JAKARTA, KOMPAS — Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur 2015 di Myanmar, Presiden Joko Widodo menegaskan tekadnya menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Fakta sejarah membuktikan, sebenarnya bangsa ini sejak dulu sudah jadi poros maritim dunia.
”Terlalu lama kita berpaling dari laut. Kita perlu membangun lagi budaya kelautan kita,” kata Mantan Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajuda, Rabu (13/12). Ia berbicara dalam diskusi ”Melihat ke Lautan, Memperingati 60 Tahun Deklarasi Djuanda” yang digelar Jaringan Masyarakat Negeri Rempah & Marine Heritage Gallery di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Kebesaran bangsa ini tecermin dari eksistensi Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 hingga ke-12 yang mampu mengontrol dua jalur transportasi laut besar, yaitu Selat Malaka dan Selat Sunda. ”Selain menguasai dua selat, Sriwijaya juga telah berhubungan dengan bangsa-bangsa di luar, seperti China, India, dan Timur Tengah,” ujarnya.
Periode abad ke-7 hingga ke-12 merupakan masa keemasan peradaban laut Nusantara. Pada masa inilah rempah Nusantara mengalami masa kejayaannya.
Perkapalan
Menurut arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Naniek Harkantiningsih, dalam penelitian kapal-kapal karam sering kali ditemukan batu pipisan penggilas rempah. Artinya, kapal-kapal itu juga membawa muatan- muatan rempah untuk diperdagangkan.
Jejak kejayaan maritim Nusantara juga tampak dari penemuan reruntuhan artefak perahu kuno di tepi Sungai Lematang, Sumatera Selatan. Bahkan, di relief Candi Borobudur juga terpahat gambar kapal besar berhaluan tinggi dengan dua layar, bercadik, berkemudi, dan mampu memuat 100 orang. ”Relief kapal Borobudur sudah ada sejak sekitar abad ke-8. Pada saat itu, orang-orang Kunlun atau orang- orang Asia Tenggara sudah berlayar sampai China,” ujar mantan Ketua Umum Ikatan Ahli Arkeologi, Junus Satrio Atmodjo.
Jejak kemaritiman Nusantara juga dibuktikan dengan penemuan kawasan permukiman di pesisir timur Jambi. Di sana ditemukan 65 situs yang diduga berasal dari abad ke-11 hingga ke-13. (ABK)