JK, Melayu-Bugis, dan Jejak Literasi
LINGGA, KOMPAS -- Guna membangkitkan "batang terendam" dan kembali mengeratkan hubungan orang-orang Melayu yang ada di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan negara lain, sebuah perhelatan akbar berlangsung di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, Minggu (19/11) sore hingga sepekan ke depan.
Acara tersebut bernama Perhelatan Memuliakan Tamadun Melayu Antarbangsa. Wakil Presiden Jusuf Kalla berkenan hadir dan membuka acara tersebut. Di mata Kalla, budaya Melayu salah satu budaya dengan andil terbesar di negeri ini. Memang suku (bangsa) Melayu bukan masyarakat terbanyak di Indonesia, namun seluruh bangsa sepakat untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu.
"Hal seperti ini tidak terjadi di negara lain. Di Indonesia, budaya Melayu selalu menjadi salah satu pemersatu bangsa," tutur Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sambutannya saat membuka acara tersebut. Turut mendampingi Wapres kemarin sore, antara lain Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur, Gubernur Kepri Nurdin Basirun, Gubernur Jambi Zumi Zola, dan Bupati Lingga Alias Wello.
Tamadun, menurut Ketua Lembaga Adat Melayu Kabupaten Lingga Muhammad Ishak, berarti juga peradaban atau warisan tak benda maupun benda. Acara ini sekaligus menjadi pengingat warisan budaya dan peradaban yang sudah dikembangkan di masa Daik, Lingga menjadi pusat Kerajaan Lingga-Riau-Pahang-Johor selama 114 tahun dan setelah 1824 menjadi Kerajaan Lingga-Riau. "Bahasa Melayu dihaluskan di (Daik) Lingga, kemudian disempurnakan di (Pulau) Penyengat, kemudian menjadi bahasa Indonesia," ujar Ishak.
Acara Tamadun Melayu Antarbangsa ini berlangsung sampai 26 November dan diisi dengan berbagai kegiatan budaya antara lain seminar, festival Gunung Daik, dan lainnya. Perwakilan tokoh Melayu dari Malaysia, Thailand, Singapura, dan Brunei Darussalam pun hadir dalam acara ini. Acara ini sekaligus merayakan hari jadi ke-14 Kabupaten Lingga.
Sumpah setia
Sebelum membuka acara Tamadun Melayu Antarbangsa ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla mendapat gelar adat kebesaran "Sri Perdana Mahkota Negara" dari Lembaga Adat Melayu, di Balai Negara Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Wapres Kalla adalah pejabat negara pertama yang menerima gelar ini dari Lembaga Adat Melayu Kepri.
Ketua Lembaga Adat Melayu Kepri Datok Sri Setia Amanah Abdul Razak mengatakan, gelar Sri Perdana Mahkota Negara hanya diberikan kepada pejabat negara, tetapi akan tetap melekat kendati masa jabatan habis. Adapun Wapres Kalla menerima gelar ini karena dua sebab. Pertama, mengingat Sumpah Melayu Bugis yang terjadi pada masa kejayaan Kerajaan Lingga-Riau-Johor-Pahang. Selain itu, Wapres Kalla dinilai berperan menjadikan Sultan Mahmud Riayat Syah dari Kepri sebagai Pahlawan Nasional tahun ini.
Sumpah setia Melayu-Bugis ini pun ditandatangani Wapres Kalla seusai berpidato di pembukaan Tamadun Melayu Antarbangsa. Isinya, seperti disampaikan Kalla dalam pidatonya, "Jikalau tuan kepada Bugis, tuanlah kepada Melayu. Jikalau tuan kepada Melayu, tuanlah kepada Bugis. Dan jikalau musuh kepada Bugis, musuhlah kepada Melayu. Jikalau musuh kepada Melayu, musuhlah kepada Bugis. Dan barangsiapa mangkir, dibinasakan Allah sampai anak cucu."
Hubungan Bugis dan Melayu, menurut Kalla, sudah berlangsung sejak abad ke-16.
Oleh karenanya, kampung pertama memasuki Makassar melalui pelabuhan adalah Kampung Melayu. Pada abad ke-16, sudah ada sekitar 40.000 warga Melayu di wilayah Bugis sebagai syahbandar maupun bekerja di pemerintahan. Orang Melayu dinilai lebih memahami bahasa ketimbang orang Bugis. Sebaliknya, pada masa itu banyak pula orang Bugis di tanah Melayu Baik berdagang maupun sebagai lanun atau tentara. Akhirnya, kata Kalla, Bugis dan Melayu bersatu di Daik, Lingga. Salah satu penandanya adalah gelar adat kebesaran tersebut.
