Masyarakat Sipil Jadi Tumpuan Perwujudan HAM
JAKARTA, KOMPAS – Pergerakan mengenalkan hak asasi manusia melalui akar rumput dinilai sebagai cara yang tepat. Hal diperlukan untuk mencegah ancaman intoleransi dan diskriminasi yang semakin besar pada tahun politik.
Di sisi lain, pemerintah yang seharusnya mengambil peran terkait isu hak asasi manusia (HAM), justru masih terfokus pada masalah ekonomi.
Ketua Badan Pengurus Amnesty Internatinal Indonesia (AII), Todung Mulya Lubis, mengatakan, saat negara gagal fokus, gerakan lokal adalah kunci untuk mempulerkan isu HAM. Gerakan lokal melalui masyarakat sipil dinilai bisa meningkatkan pengetahuan tentang HAM yang rendah.
Menurut Todung, seharusnya tidak ada kelompok yang bisa meminta lebih istimewa. "Kita semua punya tempat yang sama," kata Todung , Senin (4/12), di HDI Hive, Kantor AII, Menteng, Jakarta Pusat.
Namun, di era media sosial dengan mudah mengatakan membunuh orang lain dengan mudah. "Menghina juga sering terjadi pada gender tertentu. Padahal semua punya hak untuk dapat keadilan,” kata Todung.
Pergerakan HAM itu harus mengarah ke bawah terlebih dahulu. Bila masyarakat sudah sadar akan hak semua warga, tidak akan ada lagi intoleransi dan diskriminasi yang terjadi.
Anggota Dewan Pengurus AII, Robertus Robert mengatakan, pergerakan HAM itu harus mengarah ke bawah terlebih dahulu.
Hal itu untuk meningkatkan taraf pemikiran masyarakat yang masih terpengaruh pandangan kebudayaan lama, yang mengarah pada agama. Bila masyarakat sudah sadar akan hak semua warga, tidak akan ada lagi intoleransi dan diskriminasi yang terjadi.
Warga juga bisa lebih kuat dalam berhadapan dengan negara. Apalagi, bila ada yang mencoba menghapuskan dimensi hak yang dimiliki. “Persatuan suku dan agama bisa lebih terjaga dari ancaman siapa pun,” kata Robert.
Pergerakan masyarakat menegakkan HAM pun menjadi hal yang penting. Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid, mengucapkan, gerakan masyarakat harus dimarakkan untuk mayoritas yang selama ini diam. “Jangan sampai mereka dirangkul oleh kelompok yang mempromosikan intoleransi,” tuturnya.
Menurut Usman, politik identitas akan semakin menguat di daerah. Hal itu akan jadi bahan bakar praktek intoleransi. Salah satu indikatornya adalah ujaran kebencian yang semakin marak di media sosial (medsos).
Ancaman menguatnya politik identitas berdalih agama menghasilkan intoleransi dan diskriminasi pada minoritas.
Ancaman menguatnya politik identitas berdalih agama menghasilkan intoleransi dan diskriminasi pada minoritas.
“Ke depan, hal ini bisa jadi pemecah yang bisa berakibat panjang. Politik identitas ini merupakan ladang subur yang bisa dimanfaatkan oleh pencari kandidat Pilpres dan Pilkada mendatang,” ucapnya.
Ditambah, sebentar lagi, Indonesia akan menghadapi tahun politik. Pada 2018, akan ada Pilkada serentak di 171 daerah. Dilanjutkan 2019 dengan Pilpres. Menurut Usman, bila tidak ada pendidikan pada akar rumput, potensi intoleransi dan diskriminasi bisa kembali terulang.
Seperti di Pilkada DKI Jakarta. Saat itu, dinilai Usman, Basuki Tjahaja Purnama sebagai calon gubernur pertahana mendapat serangan politik identitas dari lawannya. Isu-isu keagamaan dan suku kerap dihembuskan untuk mengambil alih pemimpin.
Ancaman HAM pun semakin nyata. Pada survei yang dirilis BPS, indeks demokrasi Indonesia pada 2016 mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Nilai demokrasi mengalami penurunan 2,73 poin, dari 72,82 ke 70,09.
