Wa Lone (31) dan Kyaw Soe Oo (27), Rabu (27/12), sempat berkomentar singkat saat bertemu dengan kerabat dan wartawan. ”Mereka memperlakukan saya dengan semestinya,” kata Wa Lone. ”Kami melakukan tugas jurnalistik. Kami tidak melanggar etik wartawan,” katanya lagi.
Rekannya, Kyaw Soe Oo, meminta jurnalis untuk berhati-hati dalam menjalankan tugasnya. ”Sampaikan kepada teman-teman jurnalis untuk hati-hati. Ini sangat menakutkan. Kami tidak melakukan kesalahan,” kata Kyaw Soe Oo.
Keluarga kedua wartawan tak bisa menahan haru saat bertemu. ”Saya ingin suami saya dilepaskan secepatnya. Saya percaya dia tidak akan pernah melanggar hukum,” kata Pan Ei Mon, istri Wa Lone.
Penahanan terhadap kedua wartawan yang bekerja untuk kantor berita Reuters ini berlaku hingga 10 Januari 2018. Hakim Ohn Myint yang menyetujui perpanjangan ini mengatakan, ”Interogasi masih berjalan.”
Pengumuman perpanjangan masa penahanan dilakukan dalam sebuah sidang yang hanya bisa dihadiri oleh pengacara dan keluarga dekat tersangka. Puluhan jurnalis datang ke pengadilan mengenakan kaus hitam sebagai tanda protes atas penangkapan rekan mereka.
Tuduhan yang diarahkan kepada dua wartawan ini cukup serius dengan ancaman penjara hingga 14 tahun. Secara lebih spesifik, keduanya dituduh mendapatkan berkas-berkas penting dari dua petugas polisi. Penangkapan terjadi saat kedua jurnalis sedang melakukan peliputan kebrutalan militer di Rakhine. Proses penangkapan diawali dengan pemanggilan oleh polisi dan sejak itu mereka tidak boleh pulang. Polisi merahasiakan tempat penahanan mereka.
Letnan Kolonel Myint Htwe, anggota staf senior di kepolisian Yangon, mengatakan, pihaknya bertindak karena mereka melakukan kejahatan. ”Hal ini harus diselesaikan di pengadilan,” katanya.
Pejabat di kementerian penerangan menyatakan, penangkapan dilakukan karena kedua wartawan itu menghimpun informasi secara ilegal dengan maksud untuk disebarkan kepada media asing.
Isu sensitif
Peristiwa kekerasan yang menimpa warga Rohingya di wilayah Rakhine menjadi masalah sensitif. Sekitar 650.000 warga minoritas Rohingya sejak Agustus meninggalkan rumah dan kampung mereka akibat serangkaian serangan yang diduga keras dilakukan oleh militer.
Dari hasil penelitian yang dilakukan PBB, militer melakukan pembakaran, pembunuhan, dan pembakaran rumah-rumah warga. Warga yang ketakutan melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh. Hingga saat ini belum ada solusi jelas terhadap para pengungsi yang hidup dengan sangat menyedihkan.
Pemerintah Myanmar menyangkal tuduhan itu dan menutup akses ke tempat-tempat lokasi kekerasan. Media setempat mendapat pengawasan ketat. Bahkan, utusan khusus PBB yang ditugaskan untuk melakukan penelitian lapangan dilarang berkunjung. Alasannya, utusan PBB itu bias dan tidak independen dalam melakukan penelitiannya.
Penangkapan terhadap wartawan Reuters mendapat kecaman dari sejumlah negara dan lembaga internasional. Amerika Serikat, Uni Eropa, dan PBB minta agar mereka dibebaskan. Mereka berpendapat, penangkapan wartawan merupakan tanda terkikisnya kebebasan pers di Myanmar.
Kendati kini Myanmar tidak lagi diperintah oleh junta militer, sisa-sisa pemerintahan militer selama 50 tahun yang represif masih juga belum lenyap.
Sedikitnya 11 jurnalis ditahan pada tahun 2017. Salah satu kasus adalah penahanan wartawan Singapura dan Malaysia yang bekerja untuk televisi Turki pada 27 Oktober karena menerbangkan pesawat tanpa awak di atas gedung parlemen tanpa izin.