Data yang mencerminkan ketimpangan ekonomi, seperti rasio gini, rasio gini lahan, serta porsi kekayaan, dan penguasaan aset, menunjukkan perbaikan dalam kurun waktu 2-3 tahun terakhir. Artinya, kesenjangan berkurang. Namun, satu hal menjadi catatan penting, angka-angka itu tetap menunjukkan ketimpangan masih relatif tinggi.
Rasio gini, koefisien yang menunjukkan kesenjangan pendapatan dan kekayaan, misalnya, turun dari 0,414 pada Maret 2014, lalu 0,397 pada Maret 2015, dan 0,393 pada Maret 2017. Angka itu tetap lebih tinggi daripada 2008 yang tercatat 0,35, tahun 2002 sebesar 0,329, atau tahun 1999 yang tercatat 0,308.
Rasio gini lahan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip Megawati Institute dalam riset oligarki ekonomi 2017, juga turun dari 0,72 pada 2003 menjadi 0,68 tahun 2013. Namun, angka itu juga tetap lebih tinggi daripada rasio gini lahan tahun 1993 yang tercatat 0,64 atau pada 1983 yang masih 0,5. Rasio 0,68 berarti 68 persen aset tanah dikuasai oleh 1 persen penduduk.
Ketimpangan juga tecermin dalam Laporan Distribusi Simpanan Bank Umum Lembaga Penjamin Simpanan. Pada November 2017, sekitar 64 persen dari total Rp 5.279 triliun simpanan yang ada di perbankan Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen masyarakat terkaya.
Riset Megawati Institute juga menyoroti masih tingginya porsi kekayaan nasional yang dikuasai oleh lapisan masyarakat terkaya Indonesia. Dari Global Wealth Databook Credit Suisse 2017, porsi kekayaan yang dikuasai 1 persen rumah tangga terkaya mencapai 45,4 persen pada 2017. Porsi penguasaan kekayaan ini turun dibandingkan dengan 2015 yang mencapai 53,5 persen. Namun, porsi itu masih lebih tinggi daripada 2011 yang 43,2 persen atau 2010 yang 31,5 persen.
Data lain yang diolah dari Forbes, BPS, dan Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan, laju pertumbuhan kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia empat kali lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi nasional selama tahun 2006-2016. Pada kurun waktu yang sama, kekayaan 40 orang terkaya ini melonjak 317 persen, sementara pendapatan per kapita hanya tumbuh 52 persen.
Lebih tinggi
Sekali lagi, meski cenderung turun tiga tahun terakhir, ketimpangan justru lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum reformasi 1998. Padahal, reformasi diharapkan mengubah struktur perekonomian Indonesia menjadi lebih adil. Pertanyaannya, apa yang menghambat penurunan ketimpangan itu?
Oligarki atau sistem politik pertahanan kekayaan oleh segelintir orang dengan konsentrasi kekayaan besar yang bersumber dari kekuasaan dinilai turut menghambat pertumbuhan ekonomi. Sumber kekuasaan itu, antara lain, dari jabatan pemerintahan, kekuasaan memobilisasi, dan kekuasaan atas sumber daya material.
Sejumlah lembaga merekomendasikan pemerintah untuk mempercepat redistribusi aset dan akses kepada masyarakat bawah. Cara ini dianggap paling rasional untuk mendongkrak kemampuan masyarakat bawah memperbaiki kehidupannya.
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia dan Megawati Institute juga berpandangan, keberpihakan pemerintah untuk mengembangkan usaha kecil menengah (UKM) perlu menjadi prioritas. Caranya, antara lain, dengan memangkas suku bunga kredit, menciptakan kesempatan usaha lebih besar bagi UKM, serta memperbaiki iklim penelitian dan pengembangan yang melahirkan inovasi.
Sementara Serikat Petani Indonesia mendorong pelaksanaan reforma agraria untuk mengurangi kemiskinan serta menekan ketimpangan kepemilikan dan penguasaan lahan. Sayangnya, redistribusi lahan yang diharapkan belum sepenuhnya terwujud. Legalisasi aset dan sertifikasi tanah yang tidak mengubah struktur kepemilikan tanah justru mengambil porsi cukup besar.
Di sektor pertanian pangan, redistribusi amat diperlukan. Menilik hasil Sensus Pertanian 2013, sejumlah 22,9 juta petani atau 87,63 persen dari total rumah tangga petani di Indonesia memiliki lahan kurang dari 2 hektar. Sebagian besar bahkan hidup dengan lahan kurang dari 0,5 hektar. Jutaan rumah tangga lain juga menggantungkan hidup di lahan pertanian sebagai penggarap dan buruh tani. Kepada mereka, kita perlu berpihak. (MUKHAMAD KURNIAWAN)