Bantuan untuk Lapan
Beberapa waktu lalu Kompas memuat berita ”Lapan Pun Merintis Roket Pengorbit Satelit”. Di sana dijelaskan visi penguasaan teknologi roket secara garis besar serta proses awal pembuatan roket pengorbit satelit, dari jenis-jenis berukuran kecil sampai besar, serta macam-macam roket dengan kemampuannya.
Targetnya pada 2039 Lapan akan mampu meluncurkan roket peluncur satelit dengan bobot muatan 1 ton dan 2 ton. Dijelaskan pula bahwa penguasaan teknologinya mengalami banyak kendala teknis dan nonteknis, termasuk di antaranya anggaran yang terbatas.
Saya sangat kagum dan antusias karena teknologi roket merupakan tercanggih di antara yang lain (selain tenaga atom) sebab hanya beberapa negara yang mampu menguasai bidang keantariksaan ini.
Karena itu, saya usul agar pemerintah, dalam hal ini Lapan, membuka diri untuk menerima bantuan sukarela dari masyarakat. Bantuan itu tentu akan sangat mendukung Lapan dalam melaksanakan program-programnya.
Kami harap dalam waktu dekat produksi Lapan akan terlihat konkret dengan meluncurkan roket-roket besar pada masa periode kepemimpinan Presiden Jokowi Jilid II (insya Allah).
Saya pensiunan PNS, ingin membantu dengan sukarela sebesar Rp 100.000 per bulan langsung dipotong dari uang pensiun saya.
Dirgahayu Lapan. Semoga sukses.
RAUYAN MARTOAMIDJOJO, Tegalmulyo, Karanganyar, Jawa Tengah
Gagal Bayar
Saya guru sebuah SMP swasta di Kudus, penerima tunjangan sertifikasi angkatan 2007 dengan nomor sertifikat 120809400151, dan Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) 2956741643200032.
Dalam sepuluh tahun terakhir saya beberapa kali gagal bayar tunjangan dan penyetaraan gaji impassing. Saya telah beberapa kali mengurus dua masalah itu, termasuk harus ke Kemdikbud di Jakarta.
Awal 2017 untuk kesekian kali saya kembali mengurus penyetaraan gaji impassing. Saya mendapat nomor berkas 201401 04227.
Masalah gagal bayar tak kalah peliknya. Tahun anggaran 2016, misalnya, saya hanya menerima enam bulan tunjangan.
M BASUKI SUGITA, Jl Yos Sudarso, Kudus, Jawa Tengah
Suara TKI dari Malaysia
Jauh di lubuk hatiku, sebenarnya aku tidak ingin jadi TKI di negeri orang. Menjadi TKI bukanlah cita-citaku, apalagi di sekolah aku selalu memiliki nilai di atas 8. Lulus dari SMK, aku melamar pekerjaan. Dengan bangga aku mendatangi setiap pabrik di Jakarta dengan seabrek sertifikat yang aku punya: menjahit, komputer, matematika, dan banyak lagi. Bahkan, aku sudah menyiapkan jawaban yang mungkin ada dalam wawancara.
Akan tetapi, jauh di luar dugaan, yang mereka tanya saat wawancara adalah ”Kamu bawaan siapa?”
Ketika kebingungan, mereka kembali bertanya, ”Kamu tahu ada lowongan dari siapa?”
Spontan aku menjawab, ”Dari spanduk yang dipasang di depan pabrik Bapak.” Sungguh terkejut ketika mereka langsung menyuruh aku pulang.
Dari sana aku memutuskan untuk tinggal di luar negeri. Sekarang aku bekerja dan kuliah di negeri jiran. Kini ilmuku kupersembahkan bagi negeri jiran karena aku tidak dipercayai oleh Indonesia, negeriku.
Berapa orang lagi yang hendak engkau buang wahai Indonesia? BJ Habibie, Sri Mulyani, dan mungkin banyak lagi yang dari awal engkau telah patahkan semangatnya.
Bukankah peristiwa yang kualami saat melamar pekerjaan di atas merupakan bagian dari kolusi, korupsi, dan nepotisme? Berapa banyak lagi korbannya?
IIS KURNIASIH, Kantan Court Apartment, Malaysia