Inovasi di bidang digital, termasuk kecerdasan buatan dan otomatisasi tak bisa dimungkiri bakal mendongkrak produktivitas serta membuka peluang ekonomi baru. Di sisi lain, inovasi teknologi juga mengubah lanskap ketenagakerjaan.
Studi McKinsey Global Institute di 46 negara tahun ini memprediksi sekitar 50 persen aktivitas kerja yang secara total membuahkan upah hampir 15 triliun dollar AS, berpotensi mengalami otomatisasi. McKinsey menggunakan istilah ”aktivitas kerja”, karena setiap jenis pekerjaan terdiri dari banyak aktivitas dan bukan seluruh aspek pada suatu jenis pekerjaan yang akan mengalami otomatisasi.
Artinya, sebagian pekerja akan kehilangan pekerjaan. Namun, lebih banyak lagi pekerja harus bekerja bersama mesin yang berevolusi cepat. Hal ini tentu menuntut para pekerja itu punya keterampilan atau keahlian yang juga terus berkembang.
Bisa dikatakan, setiap pekerjaan, dalam tingkat bervariasi, akan terpengaruh oleh otomatisasi sebagai bagian dari inovasi digital. Mulai teknisi hingga pemegang posisi puncak manajemen diterpa pengaruh digital. Sekitar 25 persen dari aktivitas CEO pun diprediksi bakal tergantikan mesin, misalnya, terkait analisis laporan dan data sebagai bahan pembuatan keputusan.
Pekerjaan yang sejak lama ada sekalipun, tak bisa lagi dilakukan dengan cara yang sama seperti dulu. Setiap orang perlu memutakhirkan keterampilan dalam melakukan pekerjaannya serta meningkatkan kapasitas dan produktivitas.
Di sisi lain, inovasi teknologi juga menciptakan pekerjaan baru. Sepertiga dari pekerjaan yang ada di Amerika Serikat (AS) dalam 25 tahun terakhir, misalnya, belum pernah ada sebelumnya. Sebagai contoh, pengembang teknologi informasi (TI), manajemen sistem TI, pembuatan aplikasi, hingga perangkat keras manufaktur yang juga terus berevolusi.
Data berukuran raksasa kian marak dimanfaatkan dalam beragam bidang, mulai dari ritel di sektor komersial hingga penyusunan kebijakan kesehatan di sektor publik, misalnya. Hal ini mendorong kebutuhan ilmuwan data atau tenaga profesional yang berkemampuan dalam menganalisis data dan statistik.
Tak ketinggalan, teknologi juga memungkinkan kewirausahaan berkembang lebih pesat dengan bekal daya kreasi. Seperti kita lihat di Indonesia, produksi berskala mikro dan kecil maupun usaha penyedia jasa menjangkau pasar lebih luas lewat media sosial.
Tantangan serius yang harus dihadapi Indonesia adalah menyiapkan tenaga kerja dengan kompetensi sesuai kebutuhan zaman digital ini. Kompetensi itu bukan hanya dibutuhkan untuk mengembangkan usaha rintisan di bidang teknologi yang marak di Indonesia. Kompetensi dan wawasan teknologi juga dibutuhkan demi pengembangan beragam sektor ekonomi, mulai dari perdagangan, pertanian, hingga industri manufaktur.
Lowongan hangus
The Manufacturing Institute dan Deloitte, seperti dikutip The Economist, memperhitungkan, akan ada sekitar 3,5 juta lowongan pekerjaan bidang manufaktur di AS hingga 2025. Namun, dari 3,5 juta posisi pekerjaan itu, 2 juta di antaranya diperkirakan tidak akan terisi. Hal itu dikarenakan AS kini bergelut dengan problem kekurangan tenaga kerja terampil di bidang manufaktur.
Bukan sedikit upaya dilakukan AS demi mengatasi problem itu. Sejumlah perusahaan manufaktur, lembaga riset, dan beberapa agensi pemerintah, misalnya, berkolaborasi mempromosikan skema pelatihan inovatif. Di beberapa kawasan, peningkatan kapasitas dilakukan beriringan di sekolah maupun di pabrik. Begitu pun, masih perlu waktu dan lebih banyak upaya mengatasi ”krisis” tenaga terampil di AS.
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut data dari Persatuan Insinyur Indonesia, pada 2015, jumlah insinyur per 1 juta penduduk di Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina, bahkan Myanmar. Indonesia punya sekolah vokasi, tetapi sulit menemukan sekolah vokasi dengan kurikulum dan proses belajar terintegrasi sepenuhnya dengan industri. Penyiapan tenaga kerja kompeten ini penting jadi fokus perhatian semua pihak. (NUR HIDAYATI)