Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memudahkan masyarakat mengakses informasi. Media hadir sebagai sarana penghubung yang melintasi batas-batas perbedaan sosial budaya. Namun, meskipun perkembangan teknologi memungkinkan kemudahan akses, media berpotensi menghadirkan informasi yang eksesif atau berlebihan, yang dapat melunturkan sistem nilai tradisional lokal akibat dampak globalisasi. Isi media yang disebarkan kepada publik sejatinya merupakan hasil konstruksi yang di dalamnya menyembunyikan berbagai kepentingan, yang antara lain kepentingan ekonomi.
Di tengah pusaran globalisasi dan arus deras informasi masyarakat diharapkan dapat secara bijaksana memanfaatkan informasi yang berlimpah. Kemampuan masyarakat dalam memilah dan memilih informasi merupakan hal penting agar dapat menghindari banyak petaka di negeri ini. Sejumlah gagasan konseptual dan aplikatif yang dapat menjadi bekal masyarakat menghadapi gelombang informasi tersaji dalam buku Literasi Media & Kearifan Lokal: Konsep dan Aplikasi (Universitas Kristen Satya Wacana & United Board & ASPIKOM, 2012). Buku ini mengingatkan berbagai tantangan sosial budaya dari pengaruh peran media dalam mengonstruksi cara pandang masyarakat terhadap dunia dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Untuk menghindari ekses negatif banjir informasi perlu menggiatkan kegiatan literasi media di masyarakat yang dilandasi nilai-nilai atau tradisi kearifan lokal. Kearifan lokal yang dimiliki setiap masyarakat diharapkan dapat menjadi pijakan untuk menyusun strategi literasi media agar terhindar dari bencana budaya. (DRA/LITBANG KOMPAS)
Masyarakat dan Gerakan Literasi
Literasi bukan hanya sekadar melek aksara atau membaca, menulis, dan berhitung saja. Lebih dari itu, merupakan sebuah kemampuan untuk memilah informasi, menggunakan, dan mengomunikasikan gagasan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup. Salah satu tujuannya adalah menjadikan masyarakat sebagai manusia pembelajar sepanjang hidup. Untuk menciptakan masyarakat literat, tanggung jawab bukan hanya pada pundak pemerintah, tetapi juga pada seluruh masyarakat.
Muhsin Kalida dan Moh Mursyid dalam buku Gerakan Literasi: Mencerdaskan Negeri (Aswaja Pressindo, 2015) memperlihatkan bagaimana masyarakat melalui taman bacaan masyarakat (TBM) berkiprah menggalakkan budaya literasi di lingkungan mereka. Selain perpustakaan yang diselenggarakan pemerintah, TBM merupakan sebuah alternatif dalam gerakan literasi.
Kreativitas, rasa senang, dan layanan prima merupakan kata kunci dalam mengelola perpustakaan dan TBM. Taman Bacaan Masyarakat Cakruk Pintar sudah membuktikannya. Berlokasi di daerah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, TBM ini dapat dikatakan sukses dan sering menjadi tempat studi banding. Bahkan, menjadi tempat mahasiswa baik dalam dan luar negeri menimba ilmu. Berawal dari sebuah pos ronda, TBM ini tidak pernah sepi dari kunjungan masyarakat, baik anak-anak maupun orang dewasa.
Menurut petugas di TBM tersebut, para peronda yang biasa bermain catur sekarang senang membaca buku. Selain mengadakan kegiatan yang umum diadakan TBM, seperti membaca dan menulis, mendongeng, baca puisi, pentas seni, atau menonton bareng, Cakruk Pintar juga mengadakan pelatihan budidaya ikan, membuat kue, dan masakan. (RPS/Litbang Kompas)