Ongkos dan Prioritas Infrastruktur Harus Dikalkulasi Matang
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan infrastruktur yang begitu masif dalam tiga tahun terakhir dinilai belum mampu menarik investor di sektor riil dan mendorong pertumbuhan ekonomi seperti yang diharapkan.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, anggaran infrastruktur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2017 sebesar Rp 387,7 triliun.
Dana tersebut antara lain dialokasikan untuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebesar Rp 101,5 triliun dan Kementerian Perhubungan sebesar Rp 46 triliun.
Adapun dalam APBN 2018, anggaran infrastruktur naik menjadi Rp 410,4 triliun. Dana tersebut dialokasikan antara lain untuk Kementerian PUPR sebesar Rp 104,7 triliun dan Kementerian Perhubungan sebesar 48,2 triliun.
Direktur Eksekutif Institute for Development (Indef) Enny Sri Hartati menyatakan, kebutuhan bangsa akan infrastruktur yang memadai memang tidak dapat dimungkiri.
Akan tetapi, pemerintah diharapkan dapat mempertimbangkan dengan baik pembangunan yang membutuhkan biaya besar.
Pada APBN 2018, total anggaran infrastruktur dialokasikan sebesar Rp 410,4 triliun.
”Pemerintah tidak bisa terlalu ambisius. Anggaran yang terus ditingkatkan tanpa kalkulasi dapat berisiko,” kata Enny saat dihubungi di Jakarta, Rabu (27/12).
Infrastruktur yang sifatnya tidak terlalu mendesak, seperti jalan tol, tidak perlu menjadi fokus utama pemerintah.
Ia menambahkan, dalam tiga tahun ini , belum ada peningkatan investasi yang signifikan di sektor riil, seperti manufaktur, pertanian, dan pertambangan.
Hal tersebut mengindikasikan komitmen pemerintah dalam membangun infrastruktur belum memberikan suatu kepastian bagi investor bahwa berinvestasi di Indonesia merupakan hal yang mudah dan menguntungkan.
Data dari Kementerian PUPR menyebutkan, pembangunan jalan tol yang dibiayai dari APBN dan non-APBN selama tiga tahun terakhir mencapai 568 kilometer dari target 1.851 kilometer pada 2015-2019.
Pembangunan jalan untuk konektivitas mencapai 2.623 kilometer dari target 2.650 kilometer pada 2015-2019. Pembangunan jembatan mencapai 10.197 meter dari target 29.859 meter pada 2015-2019.
Infrastruktur yang sifatnya tidak terlalu mendesak, seperti jalan tol, tidak perlu menjadi fokus utama pemerintah.
Sementara itu, data dari Kementerian Perhubungan menunjukkan, pemerintah telah menambah jalur kereta api menjadi 388,3 kilometer dari target 3.258 kilometer selama 2015-2019.
Jumlah pelabuhan laut menjadi 104 lokasi dari target 306 lokasi, pelabuhan penyeberangan 11 lokasi dari target 45 lokasi, kapal penyeberangan sebanyak 8 unit dari target 24 unit, dan kapal perintis laut mencapai 33 unit dari target 103 unit.
Adapun jumlah bandar udara baru yang dibangun sebanyak 7 dari target 15 bandara selama 2015-2019. Jumlah bus rapid transit (BRT) menjadi 1.383 unit dari target 3.170 unit dan rehabilitasi terminal penumpang sebanyak 30 lokasi dari target 119 lokasi.
Enny menyarankan, pemerintah sebaiknya membangun infrastruktur yang dapat lebih mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa. Misalnya, pembangunan infrastruktur jaringan pipa untuk gas di sektor energi atau pembangkit listrik yang letaknya lebih dekat di daerah industri. Dengan demikian, ketidakselarasan antara persediaan dan permintaan dapat dihilangkan.
”Perlu infrastruktur yang terintegrasi sehingga pembangunan benar-benar memiliki dampak pada produktivitas nasional yang sesuai dengan kebutuhan investor. Dengan demikian, mereka (investor) tidak tetap wait and see,” ujar Enny.
Perkembangan infrastruktur transportasi secara umum di Indonesia sudah sangat pesat sehingga evaluasi efisiensi serta dampak ekonomi daerah dan nasional perlu segera dilakukan.
Perlu infrastruktur yang terintegrasi sehingga pembangunan benar-benar memiliki dampak pada produktivitas nasional.
Jika pemerintah menilai pembangunan di sektor tersebut masih menjadi prioritas utama, lanjut Enny, pembiayaan sebaiknya tidak murni melalui APBN. Untuk itu, pemerintah dapat bekerja sama dengan konsorsium berbagai perusahaan swasta.
Peneliti transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, menambahkan, pertumbuhan ekonomi bangsa akan meningkat dengan semakin membaiknya infrastruktur.
Ia menilai, pembangunan bandara, pelabuhan, jalan, dan tol telah merata hingga daerah perbatasan. Beberapa daerah telah merasakan manfaat langsung dari pembangunan yang telah dilakukan. Misalnya, penerbangan ke daerah seperti Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur tidak perlu transit di bandara lain terlebih dahulu.
Akan tetapi, hasil pembangunan infrastruktur dalam skala besar memang tidak bisa terlihat seketika. ”Membutuhkan waktu dua hingga tiga tahun setelah pembangunan infrastruktur selesai untuk merasakan manfaatnya secara signifikan,” ucap Djoko.
Hasil pembangunan infrastruktur dalam skala besar memang tidak bisa terlihat seketika
”Selain itu, pembangunan dan pembenahan infrastruktur transportasi yang baik dapat memengaruhi peradaban Indonesia,” lanjutnya.
Transportasi publik
Pemerintah, ujar Djoko, sepatutnya tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur transportasi dalam bentuk fisik.
Pemerintah juga harus memperhatikan kondisi daerah dan manajemen infrastruktur yang akan dibangun sehingga dapat mencapai konektivitas.
”Penataan transportasi sebenarnya telah tercantum dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019 dan Renstra (Rencana Strategis) Kementerian Perhubungan 2015-2019,” tutur Djoko.
Dalam RPJMN tersebut, pemerintah menargetkan pangsa pasar angkutan umum sebesar 32 persen.
Menurut Djoko, manajemen infrastruktur yang belum ideal terlihat dari beberapa kasus yang terjadi, seperti pengadaan BRT.
Pemerintah mengadakan BRT di dua kota, yaitu Ambon dan Mataram. Namun, BRT di kedua kota itu tidak lagi beroperasi karena terjadi bentrok dengan pengusaha yang ada di kedua daerah tersebut.
”Pemerintah mengadakan bantuan bus ke daerah, tetapi tidak bisa beroperasi karena kendala sumber daya manusia, finansial, dan lembaga yang mengelola,” kata Djoko.
Ia menyarankan, pemerintah dapat membeli jasa operator bus yang telah ada dan memberikan jaminan subsidi.
Pemerintah juga bisa mengajak organisasi atau perusahaan yang sudah ada di daerah sebagai operator. Dengan demikian, target peningkatan pasar angkutan umum dalam RPJM 2015-2019 dapat tercapai. (DD13)