Ada penurunan pada kebebasan berpendapat dan berkeyakinan, berpolitik, dan pemilihan umum yang bersih dan adil.
Indeks itu mencakup aspek kebebasan sipil , hak-hak politik, dan lembaga demokrasi. Ketiga aspek itu mengalami penurunan. Data itu menerjemahkan, ada penurunan pada kebebasan berpendapat dan berkeyakinan, berpolitik, dan pemilihan umum yang bersih dan adil.
Fokus pemerintah
Menurut Dewan Pertimbangan Presiden, Sidarto Danusubroto, pemerintah memang punya agenda untuk menyelesaikan masalah HAM. Namun, hal itu terkendala pada isu ekonomi yang saat ini begitu penting. “Kalau dibandingkan kasus HAM masa lalu, ekonomi saat ini lebih jadi prioritas pemerintah,” ucapnya.
Presiden Joko Widodo belum menunaikan janjinya saat kampanye lalu. Saat itu, ia berjanji akan menyelesaikan kasus HAM masa lalu, namun fokusnya sekarang tersedot ke ekonomi.
Menurut Usman, Presiden Joko Widodo belum menunaikan janjinya saat kampanye lalu. Saat itu, ia berjanji akan menyelesaikan kasus HAM masa lalu. Akan tetapi, fokusnya sekarang memang tersedot ke ekonomi.
Meski begitu, masifnya pembangunan infrastruktur untuk peningkatan ekonomi pun diapresiasi Usman. Namun, dari sisi lain, pemerintah juga harus memerhatikan pertumbuhan ekonomi tidak melanggar HAM. Seperti yang terjadi di berbagai daerah. Contohnya, kasus reklamasi di Tanjung Benoa, Bali.
Pemerintah berencana meningkatkan pariwisata dengan reklamasi di Tanjung Benoa. Namun, masyarakat Bali tidak mendukung hal itu.
Sebanyak 39 desa adat, agamawan, mahasiswa, pemuda, budayawan, musisi dan lembaga swadaya masyarakat menilai reklamasi akan mematikan ekosistem mangrove. Selain berujung pada kematian flora dan fauna, banjir bisa juga terjadi.
Namun, penolakan itu berujung upaya kriminalisasi pada aktivis tolak reklamasi. Pada Agustus 2016, I Wayan Suardana dilaporkan ke Polda Bali dengan tuduhan pencemaran nama baik.
“Awalnya ingin menaikkan ekonomi. Namun, berujung pada pelanggaran hak asasi. Meski izin reklamasi itu sejak zaman Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi Jokowi tidak bisa lepas dari tanggung jawab dalam penyelesaian konflik,” sebut Usman.
Kamisan 517
Pada, Kamis (7/12) AII akan mulai secara resmi meluncurkan gerakan “Join Forces”. Gerakan itu bertujuan untuk menyatukan masyarakat dalam menuntut pemerintahan menuntaskan penegakkan HAM masa kini dan masa lalu.
“Peluncuran ini akan bertepatan dengan Aksi Kamisan ke-517. Pemilihan hari itu, untuk mewakili perasaan kami terhadap keluarga korban HAM masa lalu yang belum dapat kejelasan. Pada tanggal 10 juga kebetulan merupakan hari HAM Internasional,” kata Usman.
Salah satu yang akan hadir pada Kamisan itu adalah orangtua dari Ucok Munandar Siahaan. Ucok hilang pada 14 Mei 1998, dan belum ada kejelasan tentang nasibnya sampai hari ini.
Ayah Ucok, Paian Siahaan berharap ada bentuk keseriusan dari pemerintah untuk menjelaskan nasib anaknya.
“Buat kami yang sudah tua sangat penting. Tidak apa-apa bila pemerintah mengatakan Ucok sudah meninggal. Kami hanya butuh kejelasan untuk bisa melakukan proses agama dan mendoakannya. Kalau kami mendoakan tetapi dia masih hidup di tempat lain bagaimana?” ucapnya. (DD06)