Nama
Nama ialah kata atau frasa yang dipakai untuk menyapa atau menandai sesuatu, seseekor, atau seseorang. Nama diberikan oleh yang (merasa) berhak atas apa atau siapa yang akan dinamainya.
Ada yang menganggap makna nama itu tidak penting. Ini diungkapkan dalam Romeo and Juliet Shakespeare:
Apalah arti sebuah nama.
Mawar sekuntum
disebut apa jua pun,
ya tetap harum.
Namun, ada juga yang menganggap nama dan makna yang dikandungnya penting sekali. Bahkan, nama adalah doa. Orangtua yang menamai anaknya ”Pangarso” berharap bahwa kelak anaknya itu akan menjadi seorang pemuka atau pemimpin. Orangtua yang menamai anaknya ”Kurnia” bukan saja bersyukur atas anak yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, tetapi juga berdoa agar Tuhan berkenan menjadikannya jalan bagi hadirnya kasih karunia Tuhan kepada banyak orang lainnya.
Nama juga dapat mencerminkan nasionalisme. Di tahun 1960-an, di masa Orla, ada penggantian nama-nama asing orang-orang Indonesia dan tempat-tempat di Indonesia dengan nama padanannya, yang mengesankan kebangsaan Indonesia. Nama gedung bioskop ”Rex” di Jalan Tugu Kidul (sekarang Jalan Mangkubumi) di Yogyakarta diganti menjadi ”Ratih”. Beberapa nama hotel juga ”diindonesiakan”. Hotel ”Des Indes” dan ”Ambassador” di Jakarta dinamai-ulang berturut-turut menjadi ”Duta Indonesia” dan ”Aryaduta”. Hotel ”Du Pavilion” di Semarang di-”jenang-abangkan” menjadi ”Dibya Puri”. Nama anak yang kemudian tumbuh menjadi aktivis, ”Su Hong Djien”, diganti menjadi ”Arief Budiman”.
Itu semua baik-baik saja sebab sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda, lagi pula hanya berupa imbauan dan tidak dipaksakan. Kwik Kian Gie ya tetap Kwik Kian Gie, dari dulu sampai sekarang. Jago bulu tangkis, Liem Swie King, juga tidak mengindonesiakan namanya.
Sayang, kebiasaan yang baik untuk memilih nama Indonesia ketimbang nama asing itu sekarang sudah pudar. Nama-nama asing kembali bermunculan. Pemberian nama asing itu tidak saja dilakukan perusahaan swasta, tetapi juga lembaga pemerintah. Misalnya, ada piagam/kusala yang disebut ”National Young Investors Award”. Apakah sebutan ”Hadiah Penemu Muda Nasional” (Hapendanas) kalah keren? Juga ada semacam komunitas atau kelompok studi yang pengurusnya bertempat-tinggal di Yogyakarta, yang disebut ”Medang Heritage Society”. Kalau nama Inggris ini dimaksudkan untuk memudahkan komunikasi dengan mitra-mitra bestari di negara-negara lain, ya baiklah. Namun, sebaiknya ada (dan dipakai!) nama Indonesia-nya, misalnya: ”Masyarakat Warisan Budaya Medang”.
Demikian pula, bandara yang sedang dibangun di Kulon Progo sebaiknya diberi nama Indonesia. Untuk promosi pariwisata boleh-boleh saja nama ”NYIA” (”New Yogyakarta International Airport”) terus dipakai, tetapi akan lebih baik kalau ada pula nama Indonesianya. Tanggal 10 November kita memperingati Hari Pahlawan. Apakah tidak sebaiknya bandara di Kulon Progo itu diberi nama pahlawan atau tokoh nasional yang juga putra/putri Yogyakarta? Bagaimana dengan ”Bandara Diponegoro”? Atau ”Bandara Dorodjatun”? BRM Dorodjatun adalah nama kecil Sri Sultan HB IX. Bandara-bandara lain lazimnya juga diberi nama pahlawan atau tokoh besar, seperti Soekarno-Hatta, Achmad Yani, Adisutjipto, JFK (New York), Charles de Gaule (Paris), Aquino (Manila). Tentulah yang lebih berhak menentukan nama itu warga DIY. Dulu penggantian nama gedung bioskop dari ”Rex” menjadi ”Ratih” disayembarakan oleh harian Kedaulatan Rakyat. Bagus juga—saya kira—kalau nama bandara di Kulon Progo itu disayembarakan di kalangan warga DIY, misalnya oleh Pemprov DIY, atau oleh Angkasa Pura II.
L WilardjoFisikawan, Tinggal di Salatiga