Tak Hanya Infrastruktur, Peningkatan SDM Papua Juga Terus Didorong
JAKARTA, KOMPAS—Investasi pemerintah untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) di Papua dinilai sama pentingnya dengan pembangunan infrastruktur di daerah tersebut. Tanpa pengembangan SDM, dikhawatirkan pemanfaatan infrastruktur yang gencar dibangun di Papua menjadi tidak optimal.
Layanan pendidikan dan kesehatan perlu ditingkatkan untuk juga mengejar ketertinggalan pembangunan dari daerah lain.
Dalam Statistik Indonesia 2017, Papua adalah daerah yang memiliki catatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah dari seluruh wilayah di Indonesia. Pada 2016, IPM Papua sebesar 58,05. Indeks itu masih tertinggal jauh dari IPM nasional yang nilainya 70,18. Sejak 2011, Papua juga menjadi daerah yang IPM-nya selalu rendah dari tahun ke tahun.
Edy Prasetyono, Direktur Eksekutif ASEAN Study Center Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, mengatakan, terdapat banyak masalah di Papua. Masalah itu terentang dari kesenjangan sosial, pembangunan, politik, keamanan dan lain-lain. Oleh karena itu, ia mengatakan pemerintah perlu mencari penyelesaian atas persoalan-persoalan itu secara menyeluruh.
“Ketika bicara tentang Papua, ada banyak masalah. Maka, diperlukan sebuah penyelesaian yang pendekatannya holistik sehingga bisa benar-benar menuntaskan persoalan-persoalan yang ada,” kata Edy, dalam diskusi “Papua dalam Sorotan: Pendekatan Holistik untuk Papua”, di Jakarta Pusat, pada Kamis (28/8).
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua adalah yang terendah dari seluruh wilayah di Indonesia. Pada 2016, IPM Papua sebesar 58,05, di bawah rata-rata IPM nasional yang sebesar 70,18
Narasumber yang hadir dalam diskusi itu Deputi V Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, dan Hak Asasi Manusia Staff Khusus Presiden Jaleswari Pramodhawardani, Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia Bambang Shergi Laksmono, Ketua Gugus Papua Universitas Gadjah Mada Bambang Purwoko, Analis Pertahanan Andi Widjajanto, dan Ketua Lingkar Studi Papua di Inggris Septinus George Saa.
Menanggapi soal penyelesaian yang menyeluruh, Ketua Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada Bambang Purwoko mengatakan, permasalahan yang paling mendasar harus diselesaikan terlebih dahulu. Menurut Bambang, permasalahan mendasar untuk Papua adalah pendidikan dan kesehatan.
“Pendidikan itu hal yang terpenting. Ini untuk menyiapkan sumber daya manusia yang nantinya siap terlibat dalam pembangunan,” kata Purwoko. “Kesehatan itu juga penting. Tanpa layanan kesehatan yang baik, mereka tidak bisa menempuh pendidikan dengan baik.”
Masalah dalam pendidikan itu dapat terlihat dari angka partisipasi murni (APM) dalam pendidikan penduduk Papua. Menurut Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua 2017, APM untuk tingkat SMA masih sebesar 43,48 persen. APM untuk tingkat SMP juga masih rendah, yaitu 56,13 persen. APM tertinggi diperoleh untuk tingkat SD dengan persentase 78,83 persen.
Pendidikan merupakan hal terpenting di Papua. Pendidikan bertujuan untuk menyiapkan sumber daya manusia Papua untuk berperan dalam pembangunan
Ketua Lingkar Studi Papua di Inggris Septinus George Saa mengungkapkan, kekhawatiran anak-anak muda Papua adalah soal kurangnya pendidikan. “Pendidikan ini jadi persoalan yang sangat mendasar. Kami ingin pemerintah terus mendorong perbaikan di bidang pendidikan,” kata Septinus.
“Pembangunan infrastruktur yang mendorong pertumbuhan ekonomi itu memang perlu. Sangat diperlukan supaya kami, orang Papua, tidak semakin tertinggal,” tambah Septinus. “Tetapi, itu juga harus sejalan dengan penguatan SDM agar nanti setelah infrastruktur siap, orang Papua tidak hanya menjadi penonton dari majunya peradaban di tanah sendiri.”
Terkait soal pembangunan, Septinus menceritakan, orang Papua mempunyai pemikiran bahwa yang bisa membangun Papua itu adalah orang Papua itu sendiri. Ia menyatakan, pembangunan tidak bisa diserahkan kepada pemerintah pusat begitu saja.
Masyarakat harus dilibatkan dalam pembuatan kebijakan dan arah pembangunan supaya manfaatnya bisa kembali dirasakan oleh masyarakat.
