logo Kompas.id
Lain-lainWajah Negara dalam Perut...
Iklan

Wajah Negara dalam Perut Seorang Tentara

Oleh
· 2 menit baca
Iklan

Puluhan cacing, termasuk satu cacing sepanjang 27 sentimeter, ditemukan menempel di saluran pencernaan tentara Korea Utara berpangkat sersan yang terluka parah saat berusaha menyeberang ke Korea Selatan. Selain cacing, tim bedah juga menemukan butir-butir jagung di dalam perut prajurit itu. Untuk membersihkan saluran pencernaan tersebut, tim dokter harus melakukan dua kali operasi. Ketua tim dokter bedah Lee Cook-jong, Jumat (17/11), mengatakan, kondisi saluran pencernaan tentara itu menunjukkan kondisi nyata kualitas gizi, kebersihan, dan sanitasi di wilayah Korut. "Sepanjang 20 tahun berkarier sebagai dokter bedah, baru kali ini ketemu kasus seperti ini," kata Lee.Tentara muda berusia sekitar 20 tahun itu bertugas di wilayah perbatasan Area Keamanan Bersama Perserikatan Bangsa- Bangsa di Desa Panmunjom. Ia diterbangkan ke rumah sakit, Senin lalu, setelah ditembaki tentara Korut saat menyeberang ke Korsel. Tiga tentara Korsel berusaha menyelamatkan prajurit Korut itu dengan merangkak dan menarik tentara ke bawah gerbang perbatasan. Kondisi isi perut tentara Korut itu memang belum tentu menggambarkan kondisi seluruh penduduk Korut. Namun, statusnya sebagai tentara perbatasan yang merupakan tentara-tentara pilihan tentu dapat menjadi acuan kondisi kekurangan gizi di Korut. Kalau tentara khusus saja seperti itu, lalu bagaimana kondisi warga biasa?Parasit, khususnya cacing gelang, kata para pengamat, banyak ditemui di Korut karena di sana orang kerap makan sayuran yang tidak dimasak. Saat penanaman, sayuran itu diberi pupuk kotoran manusia. Dahulu, 40-50 tahun lalu, cacing gelang juga banyak di Korsel. Namun, mulai jarang pada era 1980-an saat pupuk komersial meluas dan perekonomian meningkat. Kotoran manusia Ahli pertanian Korut yang memutuskan pindah ke Korsel pada 1995, Lee Min-bok, menjelaskan, pupuk kimia awalnya disediakan pemerintah sampai tahun 1970-an. Namun, sejak awal tahun 1980-an produksi pupuk kimia menurun. Pada era 1990-an, petani mulai memakai kotoran manusia sebagai pupuk karena pasokan pupuk dari pemerintah berhenti. Pada tahun 2014, pemimpin Korut Kim Jong Un juga meminta petani memakai kotoran manusia, hewan, dan kompos organik sebagai pupuk. Namun, karena jumlah hewan ternak sedikit, petani lebih banyak memakai kotoran manusia. Program Pangan Dunia PBB (WFP) menyebutkan, studi tahun 2009 menunjukkan tinggi badan anak balita di Korut, 13 sentimeter lebih pendek daripada balita di Korsel. Anak Korut juga 7 kilogram lebih ringan daripada anak-anak yang dibesarkan di Korsel. "Masalah utama Korut itu terbatasnya makanan. Mereka sering hanya makan nasi atau maizena, asinan (kimchi), dan pasta kacang. Tidak ada asupan lemak dan protein," kata WFP. (AFP/REUTERS/LUK)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000