Orangtua Anak Sindrom Down Berharap Pemerintah Lebih Terlibat
JAKARTA, KOMPAS – Orangtua anak dengan sindrom down (down syndrome) mengharapkan pemerintah lebih terlibat dalam membantu tumbuh kembang anak secara optimal.
Saat telah berbuat maksimal mengasuh dan mendidik anaknya, orangtua masih menghadapi banyak keterbatasan terkait tempat terapi, sekolah atau pendidikan formal, pengembangan bakat dan pemulihan kepercayaan diri, serta kegiatan positif lain setelah anak-anak tamat sekolah.
Hal itu disampaikan perwakilan orangtua dari Persatuan Orangtua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) ketika berkunjung ke Kantor Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Jumat (15/12) sore.
Pemerintah Indonesia belum memberikan perhatian yang baik dan serius dalam membantu anak-anak dengan sindrom down. Meski berbagai pendekatan sudah dilakukan, aksi nyata pemerintah belum terlihat.
Pemerintah belum memberikan perhatian yang baik dan serius dalam membantu anak-anak dengan sindrom down. Meski berbagai pendekatan sudah dilakukan, aksi nyata pemerintah belum terlihat.
Hadir dalam kunjungan tersebut adalah Ketua I POTADS Aryani Saida, Sekretaris Umum Olivia Maya, dan Sekretaris II sekaligus Ketua Rumah Ceria Down Syndrome (RCDS) Oom Komariah. Ketiga ibu itu didampingi I Putu Suryanegara (Pembina) dan Ferby Latif (Ketua Pengawas) POTADS.
Mereka mengatakan, anak-anak dengan sindrom down sering ”disembunyikan” oleh orangtua atau masyarakat karena menganggapnya sebagai sebuah kutukan. Banyak dokter di rumah sakit juga tidak memberikan pengertian yang baik tentang orangtua yang melahirkan anak dengan gejala sindrom down.
Akibatnya, anak-anak berkebutuhan khusus itu tidak mendapat penanganan yang baik atau perlakuan yang pantas di masyarakat.
Orangtua sering kali bingung saat akan mengasuh anak berkebutuhan khusus itu karena tidak ada tempat untuk bertukar pikiran. Anak-anak itu sering dipandang sebagai kesalahan orangtua, akibat faktor keturunan, dan pandangan negatif lain.
Kalau anak-anak sindrom down ditangani dan diperlakukan sebagai anak normal, seperti disapa, diajak berbicara, dan ragam-ragam komunikasi lainnya, mereka bisa bangkit.
Padahal, kata Olivia, kalau anak-anak ini ditangani dengan benar dan diperlakukan sebagai anak normal, seperti disayang, disapa, diajak berbicara, dan ragam-ragam komunikasi lain, mereka kelak akan bisa bangkit dan bahkan bisa berprestasi.
”Mereka akan merasa lebih berarti jika ada penerimaan yang baik di masyarakat,” lanjutnya.
Untuk menjawab berbagai persoalan dan kegelisahan orangtua anak dengan sindrom down serta cara menanganinya, orangtua secara mandiri telah mendirikan sebuah wadah bernama POTADS pada 2000, yang kemudian menjadi sebuah yayasan pada 2003.
Belakangan, mereka juga membuka Pusat Informasi Kegiatan (PIK). Melalui sebuah perjuangan yang panjang, mereka juga mendirikan RCDS di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Juli 2016. Mereka mulai membuka kelas khusus bagi anak-anak itu tiga bulan kemudian, Oktober.
Anak-anak itu membutuhkan kasih sayang, pendidikan, dan interaksi sosial dengan lingkungan demi proses tumbuh kembang mereka.
POTADS ingin menunjukkan bahwa anak-anak dengan sindrom down bukan kutukan. Anak-anak itu sedang mengalami kelainan kromosom yang berdampak pada keterlambatan pertumbuhan fisik dan mental.
Olivia, Oom, dan Aryani mengatakan, jika anak-anak itu ditangani dengan baik, mulai dari terapi, sekolah, bimbingan, hingga pengembangan diri, kualitas diri mereka akan lebih baik.
Anak-anak itu membutuhkan kasih sayang, pendidikan, dan interaksi sosial dengan lingkungan demi proses tumbuh kembang mereka.
”Kalau diperlakukan dengan baik dalam sebuah proses yang tepat, mereka bahkan sangat berprestasi,” ucap Oom sambil merujuk pada apa yang dilakukan POTADS lewat RCDS-nya.
Di RCDS, anak-anak diajak terlibat dalam berbagai ragam kegiatan yang mendukung pengembangan diri, bakat, dan kemampuan anak agar bisa menjadi lebih berprestasi dan percaya diri.
Di RCDS, anak-anak diajak terlibat dalam berbagai ragam kegiatan yang mendukung pengembangan diri, bakat, dan kemampuan anak agar bisa menjadi lebih berprestasi dan percaya diri. Kegiatan itu antara lain bermain, bernyanyi, memainkan alat musik, berolahraga, dan kegiatan positif lainnya.
RCDS juga menjadi tempat berkumpulnya orangtua dari anak dengan sindrom down untuk membicarakan berbagai masalah dan solusi.
Salah satu anak dengan sindrom down yang berprestasi di Indonesia adalah Stephanie Handojo, peraih medali emas cabang olahraga renang di ajang Special Olympics World Summer Games di Athena, Yunani, 2011.
Prestasi internasional Stephanie semakin lengkap ketika dia menjadi wakil Indonesia sebagai pembawa obor Olimpiade London 2012.
Menurut mereka, Stephanie merupakan bukti bahwa anak-anak dengan sindrom down dapat berprestasi seperti anak-anak normal jika melewati proses pendampingan secara baik bersama orangtuanya. Namun, banyak orangtua tidak memahaminya, karena itu POTADS hadir.
POTADS mengatakan, pada setiap 700 kelahiran, terdapat satu anak dengan sindrom down dan angka itu termasuk tinggi. Namun, anggota POTADS saat ini baru meliputi 1.500 orangtua.
Hal tersulit, saat ini POTADS tidak memiliki kantor sendiri. Mereka masih menyewa tempat untuk berkumpul di Pejaten, Pasar Minggu.
Mereka juga kesulitan dana untuk pengadaan sarana pendukung dan juga sekolah khusus bagi anak-anak dengan sindrom down, mulai dari taman kanak-anak hingga jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi.
Pemerintah diharapkan hadir membantu anak-anak yang selama ini dipandang sebelah mata itu. Anak-anak ini memiliki kemampuan jika diberi dorongan dan kesempatan untuk mengembangkan diri, bakat, dan kemampuannya.