Penyerahan gelar adat kebesaran tersebut diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran. Surat keputusan penganugerahan gelar adat melayu dibacakan Raja Hafizah, sedangkan warkah anugerah Lembaga Adat Melayu Kepri dibacakan Datok Sri Setia Amanah Abdul Razak.
Tanda kebesaran adat berupa tanjak (penutup kepala), selempang, keris, dan warkah dipasangkan Ketua Lembaga Adat Melayu Provinsi Kepri Datok Sri Setia Amanah Abdul Razak. Sebelumnya, Wapres Kalla sudah mengenakan baju kurung hijau merah berpadu benang emas dan songket. Ny Mufidah pun mengenakan baju kurung berwarna serupa dan tudung manto.
Setelahnya, diselenggarakan acara adat bertepuk tepung tawar. Dalam acara ini, Datok Sri Setia Amanah Abdul Razak menyebarkan beras putih, beras warna kuning, dan birtih atau beras yang sudah digoreng di empat penjuru sebagai tanda penolak bala. Adapun tepung beras membentuk huruf lam seperti dalam lafaz La Ilaha Illallah (tiada Tuhan selain Allah).
Jejak literasi
Sejarah panjang pertautan budaya Melayu-Bugis setidaknya terlihat dari jejak literasi yang terpatri sejak abad ke-19. Di pulau yang terletak 1,5 kilometer arah barat Tanjung Pinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Riau, pusat peradaban Melayu-Lingga berkembang. Aktivitas intelektualitas di sana, memberi sumbangsih berupa bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia.
Pada peringatan Hari Pers Nasional di Kepulauan Riau pada 5-9 Februari 2015, Ketua Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau Abdul Razak, menegaskan bahwa semasa abad ke-19 hingga ke-20, Pulau Penyengat merupakan pusat pembinaan dan pengembangan bahasa Melayu secara modern yang pertama. Di Pulau Penyengat, terbangun enam pilar bahasa, yakni bentukan kata (morfologi), makna kata (semantik), asal-usul kata (etimologi), kamus, tata bahasa, dan ejaan, serta pelajaran bahasa. Dosen Universitas Maritim Raja Ali Haji, Abdul Malik, dalam forum konvensi, memaparkan, Pulau Penyengat yang merupakan pusat Kesultanan Riau-Lingga abad ke-19 sampai awal abad ke-20, menjadi pusat budaya tulis-menulis.
Kala itu, aktivitas literasi amat dimuliakan oleh Kesultanan. Para pembesar istana merasa hidupnya belumlah lengkap bila belum menghasilkan karya tulis, mencakup sastra, hukum, agama, dan lain-lain.
Adalah Raja Ali Haji (1809-1873) paling masyhur di antara kaum intelektual Riau-Lingga kala itu. Raja berdarah Bugis itu menulis puluhan buku. Dua buku dalam bidang bahasa (Melayu) yakni Bustanul Katibin (1850) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858), merupakan perintis bidang linguistik.
Menurut Malik, karya Raja Ali Haji paling menonjol ialah karya bidang filsafat yang membaur dengan puisi Gurindam Dua Belas (1847). Puisi yang diabadikan dalam prasasti di kompleks makam raja-raja Riau-Lingga itu berisi banyak ajaran budi pekerti, termasuk dalam berbahasa dan berperilaku. ”Bahkan, sampai pada urusan penegakan hukum,” ujar Malik.
Di laman Wikipedia disebutkan, Gurindam Dua Belas merupakan salah satu puisi Melayu lama yang ditulis dan diselesaikan di Pulau Penyengat pada tanggal 23 Rajab 1264 Hijriyah atau 1847 Masehi pada saat Raja Ali Haji berusia 38 tahun.
Sejarawan Mukhlis Paeni selaku anggota komite penasihat internasional Memory of The World di bawah naungan UNESCO, kala itu, mengemukakan usulan agar karya kesusastraan Raja Ali Haji di Pulau Penyengat diakui sebagai warisan dunia. ”Tahun 2015 ini akan diusulkan ke UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa) keseluruhan karya Raja Ali Haji dan keunikan Pulau Penyengat,” ujar Mukhlis.
Mukhlis menilai, pada masanya, kiprah Raja Ali Haji mencerminkan fenomena unik di Nusantara. Pada era yang sama, seorang perempuan Bugis berdarah Melayu di Sulawesi Selatan, Ratna Kencana Colliq Pujie, juga mengkaji dan mengembangkan karya sastra I La Galigo yang kini tercatat dalam Memory of The World.
”Ini menandakan masa itu terjadi pertautan darah intelektual antarsuku dan bersemi pada lapisan bangsawan,” kata Mukhlis, yang juga Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia.
Setidaknya, kolaborasi Melayu-Bugis telah menorehkan sejarah kesusastraan di Tanah Air, pencapaian yang lekat dengan dunia literasi.
(INA/NAR)