Suriah, dari Kekalahan NIIS Menuju Pertarungan Solusi Politik
Suriah mengakhiri tahun 2017 dengan cuaca awan masih kelabu. Memang Suriah pada 2017 ditandai oleh kekalahan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah di negara itu. Akan tetapi, pasca-era NIIS, Suriah menghadapi persoalan paling pelik pada tahun 2018.
Kekuasaan wilayah NIIS di Suriah saat ini hanya tersisa sekitar 5 persen. Pada akhir 2017 ini, pasukan Pemerintah Suriah menguasai sekitar 60 persen, milisi Unit Pelindung Rakyat (YPG) Kurdi mengontrol sekitar 20 persen, pasukan oposisi 15 persen, dan NIIS 5 persen.
Perang melawan NIIS merupakan agenda paling mudah karena semua kekuatan lokal, regional, dan internasional bersatu melawan NIIS. Namun, setelah era NIIS berlalu, Suriah langsung menghadapi persoalan paling pelik pada 2018. Isu pelik itu adalah mencari solusi politik kompromi yang bisa diterima semua pihak, menciptakan pola masa transisi, dan masa depan Presiden Bashar al-Assad.
Semua kekuatan regional dan internasional, setelah berhasil mengalahkan NIIS, kini menghadapi situasi dilematis dan opsi-opsi rumit. Seperti diketahui, selama dua tahun terakhir ini telah terbentuk dua koalisi militer besar di Suriah. Pertama, koalisi Rusia, Turki, Iran, dan Pemerintah Suriah. Kedua, koalisi Amerika Serikat (AS), milisi Kurdi atau YPG, dan sejumlah faksi oposisi.
Rusia dan koalisinya tentu ingin memanfaatkan kemenangan militer atas NIIS itu untuk meraih kemenangan pula di ranah politik dan diplomasi yang panggungnya digelar di Astana, Kazakhstan, dan Sochi, Rusia. Rusia tentu butuh bekerja sama dengan AS dan Barat untuk meraih kemenangan politik di Astana dan Sochi. Namun, sampai saat ini, AS dan Barat belum memberi lampu hijau untuk bekerja sama dengan Rusia di bidang politik di Suriah.
Agenda berbeda
Dengan kata lain, Rusia-AS bisa bekerja sama di bidang militer melawan NIIS, tetapi mereka punya agenda politik berbeda pasca-kemenangan melawan NIIS. Bahkan, AS kini berusaha mencegah Rusia memanfaatkan kemenangan militer untuk meraih kemenangan politik.
AS melihat di belakang Rusia itu ada Iran, Hezbollah, dan rezim Assad. AS menganggap, jika kemenangan Rusia dibiarkan tanpa batas, itu berarti juga kemenangan Iran, Hezbollah, dan rezim Assad.
Karena itu, AS kini sedang mencari mitra untuk mengimbangi koalisi Rusia yang cukup solid itu. AS menyadari bahwa kekuatan mitranya selama ini, yakni YPG, sangat terbatas untuk menghadapi pertarungan politik melawan koalisi Rusia.
AS tampaknya akan terpaksa menggandeng Israel dan Jordania untuk memperkuat posisinya dalam pertarungan politik melawan koalisi Rusia. Israel dan Jordania selama ini dikenal sama-sama anti-Iran dan Hezbollah.
AS juga telah mengumumkan akan tetap mempertahankan pasukannya di Suriah pasca-kekalahan NIIS. AS menyampaikan syarat, hengkangnya pasukan AS dari Suriah hanya setelah ada solusi politik yang bisa diterima semua pihak.
Tujuan AS mempertahankan pasukannya di Suriah adalah mereka tidak ingin bumi Suriah dibiarkan di bawah kontrol koalisi Rusia tanpa batas. AS menganggap, membiarkan bumi Suriah di bawah kontrol penuh koalisi Rusia akan membahayakan keamanan para sahabatnya di Timur Tengah, seperti Israel, Jordania, dan Arab Saudi.
Koalisi Rusia vs AS
Maka, bumi Suriah pada 2018 akan menyaksikan pertarungan politik sengit antara kubu Rusia dan AS. Memang tak ada jaminan solusi politik di Suriah bisa dicapai pada 2018. Namun, pertarungan sengit mencari solusi politik itu dimulai tahun 2018.
Jika tahun 2017 pemandangan mencolok di Suriah adalah perang melawan NIIS, perkembangan menonjol tahun 2018 adalah pertempuran militer antara koalisi Rusia dan AS guna memperkuat posisi politik mereka dalam perundingan. Kalaupun masih ada perang melawan NIIS pada 2018, itu hanya sisa-sisa dan tidak menjadi perkembangan menentukan.
Koalisi Rusia dan AS, misalnya, akan saling memperkuat posisinya dan bahkan bisa saling berperang di sepanjang perbatasan Suriah-Irak. Bagi koalisi Rusia, khususnya Iran, perbatasan Suriah-Irak sangat strategis. Jika koalisi Rusia bisa mengontrol penuh perbatasan Suriah-Irak, terbuka bagi Iran untuk membangun jalur Syiah dari Teheran, Baghdad, Damaskus, hingga Beirut untuk mencapai Laut Tengah.
AS yang akan dibantu Israel akan bertempur habis-habisan untuk mencegah perbatasan Suriah-Irak jatuh ke tangan Iran. Karena itu, pertempuran di Provinsi Deir el-Zor, yang dekat dengan perbatasan Suriah-Irak, akan berkecamuk antara koalisi Rusia dan AS pada tahun 2018.
Di wilayah lain di Suriah juga masih akan terjadi pertempuran, seperti di Provinsi Idlib dan Deraa (perbatasan Suriah-Jordania), antara koalisi Rusia dan AS, khususnya pasukan rezim Assad yang dibantu Hezbollah dan milisi Iran melawan pasukan oposisi pro-AS yang dibantu pasukan AS dan perlindungan udara dari pesawat tempur AS dan Israel.
Dalam panggung politik, koalisi Rusia akan terus berusaha menjadikan forum Astana
dan Sochi sebagai ganti dari forum Geneva. Koalisi Rusia menghendaki solusi politik bisa dicapai dalam dua forum itu, sedangkan forum Geneva hanya diposisikan sebagai forum isu kemanusiaan.
Rusia telah mengumumkan akan menggelar konferensi komprehensif untuk mencari solusi politik di Suriah, akhir Januari 2018. Forum Astana dan Sochi merupakan buah arsitek koalisi Rusia. Adapun forum Geneva hasil arsitek PBB dan AS.
(MUSTHAFA ABD RAHMAN dari Kairo, Mesir)