JAKARTA, KOMPAS — Banjir dan longsor mendominasi kejadian bencana, menimbulkan korban jiwa dan kerugian terbanyak di Indonesia pada 2017. Dengan makin seringnya cuaca ekstrem dan tren pembangunan memperparah kerentanan lingkungan. Bencana hidrometeorologi ini diperkirakan masih menjadi persoalan utama pada 2018.
”Apa yang kita rasakan saat ini, di mana banjir dan longsor meningkat dan dominan, adalah buah dari kerusakan lingkungan yang berjalan puluhan tahun. Daya dukung dan daya tampung lingkungan terlampaui sehingga terjadi hujan deras sedikit saja langsung direspons dengan banjir dan longsor,” kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho di Jakarta, Senin (1/1).
Data BNPB mencatat, banjir, longsor, dan puting beliung mendominasi kejadian serta dampak bencana sepanjang 2017. Dari 2.341 kejadian bencana, 787 kejadian di antaranya berupa banjir, puting beliung terjadi 716 kali, tanah longsor 614 kali, kebakaran hutan dan lahan 96 kali, banjir beserta tanah longsor 76 kali, dan letusan gunung api di dua lokasi. ”Sekitar 99 persen adalah bencana hidrometeorologi, yakni bencana yang dipengaruhi cuaca dan aliran permukaan,” kata Sutopo.
Bencana ini menyebabkan 377 orang meninggal dan hilang, 1.005 orang luka-luka, dan 3.494.319 orang mengungsi atau menderita. Kerusakan fisik meliputi 47.442 unit rumah rusak, 365.194 unit rumah terendam banjir, dan 2.083 unit bangunan fasilitas umum rusak, meliputi 1.272 unit fasilitas pendidikan, 698 unit fasilitas peribadatan, dan 113 fasilitas kesehatan.
Menurut Sutopo, bencana longsor paling banyak menimbulkan korban jiwa, yaitu 156 orang tewas, 168 orang luka-luka, dan 52.930 orang mengungsi. ”Sejak 2014 hingga 2017, bencana longsor adalah bencana paling mematikan, karena jutaan warga tinggal di daerah rawan longsor. Penataan ruang harus ditegakkan untuk mencegah daerah rawan longsor dijadikan permukiman,” ujarnya.
Sementara banjir menyebabkan 135 orang tewas, 91 orang luka-luka, lebih dari 2,3 juta orang menderita dan mengungsi, serta ribuan rumah rusak. Puting beliung atau angin kencang juga terus meningkat. Dari 716 kejadian puting beliung telah menyebabkan 30 orang tewas, 199 jiwa luka-luka, 14.901 orang mengungsi, dan 15.000 rumah rusak.
Dari sebaran bencana, daerah paling banyak terdampak adalah Jawa Tengah, yakni 600 kejadian, Jawa Timur 419 kejadian, Jawa Barat 316 kejadian, Aceh 89 kejadian, dan Kalimantan Selatan 57 kejadian. Untuk kabupaten atau kota, daerah terbanyak dilanda bencana adalah Kabupaten Bogor 79 kali, Cilacap 72 kali, Ponorogo 50 kali, Temanggung 46 kali, dan Banyumas 45 kali.
Dari aspek kerugian ekonomi, bencana paling merugikan disebabkan letusan Gunung Agung di Bali yang mencapai Rp 11 triliun. Kerugian ini sebagian besar berasal dari kredit macet masyarakat yang harus mengungsi dan dari sektor pariwisata. Berikutnya kerugian akibat banjir dan tanah longsor pengaruh siklon tropis Cempaka di Jawa sekitar Rp 1,13 triliun, banjir Belitung Rp 338 miliar, banjir dan longsor di Lima Puluh Koto Rp 253 miliar, dan longsor Cianjur Rp 68 miliar.
Menurut Sutopo, meningkatnya kerusakan hutan, degradasi lahan, dan kerusakan lingkungan kian memicu terjadi bencana. Karena itu, pembangunan ke depan seharusnya tak memperparah kerusakan lingkungan.
Butuh perbaikan
Sementara Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Bencana Indonesia (IABI) Lilik Kurniawan mengatakan, penanggulangan bencana di Indonesia saat ini sudah menunjukkan kemajuan. Namun, perlu beberapa upaya untuk meningkatkannya, terutama dalam hal pencegahan dan mitigasi bencana.
”Untuk perbaikan penanggulangan bencana di Indonesia ke depan, butuh integrasi aturan-aturan penanggulangan bencana yang bisa diterapkan sampai level masyarakat,” kata Lilik.
Aturan itu harus diikuti pedoman pelaksanaan atau petunjuk teknis agar tak membingungkan multipihak. ”Misalnya, BNPB dan Kementerian Dalam Negeri harus duduk bersama dalam membuat aturan yang memperkuat BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) provinsi dan kabupaten atau kota,” ucapnya.
Selain itu, perlu upaya untuk memperkuat kapasitas dan kapabilitas kelembagaan penanggulangan di daerah. Daerah juga didorong agar memiliki perencanaan penanggulangan bencana sebagai acuan penyelenggaraan oleh multipihak. Hal ini disertai upaya pengembangan sains dan teknologi kebencanaan berbasis riset. (AIK)