warga setempat.
Bentuk nyata Festival Kampung Cempluk pada kasus Kampung Cempluk dapat disamakan sebagai bentuk lain dari perayaan Agustusan warga saat merayakan proklamasi kemerdekaan. ”Mulanya begitu saja, hingga 4 kali penyelenggaraan dihadiri 4.000-an pengunjung. Dua hari pentas seni mahasiswa, disusul kesenian tradisi pemuda. Kini berkembang hingga pelaksanaan tahun ke-8 dengan bantuan publikasi dari forum Facebook dan Youtube, sebagai media yang sangat efektif saat ini,” ujarnya.
Melalui itu, komunitas kampung dari sejumlah daerah bertanya, mengunjungi, atau mengundang Redy yang dengan antusias melayani. Akhirnya, sejumlah festival kampung di penjuru Nusantara terbentuk. Ada di Madura yang bisa membangkitkan munculnya seni musik lokal yang lama hilang, yang menggunakan instrumen dari cangkang buah. Juga ada di Kalimantan Tengah yang mempersatukan enam suku di wilayah satu kampung itu.
Paling akhir di Borobudur, Jawa Tengah, atas inisiatif Kementerian BUMN di sekitar kampung setempat. Harapannya, bisa meluaskan wilayah pariwisata tidak hanya di Borobudur, tetapi juga melebar ke kampung-kampung terdekat.
Redy menegaskan, dirinya tidak terlibat langsung selain hanya memotivasi, memberi inspirasi. Saat ini sudah ada 50 kampung yang masuk Japung Nusantara.
Sejumlah aktivis pun hadir, termasuk penyanyi Trie Utami. ”Saat ini, setiap satu atau dua minggu rata-rata ada satu kampung atau lebih dalam jejaring Japung Nusantara yang melaksanakan festival kampung,” kata Redy.