Pembangunan inklusif
Andi Widjajanto, Analis Pertahanan, berpendapat, masyarakat harus terus diajak berdialog untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif itu. “Sebelum membangun, harus diajak bicara dulu mereka. Apa yang mereka butuhkan? Apa yang dibangun itu benar-benar dibutuhkan? Ini harus dilakukan supaya apa yang dibangun dengan yang mereka butuhkan itu sinkron,” jelas Andi.
Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia Bambang Shergi Laksmono menjelaskan, pembangunan harus berbasis budaya dan kearifan lokal.
“Dalam pembangunan harus dipastikan ada partisipasi penuh masyarakat Papua. Bentuknya dengan membuat arah pembangunan itu dalam lingkup usaha yang dikenal dan selanjutnya dapat dijalankan oleh mereka,” kata Shergi.
Dengan berbagai kebijakan yang telah dilakukan pemerintah pusat untuk Papua, IPM Papua terus meningkat kendati lambat
Namun demikian, Deputi V Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan dan HAM Strategis Staf Khusus Presiden Jelaswari Pramodhawardani menjelaskan, pemerintah sudah berada pada trek yang benar. Papua diprioritaskan untuk terus dibangun dan menjadi salah satu kekuatan Indonesia.
Dengan berbagai kebijakan yang telah dilakukan pemerintah pusat untuk Papua, terbukti IPM Papua dari tahun ke tahun terus meningkat kendati masih tergolong lambat.
Berdasarkan Statistik 2017, peningkatan IPM Papua masih berada pada angka di bawah 1,0. Pada 2014, IPM Papua tercatat sebesar 56,75. Indeksnya sedikit meningkat menjadi 57,25 pada 2015. Peningkatan indeks kembali terjadi pada 2016, yaitu dengan angka 58,05.
Negara hadir
Presiden Joko Widodo menjadikan Papua sebagai prioritas daerah yang akan dioptimalkan pembangunannya. Salah satu proyek infrastruktur di Papua adalah Tol Trans Papua yang bertujuan menghubungkan satu tempat ke tempat lain di Papua melalui jalur darat.
Purwoko menganggap, apa yang dilakukan oleh Joko Widodo adalah hal yang positif karena sebelum pemerintahan Joko Widodo, Papua seolah tak tersentuh pembangunan. “Papua butuh kehadiran negara. Mereka merasa setelah berganti-ganti pemerintahan tetapi juga tidak merasa ada pemerintah yang hadir di sana,” kata Purwoko.
Menurut Purwoko, kehadiran pemerintah era Joko Widodo di papua adalah dalam bentuk alat berat. Persepsi seperti itu terbentuk karena masyarakat melihat alat-alat berat yang datang ke tempat mereka untuk membangun infrastruktur.
Apa yang dilakukan oleh Joko Widodo menjadi penting mengingat Papua terus menerus digoyang oleh isu memisahkan diri dari Indonesia. “Yang telah Jokowi lakukan membuat masyarakat berpikir bahwa negara kembali hadir,” kata Purwoko.
Keinginan untuk melepaskan diri dari Indonesia dapat muncul karena masyarakat Papua merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah Indonesia selama ini. Andi mengatakan, sebelum pemerintahan Jokowi, belum pernah ada menteri yang memasuki daerah pegunungan di Papua.
“Jokowi juga menjaga komitmen untuk terus memantau Papua. Sejak menjabat Presiden, beliau sudah delapan kali berkunjung ke sana,” kata Andi.
Untuk menjaga keutuhan Papua, menurut Andi, pemerintah bersama-sama dengan masyarakat seluruh Indonesia harus membentuk narasi baru tentang Papua. “Ini untuk mengingatkan bahwa Papua adalah bagian dari kita. Papua itu bersejarah bagi kita,” kata Andi.
Sayangnya, menurut Shergi, selama ini masyarakat Indonesia secara umum masih memandang alasan Papua perlu dipertahankan adalah karena urusan ekonomi. “Sangat egoistis kalau hanya melihat Papua itu menguntungkan secara ekonomi,” kata Shergi.
Untuk menjaga keutuhan Papua, pemerintah bersama-sama dengan masyarakat seluruh Indonesia harus membentuk narasi baru tentang Papua
Berdasarkan survei yang ia lakukan secara daring, dari 148 responden, sebanyak 41,9 persen menyatakan Papua perlu dipertahankan karena bernilai secara ekonomi. Setelahnya, sebesar 39,9 persen menganggap Papua perlu dipertahankan karena bernilai budaya.
Persentase paling kecil diperoleh untuk responden yang menganggap Papua itu penting karena bernilai sejarah, yaitu 18,2 persen. (DD16)