JAKARTA, KOMPAS — Indeks kemudahan berbisnis DKI Jakarta 2017 turun dua peringkat dibandingkan dengan 2015. Kondisi ini akan membuat daya tarik Jakarta di mata investor menurun sehingga investasi berpotensi menyusut. Dampak lanjutannya, penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta bakal menipis.
Hal itu terungkap dari penelitian yang dilakukan Asia Competitiveness Institute (ACI) terhadap 925 perusahaan yang ada di 34 provinsi di Indonesia pada 2017, yang dipaparkan pada Selasa (21/11). Dalam penelitian itu, ada tiga hal yang dipilih ACI untuk menentukan indeks kemudahan berbisnis dari suatu daerah, yaitu hal yang menarik bagi investor, keramahan bisnis, dan kebijakan yang kompetitif.
DKI Jakarta menduduki peringkat ke-4 dengan raihan nilai 1.325 terkait indeks kemudahan berbisnis. Peringkat pertama diduduki Jawa Timur dengan skor 1.795. Sementara Jawa Barat dan Jawa Tengah menyusul di bawahnya. Mulya Amri, peneliti dan Wakil Direktur ACI, menyatakan, penurunan yang dialami DKI Jakarta terjadi karena lambat dalam merespons bisnis yang berkembang dan kebijakan yang kurang kompetitif.
DKI Jakarta menduduki peringkat ke-4 dengan raihan nilai 1.325 terkait indeks kemudahan berbisnis. Peringkat pertama diduduki Jawa Timur dengan skor 1.795. Sementara Jawa Barat dan Jawa Tengah menyusul di bawahnya.
Dilihat dari kategorinya, DKI Jakarta mengalami penurunan pada dua kategori, yaitu hal yang menarik bagi investor dan keramahan bisnis. Dibandingkan tahun 2015, DKI Jakarta turun ke peringkat ke-3 dari semula peringkat pertama untuk kategori kemenarikan bagi investor. DKI Jakarta kalah dari Jawa Barat dan Jawa Timur yang menduduki peringkat ke-1 dan ke-2.
Sementara itu, DKI Jakarta turun dari peringkat ke-2 menjadi peringkat ke-7 untuk kategori ramah bisnis. Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan DI Yogyakarta secara berurutan menduduki peringkat ke-1 hingga ke-3 untuk kategori tersebut.
Kondisi kemudahan berbisnis Jakarta berbanding terbalik dengan kemudahan berbisnis Indonesia yang dikeluarkan Bank Dunia. Secara nasional, kemudahan berbisnis Indonesia naik dari peringkat ke-91 pada 2016 menjadi ke-72 pada 2017.
Co-Director ACI Tan Kong Yam mengatakan, indeks kemudahan berbisnis dibuat dengan mewawancarai pimpinan 925 perusahaan di 34 provinsi di Indonesia, yang menjadi obyek penelitian mereka. ”Kami menerima keluhan-keluhan dari para pengusaha yang menjadi obyek penelitian kami,” kata Yam.
Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute Wendy Haryanto menuturkan, sejak 2008, belum ada inovasi terkait perizinan dalam kemudahan berbisnis. Pengusaha harus menempuh 17 tahapan birokrasi untuk mendapatkan izin usaha. ”Untuk IMB (izin mendirikan bangunan) saja bisa sampai dua tahun, bahkan ada yang lima tahun,” ujar Wendy.
Ia menambahkan, masalah perizinan menjadi hal utama yang dikeluhkan pengusaha. ”Perizinan yang terlampau rumit ini perlu disederhanakan. Apabila tidak, investor atau pengusaha jadi semakin enggan untuk memulai usahanya,” ucap Wendy ketika menjelaskan menurunnya indeks kemudahan berbisnis di Jakarta dari segi properti.
Perizinan yang terlampau rumit ini perlu disederhanakan. Apabila tidak, investor atau pengusaha jadi semakin enggan untuk memulai usahanya.
Wendy menyebutkan, memang tidak mudah mengubah sistem birokrasi di Jakarta. Hal lain yang membuat perizinan lambat, menurut dia, adalah kurangnya kualitas sumber daya manusia dalam pengurusan perizinan.
”Banyak petugas yang masih belum begitu paham soal perizinan. Harus terbentuk kesepahaman antarsektor supaya perizinan ini bisa menjadi semakin lancar dan pada akhirnya bisa memangkas waktu pembuatan perizinan,” lanjutnya. (DD16)