Kain Tradisional merupakan Bukti Kekayaan Nusantara

Kompas/Hendra A Setyawan

Putri (almarhum) Frans Seda, Francisca Xaveria Sika Seda, Senin (18/12) di Gereja Santo Stefanus Cilandak Jakarta, menyerahkan buku kepada mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim (kiri) dan beberapa undangan lainnya saat peluncuran buku Untaian Nila dalam Wastra berkaitan dengan peringatan 1.000 hari meninggalnya (almarhumah) Ibu Jo Pattinaja Seda. Buku tersebut memuat koleksi wastra (almarhumah) Ibu Jo Pattinaja Seda sebanyak 2.600 buah.

Demikian disampaikan Yoanessa Maria Yosea Seda, salah satu putri Yohanna Maria Pattinaja, saat memberikan sambutan dalam peluncuran buku berjudul Untaian Nilai dalam Wastra untuk mengenang 1.000 hari meninggalnya Yohanna Maria Pattinaja atau lebih dikenal Bu Jo Seda. Bu Jo meninggal pada 23 Maret 2015. Buku tersebut ditulis sahabat Bu Jo, Sri Sinta ”Bu Neneng” Iskandar. Turut hadir dalam acara peluncuran buku tersebut Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo, mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, dan Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Rikard Bagun.

Buku tersebut berisi ulasan 150 kain yang dikoleksi Bu Jo. Sebanyak 20 kain dengan berbagai motif daerah dipajang saat acara berlangsung.

Yoanessa menyatakan, kain- kain yang dikoleksi ibunya tidak hanya disimpan, tetapi dipublikasikan kepada publik. Itu perlu dilakukan karena koleksi itu menunjukkan Indonesia memiliki banyak wastra. ”Mama berpesan agar kain-kain tidak diambil asing. Kain-kain ini harus tetap berkembang dan karena itu dirawat. Generasi muda perlu mempelajari berbagai jenis kain tradisional Nusantara,” katanya.

Menurut Yoanessa, mengoleksi kain merupakan bentuk dan bukti kecintaan sang ibu terhadap bangsa Indonesia. Kain-kain yang dikoleksi berasal dari beberapa daerah di pelosok Nusantara, seperti Aceh, Nusa Tenggara Timur, dan tempat-tempat di Jawa. Beberapa wastra bahkan sudah tidak lagi dihasilkan saat ini.

Kain-kain koleksi Bu Jo disimpan di rumah keluarga di kawasan Pondok Indah, Jakarta. Tempat itu menjadi semacam museum wastra.

Sri menuturkan, koleksi Bu Jo dan buku yang ditulis merupakan bentuk edukasi kepada publik untuk memahami leluhur bangsa Indonesia memiliki banyak wastra.

”Koleksi Bu Jo menegaskan, kita memiliki kebudayaan tinggi. Kebudayaan dalam bentuk kain tradisional ini harus dilestarikan,” ujar Sri yang mengenal Bu Jo sejak aktif di Museum Tekstil Jakarta pada 1976. (VDL)